Bahagia dan Sengsara: Antara Takdir dan Pilihan, Inilah Rumus Kehidupan Menurut Al-Qur’an

PWMJATENG.COM – Hidup bahagia atau menderita kerap menjadi perbincangan eksistensial dalam kehidupan manusia. Sebagian merasa bahwa kebahagiaan adalah anugerah yang tak bisa diubah, sementara sebagian lainnya meyakini bahwa derita adalah bagian dari garis tangan yang harus diterima. Namun, dalam sebuah tausiyah yang mendalam, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Jumari, menyampaikan pandangan yang lebih mendasar: kebahagiaan dan penderitaan adalah takdir sekaligus pilihan.
Menurutnya, penjelasan tentang bahagia atau sengsara sebagai takdir atau pilihan bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, Al-Qur’an telah memberikan pedoman yang jelas melalui firman Allah dalam surah Al-Lail ayat 5–10:
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ
وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ
فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ
وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسْتَغْنَىٰ
وَكَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ
فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْعُسْرَىٰ
Jumari menguraikan, ayat-ayat tersebut menggambarkan dua jalan hidup manusia. Pertama, bagi mereka yang dermawan, bertakwa, dan meyakini adanya balasan baik di akhirat, Allah akan memudahkan jalannya menuju kebahagiaan. Kedua, bagi mereka yang pelit, merasa cukup dengan dirinya sendiri, serta mendustakan hari pembalasan, Allah akan memudahkan jalannya menuju kesulitan.
“Kalau hidupnya lancar, mudah, itu biasanya menunjukkan kebahagiaan. Sebaliknya, jika hidup terasa berat dan penuh kesulitan, maka itu petunjuk adanya penderitaan,” tutur Jumari dalam tausiyahnya.
Baginya, konsep “takdir” dalam konteks ini bukanlah sesuatu yang mutlak dan tidak bisa diubah, melainkan berupa rumus sebab-akibat yang telah ditetapkan oleh Allah. Manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya, apakah menuju bahagia atau menderita, berdasarkan kepatuhan mereka terhadap hukum-hukum ilahi.
“Jadi, Allah sudah memberikan rumus-rumus kehidupan. Manusia tinggal memilih, mau bahagia atau menderita. Inilah bentuk keadilan dan kasih sayang Allah kepada umat manusia,” ujar Jumari.
Ia menekankan bahwa kepekaan spiritual menjadi kunci dalam memahami keadilan Allah. Menurutnya, orang yang tidak menyadari bahwa hidup ini penuh pilihan dan konsekuensi adalah mereka yang hatinya tertutup, atau dalam bahasa Jawa disebut “dablek”.
Lebih jauh, Jumari juga mengaitkan konsep ini dengan masalah kesehatan. Ia mengutip firman Allah dalam surah Asy-Syu’ara ayat 80:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.”
Menurutnya, sakit bukan semata-mata karena Allah menghendaki seseorang sakit, melainkan lebih karena akibat dari perbuatan manusia itu sendiri. Ia mencontohkan, banyak orang yang jatuh sakit akibat pola makan yang tidak sehat, gaya hidup yang sembrono, serta mengabaikan aturan-aturan kesehatan yang sejatinya merupakan bagian dari ketentuan Allah.
Baca juga, Gerakan Ringan demi Kekhusyukan Salat dalam Pandangan Tarjih Muhammadiyah: Menyingkirkan Kucing hingga Mematikan HP
“Kalau kita melanggar aturan Allah, seperti makan berlebihan atau mengonsumsi sesuatu yang seharusnya tidak dimakan, maka sakit adalah konsekuensinya. Jadi, sehat atau sakit itu juga pilihan,” tegasnya.
Jumari mengajak umat Islam untuk merenungkan perjalanan hidup mereka. Ketika sakit datang, seharusnya menjadi waktu untuk mawas diri, bukan sekadar mencari pengobatan. Penyakit, katanya, sering kali menjadi alarm spiritual agar manusia kembali kepada aturan-aturan Allah.
“Allah sudah menggelar pilihan-pilihan hidup di dunia ini dengan segala konsekuensinya. Kalau ingin sehat, ya jalani pola hidup sehat. Kalau ingin bahagia, ya ikuti jalan yang dirumuskan oleh Allah. Semua sudah ada aturannya,” tambahnya.
Ia menutup tausiyah dengan ajakan untuk lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap setiap pilihan hidup. Karena menurutnya, Allah tidak menciptakan hidup ini tanpa panduan. Justru, kebebasan manusia dalam memilih adalah bentuk kemuliaan yang diberikan oleh Allah.
Dengan demikian, kebahagiaan dan penderitaan, sehat dan sakit, bukan sekadar takdir yang turun dari langit, melainkan hasil dari keputusan dan sikap hidup manusia itu sendiri. Takdir dalam Islam bukan berarti menyerah pada keadaan, tetapi memahami dan menaati hukum sebab-akibat yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an.
Dalam pandangan Jumari, orang yang bahagia bukan karena nasib baik semata, melainkan karena ia memilih untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai ketakwaan, keikhlasan, dan keyakinan terhadap akhirat. Demikian pula, orang yang menderita bukan semata karena takdir buruk, tetapi karena ia menjauh dari jalan yang telah ditentukan Allah.
“Jika ingin bahagia, tempuhlah jalan kebahagiaan. Jika ingin sehat, ikutilah aturan hidup sehat. Semua sudah dijelaskan oleh Allah. Tinggal kita mau memilih atau tidak,” pungkasnya.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha