BeritaEditorial

AM Juma’i, Pelanggaran HAM dan Penegakan Hukum Di Indonesia Di Masa Pandemi

PWMJATENG.COM, Berbagai negara di dunia, tengah dikejutkan dengan wabah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus bernama corona atau lebih dikenal dengan istilah Covid-19 (Corona Virus Disease-19). Wabah virus ini memang penularannya sangat cepat menyebar ke berbagai negara di dunia. Sehingga oleh World Health Organization (WHO), menyatakan wabah penyebaran virus covid-19 sebagai pandemi dunia.

Sebagai dampak dari pandemi covid-19 ini, menyebabkan diterapkannya berbagai kebijakan untuk memutus rantai penyebaran virus covid-19 di Indonesia. Upaya yang dilakukan pemerintah,diantaranya ; Physical Distancing | Social Distancing, Work From Home (WFH),menggunakan masker dan upaya lainnya.

Karena cepatnya penyebaran Virus Corona di belahan dunia termasuk di Indonesia , maka seluruh kekuatan anak bangsa untuk ikut terlibat . Hingga kini, negeri tercinta Indonesia masih terus bergumul dengan makhluk Tuhan yang tak kasat mata, yakni virus Corona (Covid-19). Sampai hari ini, penyebaran dan penularannya cenderung menaik signifikan. Kondisi krusial seperti sekarang, mendorong kita untuk mengubah paradigma berpikir dalam menyikapi permasalahan ini. Bukan saatnya lagi mengedepankan egoisme dan apatis terhadap orang lain. Sudah waktunya kita bahu-membahu, memutus rantai penyebaran dan menekan luapan korban jiwa akibat malapetaka ini.

Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi wabah Covid-19. Keputusan yang lahir setelah perenungan serta kajian yang mendalam, mutlak menjadi pedoman pemerintah terkait maslahat keagamaan. Dan umat Islam wajib menaatinya termasuk juga diikuti majelis-majelis agama selain Islam juga mengeluarkan maklumat yang sama.

Dalam fatwa tersebut, ulama kembali mengingatkan kepada kita salah satu dari lima tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams), yaitu menjaga jiwa (kesehatan). Menjaga kesehatan memang bukanlah berada pada urutan pertama, tapi kedudukan serta perannya yang utama, memosisikan kesahatan sebagai dasar dari keempat tujuan lainnya. Terlebih kesehatan akan menunjang keberlangsungan hidup kita.

Dr Burhan Nafati, dosen Peradaban Islam di Universitas Zaitunah, Tunisia, mengutarakan pendapatnya dalam perihal menjaga jiwa. “Jika kehidupan manusia sudah hilang, tidak ada lagi fungsi dari yang lain (tujuan pokok beragama) serta hilang semua maslahatnya (faedahnya). Karena untuk apa kemaslahatan agama dan dunia terjamin, tetapi malah kehidupan orang yang menjalaninya sudah tiada” paparnya.

Kitab klasik aqidah ternama, Jauharul Tauhid karangan Al-Imam Burhanuddin Ibrahim Al-Laqqoni, menyebutkan bahwa syariat qishash (pembalasan sepadan dengan perbuatan) merupakan implementasi dari menjaga jiwa, yang akan diterapkan bagi mereka yang membunuh seseorang tanpa sebab, maka dijatuhi hukuman yang setara dengan perbuatannya. Lantas, bagaimana dengan Corona yang mematikan dibiarkan menyebar, dan membunuh ribuan insan akibat perbuatannya sendiri ?

Sayangnya, masih ada sebagian orang yang beragama hanya berasaskan perasaan, yang tidak bisa dijadikan rujukan atau dalil (ilmu). Sementara, ikhtiyar ulama tidak hanya berdalilkan Alquran dan Sunnah, tetapi juga merujuk kepada arahan dokter yang ahli dalam persoalan ini.

Beragama bukan melulu masalah rasa. “Saya tidak takut Corona, saya hanya takut kepada Allah.” Bukan pula bersifat angkuh, takabbur atas ciptaan Allah yang mematikan itu. Agama telah menyuguhkan solusi, hukum bahkan model konkret yang terjadi pada zaman Rasul SAW melewati perantara ulama. Bukankah Allah telah menyatakan, “Maka bertanyalah kamu kepada ahludz-dzikr (ulama), jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Akhirnya, sebaiknya umat Muslim tidak mengabaikan fatwa para ulama yang terpercaya, terutama yang tergabung dalam lembaga resmi pemerintah. Bukan fatwa atau pendapat seorang ulama atau yang merasa dirinya ulama. Umat Islam mesti mematuhi dan menjalankan fatwa ulama demi kemaslahatan bersama.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia , Maklumat dari Ormas-ormas Islam dan petunjuk dari Majelis-majelis agama serta Istruksi dan aturan Pemerintah terkait upaya memutus mata rantai terhadap penularan Covid 19 tersebut memiliki tujuan yang mulia dan demi kemaslahatan yang lebih besar sehingga harus diikuti dengan seksama dan mengedepankan Humanis dan persuasive dalam tindakan.

Masyarakat diberondong regulasi terkait dengan Covid 19 di Indonesia, diantaranya adalah ; Tentang Coronavirus, Pertanyaan dan Jawaban Terkait COVID-19 (FAQ), .02/II/753/2020 Tentang Revisi ke-3 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi Novel Corona Virus, Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19) – Rev 4, Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/202/2020 tentang Protokol Isolasi Diri Sendiri dalam Penanganan Coronavirus Disease (COVID-19), Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor KH.01.07/MENKES/169/2020 tentang Penetapan Rumah Sakit Rujukan Penanggulangan Penyakit Infeksi Emerging Tertentu, Advice on the use of masks the community, during home care and in health care settings in the context of the novel coronavirus (2019-nCoV) outbreak – WHO (update 6th April 2020), Risk communication and community engagement (RCCE) readiness and response to the 2019 novel coronavirus (2019-nCoV),

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/182/2020 tentang Jejaring Laboratorium Pemeriksaan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), Keputusan Kepala BNPB Nomor 9A Tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia, Keputusan Kepala BNPB Nomor 9A Tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia, Surat Edaran No 13 Tahun 2021 – Pembatasan Pelaksanaan Kegiatan Keagamaan di Rumah Ibadah, Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2021 pada 07 Jul 2021 Tentang perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat berbasis mikro dan mengoptimalkan posko penanganan CORONA VIRUS DISEASE 2019 di tingkat desa dan kelurahan untuk pengendalian penyebaran CORONA VIRUS DISEASE 2019, penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 19 Tahun 2021,dan ditambah lagi aturan perpanjangan PPKM darurat.

Aturan atau regulasi tersebut bagus dalam rangka mengatur dan mengendalikan aktifitas warga masyarakat, namun dalam prakteknya seringkali dijumpai tidak humanis dan melupakan dari sisi kemanusiaan,
Aturan-aturan tersebut mestinya diimbangi dengan solusi dan pendampingan secara komprehensif , warga yang isolasi mandiri, yang WFH,tinggal di rumah merasa aman dan nyaman karena adanya ketersediaan pangan.
Tindakan represif aparat saat melakukan pengawasan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Menurutnya, tindakan represif tersebut hanya menimbulkan persoalan baru di tengah masyarakarat.

Adanya aturan pemerintah menerapkan PPKM Darurat Jawa-Bali saat jumlah kasus Covid-19 kian meningkat sangat baik dan patut kita dukung. Namun disayangkan para aparat yang ditugaskan untuk mengawasi jalannya kebijakan tersebut malah bertindak berlebihan kepada masyarakat. Penerapan aturan PPKM tersebut harus tetap dilakukan sesuai koridor hukum dan tetap mengacu pada prinsip kewajiban negara untuk menghormati, menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia (HAM).

Adanya tindakan represif dari aparat tersebut menjadi catatan bagi masyarakat,ormas dan LSM yang konsen memperhatikan aspek kemasyarakatan dan kemanusiaan tersebut. penggunaan kekerasan atau tindakan koersif lainnya dilakukan aparat selama masa penegakkan aturan PPKM Darurat Jawa-Bali.

Bentuk tindakan kekerasan yang dilakukan pun beragam, semisal kasus yang paling mencuat di media ialah ketika oknum petugas Satpol PP melakukan aksi penyemprotan warung menggunakan mobil pemadam kebakaran di Semarang, penyitaan barang-barang milik pedagang dan tindakan lainnya.

Berbagai peristiwa tersebut seharusnya tidak terjadi jika pemerintah dan pemerintah daerah mampu memberikan solusi atas kondisi rill yang dihadapi masyarakat, karena tindakan kekerasan ataupun koersif yang dilakukan aparat tersebut justru dapat memicu kemarahan masyarakat dan berpotensi mendorong terjadinya pembangkangan sipil terhadap kebijakan pemerintah. Apabila itu terjadi, maka pemerintah maupun masyarakat akan dirugikan karena pandemi Covid-19 yang tidak kunjung usai. Di satu sisi, pemerintah dan pemerintah daerah akan menanggung akibat berlarutnya situasi darurat Covid-19 ini, di sisi lain kehidupan masyarakat juga semakin sulit khususnya dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

Lebih jauh, penggunaan kekerasan atau tindakan koersif oleh aparat di lapangan dapat memicu kemarahan masyarakat dan berpotensi mendorong terjadinya pembangkangan sipil (civil disobedient) terhadap kebijakan pemerintah. Jika hal ini terjadi, tentunya semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat akan dirugikan akibat berlarut-larutnya pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap berbagai sektor kehidupan masyarakat. Di satu sisi, pemerintah dan pemerintah daerah akan menanggung akibat berlarutnya situasi darurat Covid ini, di sisi lain kehidupan masyarakat juga semakin sulit khususnya dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Maka dari itu, penerapan aturan PPKM di masyarakat akan berjalan efektif apabila aparat di lapangan seperti Satpol PP, TNI dan Polri lebih mengedepankan pendekatan persuasif dan humanis kepada masyarakat. Para aparat juga harus bisa memahami kalau di tengah musibah pandemi Covid-19 masyarakat tengah dalam posisi sulit untuk bertahan hidup, apalagi di tengah negara untuk melindungi hak-hak ekonomi masyarakat khususnya masyarakat miskin yang terdampak pandemi dan kebijakan PPKM.

Pemerintah mesti memberikan kompensasi kepada masyarakat terdampak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 Ayat 1 UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Apabila pemerintah dengan aturan yang ada memaksa masyarakat untuk taat terhadap kebijakan PPKM tanpa adanya bantuan yang memadai bagi kebutuhan pokok masyarakat tersebut maka hal ini tidak manusiawi.

Komitmen terhadapat upaya pemutusan mata rantai penularan Covid 19 tidaak hanya dilakukan oleh Pemerintah , namun para tokoh ormas,tokoh agama,tokoh masyarakat turut serta menggerakkan segala daya dan upaya . Selama PPKM DARURAT para ormas ,tokoh masyarakat, tokoh agama telah mengawal kebijakan tersebut dengan rasa tanggungjawab dan mengharap ridho Allah SWT; ada bakti sosial dengan pembagian paket sembako, penyemprotan lingkungan dan tempat2 fasilitas umum, Dapur umum peduli para korban covid , donor darah dan turut sosialisasi secara masif di masyarakat serta adanya relawan tim pamulasaraan jenazah pasien covid 19. Justru mestinya ada pemberian apresiasi dan penghargaan dari pihak Pemerintah , pihak kepolisian/TNI kepada para tokoh agama,tokoh masyarakat, tokoh ormas atas dedikasi dan kepedulian dalam mengawal kebijakan pemerintah tentang ppkm darurat dan regulasi lainnya dalam penanggulangan Covid 19 .

Tokoh agama,tokoh masyarakat dan ormas yang tidak masuk dalam struktur formal organisasi penanggulangan covid baik di tingkat provinsi maupun tingkat kota /kabupaten,karena tim Covid daerah dan pusat tidak menyertakan kekuatan masyarakat melalui kelembagaan yang dibentuk oleh masyarakat termasuk lembaga keagamaan, walau demikian para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh ormas tetap konsisten dan istiqomah dalam mengawal ppkm darurat kebijakan pemerintah , maka ke depan perlu mendapatkan perhatian sehingga dapat dirangkul secara formal dalam tim penanggulangan pandemi covid 19, sehingga tidak terkesan para tokoh agama,tokoh masyarakat dan ormas hanya sebagai peredam suara parau atau mungkin hanya seperti sebagai pemadam kebakaran.

Memang diakui serba repot di kalangan bawah dalam parkteknya disatu sisi ingin menyelematkan jiwa namun disisi lain dianggap menghilangkan jiwa kemanusiaan karena adanya pembatasan –pembatasan yang sangat menyengsarakan rakyat juga karena taraf ekonomi drop sehingga mengakibatkan psikologis drop dan kesehatannya juga turut drop bukan hanya karena Covid namun karena kelaparan dan ketakutan.

Patut kita pahami suasana kebatinan Pemerintah dan suasana kebatinan masyarakat dengan adanya ppkm berjilid-jilid ini, dan hal ini juga tidak dipungkiri berdasarkan pengamatan di lapangan bahwa berkembang suasana yang tidak mengenakan di masyarakat yaitu: masyarakat tidak percaya kepada pemerintah dan jenuh kepada pemerintah serta saat ini kebanyakan masyarakat bertumpu pada tokoh agama ,tokoh masyarakat. Maka akomodir kekuatan tokoh agama dan tokoh masyarakat sangat strategis dan efektif untuk dilibatkan secara formal struktural dan secara moral cultural dalam penanggulangan Covid 19 di Masyarakat.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi melalui email.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE