PWMJATENG.COM, Surakarta – Alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit terus menuai polemik di Indonesia. Sebagai salah satu pemilik hutan tropis terbesar setelah Brasil, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara ekonomi dan ekologi. Pakar kehutanan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Aziz Akbar Mukasyaf, menilai bahwa langkah tersebut bertentangan dengan komitmen lingkungan yang telah disepakati Indonesia.
“Penambahan alih fungsi hutan ini melukai komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Indonesia sudah berkomitmen melalui REDD dan Paris Agreement untuk menekan dampak negatif terhadap lingkungan,” ujar Aziz, Jumat (31/1).
Selain merusak keseimbangan ekosistem, alih fungsi lahan berdampak pada fauna dan flora yang kehilangan habitatnya. Aziz mencontohkan, satwa liar yang kehilangan tempat tinggal akan bermigrasi ke lingkungan manusia. Jika tidak menemukan habitat baru, mereka akan dianggap sebagai hama dan berisiko diburu hingga punah.
Aziz menegaskan bahwa hutan memiliki peran vital dalam menjaga siklus alam seperti daur oksigen, nitrogen, dan karbon dioksida. Jika hutan terus berkurang, keseimbangan ekosistem akan terganggu, bahkan mengancam ketersediaan oksigen bagi manusia.
“Kalau hutan hilang, kita kekurangan produksi oksigen. Lantas, kita bernapas dengan apa?” tanyanya retoris.
Menurutnya, kondisi hutan di Indonesia, terutama di luar Jawa, sudah mengalami penyusutan drastis. Hutan alam beralih menjadi hutan tanaman yang dikelola untuk kepentingan industri, seperti eucalyptus untuk bahan baku kertas. Perubahan ini tidak hanya memicu konflik sosial dan ekonomi, tetapi juga memperparah pemanasan global.
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mengaitkan sawit dengan ketahanan pangan dan energi mendapat tanggapan kritis dari Aziz. Menurutnya, sawit lebih berorientasi pada industri komersial seperti minyak goreng, mentega, dan kosmetik.
“Ketahanan pangan itu di mana? Saya tidak melihat hubungannya,” tegasnya.
Jika sawit dikaitkan dengan ketahanan energi, Aziz mengakui bahwa tanaman ini bisa digunakan untuk biofuel. Namun, ia menekankan bahwa masih banyak sumber energi alternatif lain yang bisa dimanfaatkan tanpa harus mengorbankan hutan.
Baca juga, Terbukanya Kebenaran Al-Quran di Alam Semesta dan Peran Objektif Artificial Intelligence
Pewartaan Reuters mencatat bahwa Indonesia telah meningkatkan upaya ketahanan pangan dengan menargetkan pengadaan 3 juta ton beras domestik pada 2025, meningkat signifikan dari 1,27 juta ton pada 2024. Selain itu, pemerintah juga mengimpor lebih dari 3,7 juta ton beras.
“Kalau ini sudah mencukupi ketahanan pangan, mengapa masih perlu membuka lahan sawit lagi?” ungkapnya.
Aziz juga menyoroti pembangunan Food Estate yang mengalihfungsikan hutan menjadi lahan pertanian. “Apakah masih kurang? Lebih baik dikaji ulang,” ujarnya.
Salah satu argumen yang kerap digunakan untuk membenarkan alih fungsi hutan adalah bahwa sawit juga menghasilkan oksigen. Namun, Aziz membantah klaim tersebut dengan menegaskan bahwa secara biologis, sawit bukanlah pohon.
“Sawit tidak memiliki batang kambium atau jaringan kayu. Secara taksonomi, ia masuk dalam palem-paleman dan memiliki akar serabut,” jelasnya.
Struktur akar serabut sawit membuatnya kurang stabil pada tanah tertentu, sehingga rentan tumbang. Selain itu, umur produktif sawit hanya sekitar 20-30 tahun, setelah itu produktivitasnya menurun drastis.
Sawit juga ditanam secara monokultur, yang berarti hanya ada satu jenis tanaman dalam satu wilayah. Hal ini membuat sawit sangat rentan terhadap perubahan iklim dan serangan hama. Aziz mengingatkan bahwa keberagaman plasma nutfah sawit yang rendah dapat menjadi bencana jika hama menyerang secara masif.
“Jika satu jenis sawit terkena hama, seluruh perkebunan sawit di Indonesia bisa terdampak. Ini sangat berisiko bagi ketahanan energi dan ekonomi kita,” imbuhnya.
Sebagai solusi, Aziz menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada intensifikasi pertanian ketimbang membuka lahan baru. Langkah ini bisa dilakukan dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah ada tanpa harus merusak ekosistem hutan.
“Memaksimalkan lahan pertanian yang ada jauh lebih bijak dibanding terus-menerus membuka hutan untuk perkebunan sawit,” pungkasnya.
Kontributor : Maysali
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha