Sastra

Abu Bakar As-Shidiq – Sahabat Sejati Rasulullah dan Pemimpin Umat

Abu Bakar As-Shidiq – Sahabat Sejati Rasulullah dan Pemimpin Umat

Seri 5: Perjanjian Hudaibiyah – Kesabaran Abu Bakar dalam Diplomasi Islam

Oleh : Dwi Taufan Hidayat (Penasehat Takmir Mushala Al-Ikhlas Desa Bergas Kidul Kabupaten Semarang, Sekretaris Korps Alumni PW IPM/IRM Jawa Tengah, & Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas Kabupaten Semarang)

PWMJATENG.COM – Madinah semakin berkembang menjadi pusat peradaban Islam. Dengan pondasi yang kokoh, Islam tidak hanya bertahan, tetapi juga mulai merambah ke berbagai penjuru jazirah Arab. Namun, di balik keberhasilan itu, kaum Quraisy di Mekah masih menjadi ancaman besar. Mereka tidak rela melihat Islam semakin kuat, bahkan setelah kekalahan mereka di Perang Badar dan Uhud.

Tahun keenam Hijriyah, Rasulullah bermimpi bahwa beliau dan para sahabat akan memasuki Mekah untuk menunaikan ibadah umrah. Mimpi seorang Nabi adalah bagian dari wahyu, sehingga Rasulullah yakin bahwa ini adalah isyarat dari Allah.

Berita ini segera tersebar di Madinah. Kaum Muslimin sangat gembira mendengar kabar tersebut. Mereka bersiap-siap berangkat ke Mekah, bukan untuk berperang, melainkan untuk beribadah. Abu Bakar, seperti biasa, berada di barisan terdepan, memastikan bahwa rombongan Muslimin tetap dalam kondisi aman dan terkendali.

Rasulullah dan sekitar 1.400 kaum Muslimin pun berangkat menuju Mekah dengan mengenakan pakaian ihram, tanpa membawa senjata kecuali pedang yang disarungkan—sebuah tanda bahwa mereka datang dengan damai.

Namun, Quraisy tidak tinggal diam. Begitu mendengar kedatangan Rasulullah dan rombongan, mereka langsung mengerahkan pasukan untuk menghadang. Mereka tidak mau kaum Muslimin memasuki kota Mekah, meskipun hanya untuk beribadah.

Ketegangan di Hudaibiyah

Dalam perjalanan menuju Mekah, Rasulullah dan rombongan tiba di daerah Hudaibiyah, sekitar 20 km dari Mekah. Di sinilah perjalanan mereka tertahan. Pasukan Quraisy menghalangi mereka, bersikeras bahwa kaum Muslimin tidak boleh masuk ke Mekah.

Situasi menjadi tegang. Sebagian sahabat ingin bertindak lebih keras, tetapi Rasulullah tetap mengedepankan perdamaian.

“Wahai kaum Quraisy, kami datang bukan untuk berperang, melainkan untuk beribadah,” kata Rasulullah kepada utusan Quraisy yang datang menemui beliau.

Namun, Quraisy tetap menolak memberi izin. Rasulullah pun mengutus Utsman bin Affan untuk berbicara dengan pemimpin Quraisy. Namun, di tengah negosiasi, tersiar kabar bahwa Utsman ditawan atau bahkan dibunuh oleh Quraisy.

Mendengar kabar ini, kaum Muslimin sangat marah. Mereka bersiap untuk berperang, dan Rasulullah meminta para sahabat bersumpah setia untuk membelanya. Sumpah ini dikenal sebagai Baiat Ridwan, yang Allah abadikan dalam Al-Qur’an:

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ

“Sesungguhnya Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon…” (QS. Al-Fath: 18)

Di antara orang pertama yang berbaiat adalah Abu Bakar. Ia dengan penuh keyakinan meneguhkan janjinya kepada Rasulullah, siap berkorban apa pun demi Islam.

Namun, tak lama kemudian, kabar bahwa Utsman masih hidup datang. Ketegangan pun sedikit mereda, dan negosiasi dilanjutkan.

Perjanjian yang Tampak Menguntungkan Quraisy

Setelah perundingan yang panjang, Rasulullah akhirnya menerima kesepakatan yang ditawarkan Quraisy. Perjanjian ini dikenal sebagai Perjanjian Hudaibiyah, yang berisi beberapa poin utama:

  1. Kaum Muslimin tidak diizinkan memasuki Mekah tahun ini, tetapi mereka boleh kembali tahun depan untuk menunaikan umrah dengan syarat tidak tinggal lebih dari tiga hari.
  2. Gencatan senjata selama 10 tahun antara kaum Muslimin dan Quraisy.
  3. Jika ada penduduk Mekah yang hijrah ke Madinah tanpa izin walinya, ia harus dikembalikan ke Mekah. Tetapi jika ada penduduk Madinah yang kembali ke Mekah, ia tidak akan dikembalikan ke Madinah.

Ketika perjanjian ini ditulis, ada momen yang sangat menguji kesabaran Abu Bakar dan kaum Muslimin. Salah satu poin yang ditentang para sahabat adalah bahwa nama “Rasulullah” di dalam dokumen harus dihapus dan diganti dengan “Muhammad bin Abdullah,” karena Quraisy tidak mengakui kenabian beliau.

Baca juga, Indahnya Berbuka dengan Sederhana dan Penuh Syukur

Ali bin Abi Thalib yang bertugas menulis perjanjian itu merasa berat hati menghapus gelar “Rasulullah,” tetapi Rasulullah sendiri dengan tenang meminta Ali untuk menghapusnya.

Abu Bakar, yang selalu menjadi penguat Rasulullah, menahan emosinya. Ia memahami bahwa perjanjian ini bukanlah kekalahan, melainkan strategi jangka panjang. Namun, tidak semua sahabat bisa menerima keputusan ini dengan mudah. Salah satunya adalah Umar bin Khattab yang datang menemui Abu Bakar dengan penuh emosi.

“Wahai Abu Bakar, bukankah kita berada di atas kebenaran dan mereka dalam kesesatan?” tanya Umar.

“Benar,” jawab Abu Bakar.

“Bukankah kita mati dalam keadaan Islam adalah lebih baik daripada hidup dalam kekufuran?”

“Benar,” jawab Abu Bakar lagi.

“Lalu mengapa kita harus menerima penghinaan ini?” lanjut Umar dengan nada penuh kemarahan.

Dengan ketenangannya, Abu Bakar menjawab, “Wahai Umar, tetaplah berpegang pada Rasulullah. Sesungguhnya beliau berada dalam bimbingan Allah, dan Allah tidak akan menelantarkan beliau.”

Jawaban itu akhirnya menenangkan hati Umar. Ia pun memahami bahwa Rasulullah memiliki pandangan jauh ke depan, sesuatu yang tidak selalu bisa dilihat saat ini.

Hasil dari Kesabaran Abu Bakar dan Kaum Muslimin

Meskipun perjanjian ini awalnya tampak menguntungkan Quraisy, ternyata dalam beberapa tahun berikutnya, perjanjian ini justru menjadi titik balik kemenangan Islam.

Dalam masa gencatan senjata, Islam berkembang pesat tanpa gangguan. Banyak orang Quraisy yang mulai melihat Islam dari dekat dan akhirnya masuk Islam, termasuk Khalid bin Walid dan Amr bin Ash—dua jenderal Quraisy yang kelak menjadi pahlawan Islam.

Di sisi lain, Quraisy melanggar perjanjian dengan menyerang sekutu Muslim, yang akhirnya menjadi alasan bagi Rasulullah untuk menaklukkan Mekah dua tahun kemudian.

Peristiwa ini membuktikan bahwa kesabaran yang ditunjukkan Abu Bakar dan kaum Muslimin bukanlah kelemahan, tetapi bagian dari strategi kemenangan yang lebih besar.

Dan Abu Bakar, dengan ketenangan dan keyakinannya, terus menjadi penopang utama Rasulullah dalam setiap ujian yang dihadapi umat Islam.

(Bersambung ke Seri 6 – Penaklukan Mekah: Perjalanan Abu Bakar Kembali ke Tanah Kelahirannya)

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE