Abu Bakar As-Shidiq – Sahabat Sejati Rasulullah dan Pemimpin Umat

Abu Bakar As-Shidiq – Sahabat Sejati Rasulullah dan Pemimpin Umat
Seri 4: Pondasi Negara Islam – Abu Bakar dalam Perjuangan di Madinah
Oleh : Dwi Taufan Hidayat (Penasehat Takmir Mushala Al-Ikhlas Desa Bergas Kidul Kabupaten Semarang, Sekretaris Korps Alumni PW IPM/IRM Jawa Tengah, & Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas Kabupaten Semarang)
PWMJATENG.COM – Madinah bukan sekadar tempat hijrah bagi Rasulullah dan para sahabat, tetapi juga menjadi panggung baru bagi perjuangan Islam. Di kota ini, Islam mulai berkembang dengan lebih bebas tanpa tekanan kafir Quraisy, dan Abu Bakar As-Shidiq tetap menjadi sosok terdekat Rasulullah dalam membangun pondasi negara Islam yang kokoh.
Setibanya di Madinah, Rasulullah segera mempersaudarakan kaum Muhajirin—para sahabat yang berhijrah dari Mekah—dengan kaum Anshar, yaitu penduduk asli Madinah yang telah lebih dahulu menerima Islam. Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zaid, seorang tokoh terhormat dari suku Khazraj. Hubungan mereka pun menjadi begitu erat, bukan sekadar pertemanan, tetapi persaudaraan sejati dalam keimanan.
Namun, kehidupan di Madinah tidak serta-merta menjadi mudah bagi Abu Bakar dan kaum Muhajirin lainnya. Mereka menghadapi berbagai tantangan, termasuk sulitnya mencari nafkah di tempat yang baru. Sebagai seorang pedagang yang andal, Abu Bakar tidak ingin bergantung pada bantuan orang lain. Ia kembali berusaha membangun bisnisnya dari nol dengan berdagang kain di pasar Madinah.
Rasulullah pun mulai menyusun sistem pemerintahan Islam. Beberapa langkah awal yang beliau lakukan adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah dan pemerintahan, serta menyusun Piagam Madinah—konstitusi pertama dalam sejarah Islam—yang mengatur hubungan antara umat Islam, kaum Yahudi, dan kelompok lain di kota itu.
Dalam semua proses itu, Abu Bakar selalu berada di sisi Rasulullah. Ia adalah penasihat utama, sahabat setia, dan salah satu pemikir yang ikut menyusun strategi dalam mengatur masyarakat Madinah.
Menghadapi Ancaman dari Luar dan Dalam
Kehidupan di Madinah tidak serta-merta aman. Ada berbagai ancaman yang mengintai, baik dari dalam maupun luar kota.
Dari dalam, kelompok-kelompok munafik yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay berusaha melemahkan persatuan umat Islam. Mereka berpura-pura masuk Islam, tetapi diam-diam menyebarkan fitnah dan memecah belah umat. Abu Bakar yang dikenal sebagai sosok bijak dan lembut tetap bersikap tenang dalam menghadapi tipu daya mereka. Ia sering mengingatkan kaum Muslimin agar tidak mudah terprovokasi dan tetap berpegang teguh pada ajaran Rasulullah.
Di sisi lain, dari luar Madinah, kaum Quraisy di Mekah tentu tidak tinggal diam. Mereka tidak menerima kenyataan bahwa Islam semakin kuat di Madinah. Mereka mulai merancang strategi untuk menyerang kaum Muslimin.
Ketegangan semakin meningkat hingga akhirnya pecah perang pertama dalam sejarah Islam: Perang Badar.
Peran Abu Bakar dalam Perang Badar
Perang Badar terjadi pada tahun ke-2 Hijriyah. Kaum Muslimin yang berjumlah sekitar 313 orang harus menghadapi pasukan Quraisy yang berjumlah lebih dari 1.000 orang. Dalam situasi genting ini, Abu Bakar kembali menunjukkan keberanian dan keteguhannya.
Di malam sebelum peperangan, Rasulullah menghabiskan waktu untuk berdoa dengan penuh kekhusyukan. Dengan air mata yang berlinang, beliau mengangkat tangan dan memohon pertolongan Allah:
“Ya Allah, jika pasukan kecil ini kalah, maka tak akan ada lagi yang menyembah-Mu di muka bumi ini.”
Abu Bakar, yang sejak awal memahami betapa beratnya perjuangan ini, mendekati Rasulullah dan dengan penuh ketulusan menenangkan beliau, “Wahai Rasulullah, tenanglah. Sesungguhnya Allah akan menepati janji-Nya.”
Baca juga, Puasa sebagai Sarana Membersihkan Jiwa dan Raga
Saat perang dimulai, Abu Bakar berada di barisan terdepan, bertempur dengan penuh keberanian. Bahkan, salah satu lawannya di medan perang adalah anaknya sendiri, Abdurrahman bin Abu Bakar, yang saat itu masih dalam barisan kafir Quraisy.
Abdurrahman bertahun-tahun kemudian mengisahkan, “Di Perang Badar, aku melihat ayahku di medan pertempuran. Tetapi aku menghindari berhadapan dengannya karena aku masih menyayangi beliau.”
Namun, Abu Bakar, dengan keimanannya yang teguh, tidak ragu sedikit pun dalam berjihad di jalan Allah. Baginya, keimanan adalah segalanya, bahkan lebih besar daripada ikatan darah.
Dengan pertolongan Allah, kaum Muslimin meraih kemenangan besar di Perang Badar. Pasukan Quraisy mengalami kekalahan telak, dan banyak pemuka mereka yang tewas. Ini adalah kemenangan pertama yang menunjukkan bahwa Islam bukan lagi agama yang bisa diremehkan.
Menjadi Penopang Rasulullah dalam Ujian Berat
Setelah kemenangan Badar, tantangan baru pun muncul. Salah satunya adalah Perang Uhud, di mana pasukan Muslim sempat mengalami kemunduran akibat kelalaian sebagian prajurit yang meninggalkan posnya. Saat itu, ada momen genting di mana Rasulullah terluka parah, bahkan sempat tersiar kabar bahwa beliau wafat.
Di tengah kekacauan itu, Abu Bakar tetap teguh. Bersama Umar bin Khattab dan beberapa sahabat lainnya, ia berusaha mengembalikan semangat kaum Muslimin.
Ujian berat lain yang menimpa umat Islam adalah peristiwa fitnah terhadap Aisyah, istri Rasulullah dan putri Abu Bakar. Kaum munafik menyebarkan kabar dusta bahwa Aisyah berselingkuh, menyebabkan kegelisahan di kalangan Muslimin. Sebagai seorang ayah, hati Abu Bakar hancur, tetapi ia tetap menyerahkan semua urusan kepada Allah. Dan akhirnya, Allah sendiri yang menurunkan wahyu dalam Surah An-Nur untuk membebaskan Aisyah dari tuduhan tersebut.
Kejadian ini semakin mengukuhkan betapa luar biasanya keimanan Abu Bakar. Ia tidak mudah terpancing emosi, tetap sabar dalam ujian, dan selalu mengutamakan kepentingan Islam di atas segalanya.
Madinah: Negeri Islam yang Kokoh
Dengan keberhasilan Rasulullah dan para sahabat, Madinah semakin berkembang menjadi pusat peradaban Islam. Abu Bakar terus berada di sisi Rasulullah, tidak hanya sebagai penasihat, tetapi juga sebagai sahabat sejati yang selalu mendukung perjuangan beliau.
Islam semakin kuat, dan Abu Bakar adalah salah satu pondasi utama dalam perjalanan ini. Ia bukan hanya seorang sahabat yang setia, tetapi juga pemimpin yang visioner, yang kelak akan melanjutkan estafet kepemimpinan setelah Rasulullah wafat.
Namun, perjuangan belum selesai. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi, termasuk ancaman besar dari pasukan Quraisy yang menginginkan kehancuran Islam.
(Bersambung ke Seri 5 – Perjanjian Hudaibiyah: Kesabaran Abu Bakar dalam Diplomasi Islam)
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha