Hukum Adzan untuk Jenazah dan Jamak-Qashar dalam Perspektif Tarjih Muhammadiyah
PWMJATENG.COM, Surakarta – Kajian Tarjih yang digelar oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada Selasa (14/1) mengangkat topik penting seputar hukum adzan untuk jenazah di liang kubur serta penerapan shalat jamak-qashar dalam kegiatan persyarikatan. Kajian ini dihadirkan secara daring melalui kanal YouTube tvMu Channel dan menjadi bagian dari agenda rutin Biro Pengembangan dan Sumber Daya Manusia (BPSDM) UMS untuk pengembangan ilmu Al-Islam dan Kemuhammadiyahan bagi dosen serta tenaga kependidikan UMS.
Acara ini menghadirkan narasumber yang kompeten, yakni Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Syamsul Hidayat. Ia memaparkan dua topik utama yang menjadi pembahasan penting dalam kajian kali ini, yaitu adzan untuk jenazah yang dikuburkan dan praktik jamak-qashar dalam kegiatan tertentu.
Syamsul membuka kajian dengan membahas soal adzan jenazah di liang kubur, sebuah tradisi yang banyak ditemukan di masyarakat. Banyak kalangan yang mempertanyakan apakah adzan untuk jenazah di kuburan merupakan amalan yang sesuai dengan tuntunan agama. Seperti yang dijelaskan Syamsul, sebagian masyarakat mengaitkan adzan jenazah dengan qiyas, yaitu perbandingan antara adzan untuk bayi yang baru lahir. “Di beberapa kitab disebutkan, bayi yang baru lahir diadzankan di telinga kanan dan iqomah di kiri. Maka, ada yang menuntunkan adzan jenazah di kuburan dengan qiyas tersebut,” ujarnya.
Namun, Syamsul mengingatkan bahwa penggunaan qiyas ini sebenarnya lemah dalam kajian Ushul Fiqh. Qiyas, menurutnya, adalah metode hukum yang digunakan untuk menyamakan perkara yang belum ada nash hukum dengan perkara yang memiliki nash berdasarkan kemaslahatan atau illat. Namun, dalam konteks adzan untuk jenazah, qiyas yang diterapkan tidak memiliki illat yang cukup kuat. Oleh karena itu, menurut Majelis Tarjih, praktik ini tidak sesuai dengan ajaran yang sah.
Baca juga, Ketum PP Muhammadiyah Tekankan Transformasi Strategi Dakwah dan Pergerakan Organisasi dalam Tanwir ‘Aisyiyah
Lebih lanjut, Syamsul menjelaskan bahwa adzan untuk bayi yang baru lahir bertujuan untuk memperkenalkan suara adzan sebagai panggilan shalat, sementara adzan untuk jenazah tidak memiliki tujuan serupa. “Jadi, qiyas ini termasuk dalam kategori qiyas yang rusak atau bathil,” tambahnya dengan tegas.
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai hukum jamak dan qashar, khususnya dalam konteks kegiatan di Muhammadiyah, seperti rapat pimpinan, musyawarah, dan baitul arqam. Menurut Syamsul, dalam beberapa kitab fiqih, jamak dan qashar diperbolehkan bagi orang yang sedang bepergian (safar), sakit, atau dalam kondisi tertentu seperti hujan. Namun, beliau menekankan bahwa hal ini juga dapat diterapkan dalam kegiatan yang dilaksanakan dalam kegiatan organisasi Muhammadiyah.
Syamsul merujuk pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, di mana Rasulullah SAW pernah melakukan shalat jamak antara dhuhur dan ashar, serta maghrib dan isya, meskipun tidak dalam keadaan safar atau ketakutan. “Rasulullah menghendaki agar umatnya tidak dipersulit dalam menjalankan kewajiban ibadah,” kata Syamsul, yang juga Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) UMS.
Berdasarkan hadits tersebut, Syamsul menambahkan bahwa dalam kegiatan seperti rapat pimpinan di dalam kota (domisili), jamaah dapat melakukan shalat jamak tanpa syarat hujan, safar, atau ketakutan. Namun, apabila kegiatan dilakukan di luar domisili, seperti menghadiri rapat atau pengajian di kota lain, maka umat dapat melaksanakan shalat jamak-qashar dengan alasan safar.
Sebagai penutup, Syamsul mengingatkan bahwa kebijakan ini bertujuan memudahkan umat dalam menjalankan ibadah, terutama dalam kegiatan yang padat dan berhubungan dengan organisasi atau persyarikatan. Hal ini menunjukkan fleksibilitas ajaran Islam yang memprioritaskan kemudahan bagi umatnya.
Kontributor Yusuf
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha