Jatuhnya Syiria, Prospek Timur Tengah, dan Risiko Gerakan Islam Bawah Tanah
Jatuhnya Syiria, Prospek Timur Tengah, dan Risiko Gerakan Islam Bawah Tanah
Oleh : Prof. Dr. Ahwan Fanani, M.Ag. (Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah. Cendekiawan muslim)
PWMJATENG.COM – Saat Hizbullah mengadakan gencatan senjata dengan Israel 27 November 2024 lalu, saya sudah punya feeling akan ada hal yang kurang baik. Israel tidak pernah mau melakukan gencatan senjata kecuali atas tekanan Amerika. Tapi akhir-akhir ini Amerika sepertinya sedang mendukung segala aksi kejahatan Israel tanpa kehrbsak untuk mencegah, bahkan resolusi PBB agar terjadi gencatan antara Israel dan Palestina pun diveto oleh Amerika. Karena itu, langkah gencatan senjata Israel dan Hizbullah tentu mencurigakan, di tengah kepungan Iran (Timur) Hizbullah (Utara), dan Milisi Houthi (Selatan).
Benar saja, ternyata terjadilah satu perubahan konstelasi politik di Timur Tengah, yaitu tumbangnya rezim al-Assad di Syiria. Sebagian orang bertempik sorak karena rezim Syiah yang sudah berkuasa secara diktator di negara mayoritas Sunni itu tumbang. Para pemberontak, yang umumnya orang-orang Sunni bergembira dan bertakbir dengan kekalahan rezim Assad setelah konflik lama terjadi antara Pemerintah Syiria dan pemberontak. Dalam situasi normal pun kita patut bergembira pula dengan perubahan politik di Syiria.
Namun, secara geopolitik tumbangnya rezim Assad ini juga membawa kabar kurang menggembirakan. Pertama, pusat ancaman bagi Israel juga berkurang karena Syiria adalah sekutu Iran, bersama Hizbullah dan Houthi di Yaman. Tumbangnya Rezim Asad membuat Israel berlega hati karena salah satu ancamannya hilang.
Kedua, jalur pasokan senjata dari Iran ke Hizbullah menjadi terputus sehingga posisi Hizbullah juga terancam bila terjadi kembali konflik dengan Israel. Hengkangnya Rusia dari Syiria akan membuat Israel semakin leluasa untuk menekan negara-negara tetangganya. Saat ini, hanya Israel yang bisa mengebom atau membunuh pimpinan negara lain di Iran, Iraq dan Syiria tanpa ada sanksi internasional.
Ketiga, pemerintahan baru Syiria pun rentan perpecahan. Faksi-faksi yang berperang dengan rezim Asad itu beragam latar belakangnya. Kekuatan penting yang membuat rezim Assad tumbang adalah al-Qaedah, yang turut dilatih Amerika. Bahkan ISIS pun ikut serta dalam pertempuran di Syiria dan dilatih Amerika. Tidak lupa para tentara Ukraina pun dikabarkan ikut berperang di Syiria. Turunnya rezim Asad membuat Syiria rentan jatuh ke dalam perangkap Amerika dan Eropa untuk mengendalikan jalur pasokan minyak dari Timur Tengah.
Buru-buru beberapa podcast yang berafiliasi dengan Israel menggemakan info agen Israel Mossad bahwa jatuhnya Syiria berarti pula jatuhnya Israel, seperti diungkap The CJ Earleman Show. Tentu saja info Mossad itu hanya kamuflase untuk menutupi peran mereka dalam menumbangkan rezim Asad dengan mobilisasi al-Qaedah, yang selama ini menjadi salah satu alasan untuk perang global melawan terorisme yang digaungkan Amerika. Namun, kelompok tetoris itu kini dalam satu barisan dengan Israel dan kepentingan Barat, khususnya US.
Seorang warga Syiria, yang tidak menyukai rezim Asad, malah khawatir bahwa yang paling diuntungkan dengan tumbangnya Asad adalah Israel. Menurutnya, selama ini al-Qardah tidak pernah menyerang Israel dan bahkan milisi al-Qaedah yang luka diobati di rumah sakit Israel di Golan. Jatuhnya rezim Asad kali ini juga memutus rantai senjata yang mengancam Israel.
Konsekuensi dari kejadian politik di Syiria adalah semakin sulitnya nasib Palestina jika tekanan terhadap Israel melemah. Amerika juga akan semakin menguatkan cengkeramannya di Timur Tengah. Eropa akan bergembira karena jalur pasokan minyak secara langsung bisa dikirim via Syiria. Walhasil geng Amerika, Barat dan Israel akan menangguk keuntungan.
Baca juga, Ibnu Hasan: Pentingnya Muhammadiyah ‘Menjaga Saf’ di Luar Masjid
Pernyataan di atas tidak bermaksud pula untuk membenarkan perilaku Rezim Asad, yang tidak disukai mayoritas rakyat Syiria. Dalam situasi normal jatuhnya, Rezim Asad ini patut disyukuri, tapi dalam konteks sekarang antara keuntungan dan kerugian dari lengsernya Rezim Asad tampak sulit ditimbang. Mungkin para pemberontak yang murni didorong oleh semangat perlawanan terhadap Rezim Asad harus pula bersaing dengan al-Qaedah atau ISIS, yang sekarang rampil lebih rapi dan terstruktur.
Sebagai pelajaran bagi umat Islam adalah bahwa kelompok Islam garis keras sangat mudah ditunggangi oleh kepentingan asing. Dunia bawah tanah pergerakan Islam itu mudah terjebak dalam dunia abu-abu, yaitu dunia yang dipenuhi semangat untuk membela agama, tetapi pada faktanya dipergunakan untuk membela kepentingan Amerika. Bagaimana pun militer dan agen intelejen asing punya sumber daya besar untuk merekrut orang dengan doktrin agama untuk dimanfaatkan bekerja bagi kepentingan mereka.
Dunia remang gerakan Islam sangat mudah diinfiltrasi intelejen maupun tangan kekuatan lain. Mungkin ada yang menyadari hal tersebut, seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang membubarkan diri karena khawatir diinfiltrasi. Namun, masih terbuka peluang gerakan-gerakan Islam bawah tanah diinfiltrasi dan dimobilisasi dengan doktrin tertentu, yang sebenarnya dimanfaatkan oleh agen-agen.
Organisasi besar semacam NU dan Muhammadiyah mungkin pula diinfiltrasi oleh kepentingan jahat asing. Tetapi dengan keterbukaan sistem dan informasi, maka akan ada banyak orang yang bisa mengoreksi atau mencegah infiltrasi. Sistem kepemimpinan kolektif yang terbuka sulit untuk dikendalikan oleh kepentingan luar, kecuali kepemimpinan tersebut memang punya pertimbangan lain.
Infiltrasi akan semakin sulit jika Ormas Islam punya sistem imun dalam dirinya, yaitu Ideologi yang jelas, cara pandang keagamaan yang jelas dan punya wawasan moderasi.
Kesuksesan infiltrasi kekuatan gelap terletak pada kemampuan mereka untuk memengaruhi wacana intra organisasi, menimbulkan perasaan marah atas realitas secara ekstrim, dan menimbulkan perasaan frustasi atau hilang harapan pada kenyataan. Ketika pengkondisian kental, pikiran, dan hati berhasil maka agenda-agenda dunia gelap akan mudah disusupkan dengan balutan imajinasi dan utopia.
Hal itu sudah dialami bevlberapa warga Indonesia yang berangkat ke Syiria untuk ikut ISIS. Mereka diindoktrinisasi dengan utopia bahwa gerakan ISIS mewakili keindahan dan nilai luhur Islam. ISIS sangat menghargai persaudaraan dan seterusnya. Namun sesampai di Syiria mereka mendapati kenyataan yang jauh dari bayangan. Hidup mereka tidak terjamin, tidak ada perlindungan dan jaminan sebagaimana dijanjikan, dan dipisahkan dari keluarga yang ikut ke sana. Akhirnya mereka terdampar di Turki dan mengalami dilema karena harus dibantu oleh negara asal yang ingin mereka tinggalkan karena dipandang tidak sesuai imajinasi.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha