Menemukan Akidah Muhammadiyah di Antara Asy’ariyah dan Atsariyah
Menemukan Akidah Muhammadiyah di Antara Asy’ariyah dan Atsariyah (Tulisan untuk menyambut Musywil Tarjih Klaten 8-9 November 2024)
Oleh : Prof. Dr. Ahwan Fanani, M.Ag. (Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah. Cendekiawan muslim)
Bagian Kedua
Materi dan Manhaj Akidah Muhammadiyah
1. Istilah Ahlussunnah
Sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai akidah Muhammadiyah, patut diperjelas posisi Muhammadiyah dalam akidah Ahlussunnah. Istilah Ahlussunnah sendiri mengacu kepada kalangan mutakaliimin, yaitu Asy’ariyah dan Maturidiyyah, dan kalangan pengikut akidah salaf/ Atsariyah. Masing-masing menisbatkan diri sebagai Ahlussunnah.
Imam al-Asyari dalam kitab al-Ibanah menyebut akidah yang ia yakini dengan mengikuti Ahmad bin Hanbal sebagai akidah ahlul haqq wa al-Sunnah. Imam Ghazali menyebut pengikut akidah ahlussunnah dalam al-Iqtishad fil I’tiqad sebagai ‘Ashabah (Jamaah) al-Haqq wa Ahlussunnah. Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah secara lengkap dipergunakan oleh al-Baqillani dalam al-Inshaf saat menguraikan sifat Allah, yaitu Mutakalim.
Sementara itu, di kalangan Ats’ariyah istilah golongan yang benar atau selamat itu disebut Ibnu Taimiyah dengan istilah firqah najiyah (kelompok yang selamat) dalam kitabnya al-‘Aqidah al-Wasithiyyah. Istilah firqah najiyah sendiri adalah pemahaman atas hadis berikut:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة، وافترقت النصارى على اثنتين وسبعين فرقة، وستفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة، قيل: من هي يا رسول الله؟ قال: من كان على مثل ما أنا عليه وأصحابي. وفي بعض الروايات: هي الجماعة. رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه والحاكم، وقال: صحيح على شرط مسلم
Bahwasanya Nabi SAW bersabda: Yahudi terpecah atas 71 golongan dan Nasrani terpecah ayat 72 golongan. Umat ini akan terpecah ke dalam 73 golongan, semuanya di neraka, kecuali satu. Ada sahabat yang bertanya: Siapakah golongan itu Ya Rasulallah? Rasulullah menjawab: Siapa saja yang berada di atas jalan sepertiku dan para sahabatku. Dalam beberapa riwayat dikatakan: Golongan itu adalah al-Jamaah. (Hadis riwayat Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim. Ia berkata: Hadis sahih menurut syarat muslim.
Satu golongan yang selamat itu kadang disebut dengan istilah firqah najiyah dan kadang disebut al-jamaah atau ahlussunnah wal jamaah. Kalangan pengikut Asy’ariyah muta’akhkhirin menafsirkan kelompok yang selamat itu sebagai ahlussunnah wal jamaah. Namun, kalangan Ats’ariyah menggunakan istilah firqah najiyah maupun istilah ahlussunnah. Dalam kitab al-Nubuwwat, Ibnu Taimiyah menggunakan istilah Ahlussunnah, demikian pula Ibnu Qadamah dalam Tahrim Nadzar fil Malam dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam al-Fawaid.
Itu berarti, baik kalangan Asy’ariyyah maupun Atsariyah mengidentifikasi penganut akidah yang benar sebagai Ahlussunnah. Hal itu tidak lepas dari sejarah asal bahwa perlawanan Ahmad bin Hanbal, yang mewakili ahli hadis dan kalangan umum ulama Islam, terhadap Mu’tazilah disebut oleh Abu Hasan al-Asy’ari sebagai Ahlul Haqq wa al-Sunnah. Ahmad bin Hanbal sendiri menjadi tokoh sentral dari kalangan Atsariyah.
2. Muhammadiyah dan Ahlussunnah
Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah Muhammadiyah aliran ahlussunnah. Dari berbagai pembacaan, sebenarnya pertanyaan itu mudah dijawab berdasarkan kriteria yang jelas. Muhammadiyah ternasuk aliran Ahlussunnah waljamaah dengan lima alasan:
Pertama, Muhammadiyah mengikuti Alquran, sunnah, dan menjadikan pemahaman sahabat sebagai pertimbangan dalam memahami Nash. Kriteria Ahlussunnah wal jamaah ini tercantum dalam Kitab al-Ibanah an Ushul al-Diyanah karya Abu Hasan al-Asyari, sebagai kriteria Ahlul Haq wa al-Sunnah. Dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 1 juga ditegaskan bahwa Muhammadiyah adalah Ahlussunnah waljamaah karena bersendikan kepada Alquran dan Sunnah serta jamaah Islam yang berpegang pada Alquran dan Sunnah.
Kedua, Muhammadiyah berpegang teguh kepada rukun iman yang menjadi ijma umat Islam sebagai pokok Akidah Islam. Ibnu Taimiyah menjadikan rukun iman sebagai tonggak firqah najiyah (Ahlussunnah wal Jamaah) dalam karyanya Al-Aqidah al-Wasithiyyah.
Ketiga, Muhammadiyah mengakui sifat-sifat Allah sehingga tidak termasuk ahli ta’thil (yang mengabaikan adanya sifat Allah). Muhammadiyah tidak pula mengakui risalah kenabian sebagai warisan kepada Ali bin Abi Thalib, yang kemudian diturunkan kepada para imam keturunan Ali, yang menjadi pokok akidah Syiah.
Keempat, Muhammadiyah menjadikan nash sebagai dasar atau sumber agama dan akal sebagai sarana untuk memahami. Dalam Masalah Lima dijelaskan bahwa agama (al-din) adalah agama yang dibawa Nabi Muhammad menurut apa yang diturunkan Allah dalam Alquran. Dalam urusan tahsin dan taqbih, utamanya dalam masalah ubudiyyah dan akidah, Muhammadiyah hanya mengakui nash sebagai landasan otoritatif.
Kelima, dalam Pendahuluan HPT sendiri ditegaskan tentang ijma’ firqah najiyah dari kalangan salaf. Firqah najiyah ini adalah sebutan lain Ahlussunnah waljamaah, sebagaimana diterangkan di muka.
Ahlussunnah wal Jamaah sendiri bukanlah entitas atau kelompok tunggal, melainkan satu karakter pemahaman keislaman sebagaimana dikemukakan di muka. Pilihan bahwa sifat Allah itu ada 20 atau sebanyak Allah mengungkapkan tentang diri-Nya tidak akan berpengaruh pada fakta dasar pengakuan kepada sifat Allah. Demikian pula, pengakuan atau penolakan atas ta’wil terhadap sifat-sifat Allah tidak akan mempengaruhi pengakuan atas petunjuk ayat-ayat tersebut.
3. Akidah Muhammadiyah dalam HPT
Bahasan mengenai akidah Muhammadiyah yang paling jelas terdapat dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT). Bahasan Akidah di HPT disusun berdasarkan rukun iman yang enam, sejalan dengan hadis riwayat Umar tentang pertanyaan Jibril kepada Nabi Muhammad mengenai Islam, Iman, Ihsan, dan tanda Kiamat.
Pada pendahuluan HPT disebutkan tentang ijma dari firqah najiyah dari kalangan salaf bahwa alam itu diciptakan oleh Allah dari ketiadaan (creatio ex nihilo) yang bisa rusak dan bahwa penggunaan nalar terhadap semesta untuk mengetahui Allah hukumnya wajib secara syar’i. Dari pendahuluan ini tampak bahwa Muhammadiyah menganut pandangan firqah Najiyah, yaitu sebutan Ibnu Taimiyyah bagi kelompok yang selamat menurut hadis Nabi Muhammad, atau kelompok Ahlussunnah wal jama’ah menurut istilah lain.
Uniknya, HPT jelas menisbatkan diri kepada ijma salaf, dengan menerima nalar untuk mengetahui Allah. Secara tidak langsung Pendahuluan HPT menegaskan bahwa dalam masalah akidah Muhammadiyah mengikuti pandangan salaf sebagai firqah najiyah, namun membuka diri bagi penggunaan nalar. Penggunanasn nalar atau Nadzar ini banyak diulas oleh kalangan ulama Asy’ariyah, seperti al-Baqillani dalam al-Inshaf, Imam al-Juwaini dalam kitab al-Irsyad, dan al-Ghazali dalam al-Iqtishad fil I’tiqad.
Pada penjelasan mengenai Iman Kepada Allah Yang Maha Mulia, HPT menerangkan Allah dengan beberapa karakter:
- Allah sebagai Rabb dan sebagai Ilah al-Haqq
- Allah adalah pencipta segala sesuatu
- Allah adalah wajibul wujud
- Yang pertama tanpa permulaan dan yang akhir tanpa penghabisan
- Esa dalam uluhiyah, sifat dan perbuatan
- Al-Hayyu-al Qayyum, al-Sami’-al-Bashir, Ala kulli syai’in Qadir,
- Jika menghendaki sesuatu ia berfirman “Kun”! Lalu terjadilah.
- Mengetahui apa yang dikerjakan manusia
- Disifati dengan Kalam dan segala sifat kesempurnaan dan tersucikan dari sifat kekurangan.
- Menciptakan apa yang ia kehendaki dan segala sesuatu ada di tangan-Nya. Semua akan kembali kepada-Nya.
Dari muatan Iman Kepada Allah dalam HPT di atas, uraian mengenai keesaan Allah dijabarkan melalui tauhid uluhiyyah, sifat dan ‘af’al dan identifikasi Allah sebagai Rabb dan Ilah. Istilah Rabb mengacu kepada kuasa dan perbuatan Allah atas alam semesta, sedangkan istilah Ilah mengacu kepada Allah sebagai satu-satunya penguasa dan Tuhan yang Haqq untuk disembah. Pembahasan tauhid semacam ini lebih familier di kalangan Atsariyyah dibandingkan kalangan Asy’ariyyah dan menunjukkan adanya pengaruh kuat Atsariyyah pada konsep tauhid pendahuluan HPT.
Baca juga, Menemukan Akidah Muhammadiyah di Antara Asy’ariyah dan Atsariyah
Namun, subbab Iman Kepada Allah di HPT menggunakan pula istilah wajibul wujud untuk menjelaskan Allah. Term wajibul wujud ini adalah istilah dari kalangan filosuf muslim yang diadopsi oleh kalangan mutakallimin, termasuk Asy’ariyah. Allah digambarkan sebagai wajibul wujud atau Ada yang harus ada menurut keniscayaan akal dan karena keberadaan-Nya bukan disebabkan oleh “ada” yang lain. Gagasan ini berakar pada konsep filsafat Aristotelian tentang hubungan aktus dan potentia yang berakhir pada prima causa atau penggerak pertama. Penggerak pertama inilah yang disebut oleh kalangan filosuf muslim sebagai Tuhan, yang ada-Nya bersifat niscaya dan tidak terikat kepada ada yang lain.
Istilah “wajib” dalam masalah akidah diartikan sebagai “menurut akal dinafikan ketiadaannya”, demikian penjelasan dalam Hasyiyah al-Dasuki. Wujud Allah disebut wajibul wujud karena menurut hukum akal tidak dimungkinkan ketiadaan-Nya, yang membedakan Tuhan dengan makhluk yang wujudnya mumkin/ mungkin saja.
Sifat-sifat Allah yang diungkap dalam Subbab Iman Kepada Allah dalam HPT tidak menggunakan istilah yang umum dipakai di kalangan Asy’ariyah, seperti Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatu lil Hawadith, Wahdaniyyah, Qudrah, Iradah, Ilmu Hayat, Sama’, Bashar, dan Kalam. Sebaliknya, Pendahuluan HPT menggunakan istilah otentik seperti dalam Nash, yang biasa dipakai kalangan Ats’ariyah, meski sifat-sifat tersebut secara substantif umumnya tidak berbeda dengan disebutkan oleh kalangan Asy’ariyah.
Sifat-sifat dalam HPT yang secara substantif sama dengan sifat 20 adalah Wujud, Qidam, Baqa’, Qiyamuhu Binafsihi, Wahdaniyyah, Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayah, Sama’, Bashar, Kalam, Qadiran, dan Muridan. Namun, HPT lebih memilih untuk menggunakan istilah yang dipergunakan Allah dalam Alquran, yang mengingatkan cara pandang kalangan Ats’ariyah dalam memahami sifat Allah.
Selain itu, ada sifat-sifat yang tidak masuk sifat 20 Asy’ariyah yang disebut dalam Pendahuluan HPT, yaitu “Menciptakan,” dan “segala sesuatu di tangan-Nya.” Kata “tangan” dipakai menurut bahasa Alquran, tidak ditakwil dengan qudrah, sebagaimana praktik kalangan Asy’ariyah.
Pembahasan Akidah di HPT hanya terkait dengan persoalan-persoalan akidah yang pokok. Untuk persiapan akidah yang furu’ dalam ditemukan uraiannya dalam buku Tanya Jawab Agama. atau Fatwa-Fatwa Tarjih. Bahasan akidah dalam buku TJA mencakup berbagai tema, seperti keabadian di surga, wali Allah, memperbaharui iman, iblis dan setan, Amir dan baiat, kehidupan alam kubur, bernadzar di kubur, tarekat Naqsyabandiyah, hingga pohon Nur Muhammad. Namun tema-tema di atas bukan menjadi persoalan pokok dalam teologi Islam, namun memiliki sandaran pada Nash.
4. Antara Rasio dan Nash
Pada pendahuluan HPT ditegaskan mengenai perlunya nadzar atau pemikiran untuk makrifatullah, namun pada Subbab Perhatian di HPT terdapat beberapa peringatan terkait penggunaan pemikiran dalam masalah Ketuhanan. Peringatan itu dikaitkan dengan tidak adanya perintah Allah untuk membicarakan hal-hal yang tidak tercapai oleh akal manusia. Akal manusia dipandang HPT tidak mungkin memahami Dzat Allah dan bagaimana Dzat disifati dengan sifat-sifat karena Alquran menegaskan laisa kamitslihi syaiun. Yang jelas, Dzat Allah tidak diragukan keberadaan-Nya dan cukup bagi manusia untuk merenungi makhluk-makhluk-Nya.
Penjelasan dalam HPT ini memang bisa menimbulkan kesulitan untuk melihat posisi HPT dalam masalah posisi rasio dalam masalah akidah. Dalam Pendahuluan dinyatakan bahwa firqah najiyah dari kalangan salaf berpendapat bahwa alam itu semua baharu dan nadzar tentang semesta untuk mengetahui Allah hukumnya wajib. Pernyataan ini mirip dengan bagian awal kitab al-Irsyad karya al-Juwaini yang menyatakan bahwa orang yang sudah baligh dan berakal wajib untuk menggunakan nalar yang membawa pada pengetahuan bahwa alam itu baru. Al-Juwaini menguraikan cukup rinci pembagian nadzar atau nalar tersebut.
Namun apakah yang dimaksud dengan Nadzar atau nalar. Penjelasan ini tidak ditemukan secara jelas dalam HPT. Namun dengan pengertian nadzar yang jelas maka akan bisa diurai maksud HPT untuk mendorong penggunaan nadzar, tetapi melarang untuk memikirkan Dzat Allah.
Pengertian nadzar yang baik diberikan oleh al-Dasuki dalam Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala Umm al-Barahim. Ia mengartikan nadzar dengan: “menyusun perkara yang telah diketahui untuk sampai kepada perkara yang belum diketahui (majhul). Pengertian ini sama dengan pengertian “pemikiran” dalam Pengantar Logika Tradisional karya Partap Sing Mehra dan Jazir Burhan.
Pemikiran mereka artikan sebagai “Pengetahuan tak langsung yang didasarkan atas pengetahuan langsung.” Jadi nadzar atau nalar adalah penyimpulan berdasarkan pengetahuan yang tersedia untuk sampai pada pengetahuan baru. Jika penyimpulan itu ditarik dari dua proposisi atau pernyataan maka disebut argumen.
Karena Dzat Allah tidak diketahui, demikian pula hakikat dari sifat-sifat-Nya berbeda dengan makhluk, maka pengetahuan mengenai keberadaan dan kuasa Tuhan hanya bisa diketahui berdasarkan pengetahuan manusia tentang alam semesta dan melalui nash. Secara materiil atau substantif, sifat Allah hanya bisa diketahui dari Wahyu. Tetapi berdasarkan penalaran, kebenaran sifat-sifat Allah itu bisa disimpukan dari keberadaan semesta.
Baca juga, Pentingnya Memahami Agama sebagai Sarana Menuju Tuhan
Dengan demikian, peringatan di HPT untuk tidak memikirkan Dzat Allah dan hubungan-Nya dengan sifat-sifat tidak kontradiksi dengan tuntutan untuk menggunakan nalar. Peringatan untuk tidak memikirkan Dzat Allah itu terkait dengan ketidakmampuan akal untuk membuktikan Tuhan secara material, tetapi akal bisa menarik kesimpulan berdasarkan logika formal untuk sampai pada pengetahuan tentang kuasa Allah dengan memikirkan ciptaan-Nya.
5. Manhaj Akidah Muhammadiyah
Manhaj Akidah Muhammadiyah secara jelas tertuang dalam Pokok-Pokok Manhaj Tarjih. Ada tiga pokok Manhaj Tarjih tahun 1986 yang secara eksplisit menjelaskan Manhaj Akidah Muhammadiyah, yaitu:
1.Pokok Manhaj ke-5
Di dalam masalah aqidah (tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir.
2. Pokok Manhaj ke-11
Dalil-dalil umum al-Qur’an dapat ditakhshis dengan hadits ahad, kecuali dalam bidang aqidah.
3. Pokok Manhaj ke-16
Dalam memahami nash, makna dhahir didahulukan dari ta’wil dalam bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal itu tidak harus diterima.
Ketiga pokok tersebut menjadi titik tolak untuk memahami metode pemikiran akidah di Muhammadiyah.
Pertama, Muhammadiyah hanya menggunakan dalil mutawatir dalan perkara akidah. Istilah dalil mutawatir tersebut hanya mungkin mengacu kepada dalil naqli, bukan pada dalil aqli. Itu berarti persoalan akidah harus didasarkan riwayat yang mutawatir, baik mutawatir lafdzi atau mutawatir ma’na. Riwayat yang mutawatir secara lafdzi adalah Alquran dan hadis-hadis mutawatir. Sementara itu, mutawatir ma’na hanya ada pada hadis mutawatir.
Secara tidak langsung, Manhaj Tarjih menghendaki masalah akidah didasarkan atas dalil syar’i yang qath’i, baik dari Alquran maupun hadis. Penggunaan dalil Ahad dalam akidah beresiko memperbanyak masalah akidah yang menimbulkan ikhtilaf. Terlebih hadis ahad hanya sampai derajat dzan (persangkaan kuat) yang tidak cukup untuk menopang masalah akidah yang menuntut dasar yang Yaqin.
Kedua, takhshish adalah penyelesaian umum terhadap pertentangan petunjuk antardua dalil. Dalam pandangan ulama Syafi’iyah al-khash aqwa dalalayan minal amm (lafal khas lebih kuat petunjuknya daripada amm) sehingga saat terjadi taarudl atau pertentangan petunjuk maka dalil khash dimenangkan dan lafal amm masih berlaku petunjuknya untuk selain yang ditakhshish. Kaidah ini sejalan dengan kaidah hukum umum lex specalis derogat lex generalis.
Namun, hubungan amm dan khash adalah hubungan ijtihadi yang hasilnya adalah dzanni. Menerima takhshish dalam bidang akidah sama saja dengan menggunakan dalil yang derajatnya dzanni dilalah, padahal perkara akidah menuntut derajat pengetahuan yaqin atau al-‘ilm, yang qath’i dilalah. Oleh karena itu, pokok manhaj ke-11 ini masih berkaitan dengan pokok manhaj ke-5.
Ketiga, prioritas atas makna lahir atas takwil dalam bidang akidah ini mengingatkan kembali akan pandangan Ats’ariyah mengenai persoalan sifat-sifat Allah pada pembahasan di muka. Manhaj Tarjih tampaknya lebih memilih pendekatan tafwidh, yaitu menerima petunjuk Nash mengenai sifat-sifat Allah dan menyerahkan pemaknaan sejatinya pada Allah.
Editor : M Taufiq Ulinuha