Berita

Membongkar Dikotomi Agama dan Sains: Sebuah Refleksi Epistemologi

PWMJATENG.COM, Yogyakarta – Perdebatan antara agama dan sains telah berlangsung selama berabad-abad, melibatkan pandangan yang bertolak belakang tentang realitas dan kebenaran. Di tengah perdebatan ini, Dr. Askuri Ibnu Chamim, Sekretaris Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengajak umat Islam untuk membongkar dikotomi tersebut dengan memanfaatkan kekayaan intelektual dalam tradisi Islam.

Dalam sesi materi Pelatihan Muballigh DPP IMM yang membahas tema “Membongkar Dikotomi Agama dan Sains”, Dr. Askuri menggarisbawahi bahwa pembahasan ini bukanlah hal baru. “Dikotomi agama dan sains adalah tema yang cukup berat, karena perdebatan ini telah berlangsung selama berabad-abad,” ujarnya. Namun, ia menekankan bahwa umat Muslim memiliki fondasi kuat untuk mengatasi perbedaan ini, dengan merujuk pada tokoh-tokoh intelektual Islam seperti Ibnu Ishaq dan Hermes Trismegistus.

Menurut Dr. Askuri, hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan sudah ada sejak masa awal peradaban Islam. Salah satu contohnya adalah Nabi Idris a.s., yang dikenal dalam tradisi Islam sebagai sosok yang sangat dekat dengan ilmu pengetahuan. “Ada juga tokoh bernama Enoch, atau Henokh, yang menulis tentang medis. Hal ini membuktikan bahwa Islam sangat dekat dengan ilmu pengetahuan,” jelasnya.

Seiring dengan perjalanan sejarah, Dr. Askuri menjelaskan, monoteisme yang dianut oleh bangsa-bangsa kuno perlahan berubah menjadi politeisme. “Pada dasarnya, bangsa kuno adalah penganut monoteisme. Namun, karena keragaman bahasa, muncul sebutan-sebutan tuhan yang berbeda, yang kemudian disalahartikan sebagai politeisme,” ungkapnya. Transformasi ini, lanjutnya, juga terjadi melalui pengagungan benda-benda yang semula hanya simbol, namun kemudian dipuja sebagai dewa.

Lebih lanjut, Dr. Askuri menjelaskan bagaimana agama berkontribusi dalam penemuan realitas kehidupan. “Al-Qur’an sendiri mengandung berbagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti bagaimana makhluk hidup diciptakan,” kata Dr. Askuri. Namun, ia menegaskan, beberapa pertanyaan teologis, seperti eksistensi setan atau sifat Tuhan, sulit dijelaskan dengan nalar manusia. “Hal-hal seperti ini tidak bisa dicerna dengan akal,” tambahnya.

Baca juga, IMM dan Politik Adiluhung: Antara Politik Nilai dan Politik Praktis

Meskipun demikian, akal tetap memegang peran penting dalam mencari kebenaran. Rasionalisme, kata Dr. Askuri, adalah salah satu sumber pengetahuan utama yang digunakan untuk memahami dunia. “Dalam Muhammadiyah, misalnya, kita menggunakan Hisab, yang merupakan cara rasional untuk memperhitungkan waktu,” ujarnya, mencontohkan bagaimana pemikiran rasional dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim.

Dr. Askuri juga menjelaskan bahwa terdapat empat sumber pengetahuan yang digunakan manusia, yaitu mitos, agama, akal, dan pancaindera. “Manusia mengembangkan sistem verifikasi untuk menguji apakah pengetahuan yang mereka peroleh merupakan kebenaran, atau sekadar mitos,” katanya. Di sinilah peran filsafat epistemologi, disiplin yang mengkaji tentang hakikat dan batasan pengetahuan, menjadi penting.

Hubungan antara agama dan filsafat, khususnya dalam konteks sains, menjadi topik penting dalam diskusi ini. “Sains modern, dengan metode empirisnya, kerap mempertanyakan ajaran agama,” ujar Dr. Askuri. Misalnya, kisah-kisah seperti mukjizat Nabi Musa a.s. sering diragukan oleh mereka yang hanya mengandalkan bukti empiris. Namun, Dr. Askuri menegaskan bahwa ilmu pengetahuan modern tidak sepenuhnya bertentangan dengan agama. Sebaliknya, ia percaya bahwa agama dan sains adalah dua sisi yang saling melengkapi.

“Agama dan sains berjalan beriringan. Perkembangan sains yang semakin pesat justru akan semakin menunjukkan bahwa agama yang benar akan selaras dengan perkembangan zaman,” kata Dr. Askuri. Ia menambahkan bahwa agama Islam, dengan ajaran-ajarannya yang komprehensif, adalah yang paling relevan dengan perubahan zaman.

Dalam penutupannya, Dr. Askuri menyinggung tentang filsafat positivisme, yang dikembangkan oleh filsuf Auguste Comte, yang menekankan pentingnya pengetahuan empiris. “Positivisme adalah contoh pemikiran yang murni mengandalkan empirisme, dan itu menjadi dasar dari lahirnya atheisme dan agnostisisme,” jelasnya. Namun, ia menekankan bahwa Islam, dengan ajarannya yang menghargai ilmu pengetahuan, mampu menjembatani perbedaan antara agama dan sains.

Dr. Askuri mengajak seluruh peserta untuk melihat bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan sains, tetapi juga merupakan agama yang paling adaptif dengan perkembangan ilmu pengetahuan. “Islam selalu relevan dengan perkembangan zaman, karena pada dasarnya, agama dan sains tidak bertentangan,” tutupnya.

Kontributor : Anis Irkhamni Septiani
Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE