Kurikulum Merdeka dan Degradasi Pengembangan Moral Siswa
Kurikulum Merdeka dan Degradasi Pengembangan Moral Siswa
Oleh : Ginanjar Wiro Sasmito (Ketua Majelis Dikdasmen Muhammadiyah Cabang Bulakamba – Kabupaten Brebes)
PWMJATENG.COM – Kurikulum Merdeka merupakan salah satu kebijakan baru yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia dengan tujuan memberikan kebebasan lebih bagi sekolah, guru, dan siswa dalam proses pembelajaran sesuai dengan Peraturan Kemendikbudriste Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah. Kurikulum ini dirancang untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan, minat, dan potensi siswa di era modern, di mana pembelajaran tidak lagi berfokus hanya pada aspek kognitif, tetapi juga pada pengembangan keterampilan abad ke-21, seperti berpikir kritis, kreativitas, dan kolaborasi, regulasi tersebut juga menjadi payung hukum bagi implementasi Kurikulum Merdeka.
Kurikulum Merdeka bertujuan untuk memberikan fleksibilitas dalam pembelajaran dengan pendekatan berbasis proyek (project-based learning), penguatan kemampuan literasi dan numerasi, serta memberi ruang bagi guru untuk menyesuaikan materi dengan konteks lokal. Ini tentu memberi peluang yang lebih baik untuk meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses belajar.
Akan tetapi pelaksanaan Kurikulum Merdeka ini menunjukkan adanya beberapa tantangan dan hambatan yang perlu diatasi, di antaranya: Kesiapan Guru dalam Memahami Konsep Kurikulum Merdeka, Keterbatasan sumber daya sekolah, Terabaikannya pengembangan moral, karakter, dan nilai pada siswa, dan kesulitan guru dalam menilai aspek non-akademik seperti moral dan karakter siswa, yang cenderung memperbesar faktor subjektivitas.
Kekhawatiran utama yang muncul dalam pelaksanaan Kurikulum Merdeka adalah potensi degradasi pengembangan moral siswa, kekhawatiran lain yang mungkin terjadi antara lain:
- Penurunan Penekanan Pendidikan Karakter: Kurikulum Merdeka lebih menekankan pada inovasi dan kreativitas, tetapi pendidikan karakter yang biasanya diintegrasikan dalam mata pelajaran seperti PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) atau agama tidak selalu menjadi prioritas. Akibatnya, siswa kurang terpapar pada nilai-nilai moral dan etika yang penting dalam menjalani kehidupan.
- Kebebasan Tanpa Bimbingan Moral yang Kuat: Kebebasan yang diberikan kepada siswa untuk mengeksplorasi minat mereka juga dapat menjadi bumerang jika tidak disertai dengan bimbingan moral yang kuat. Dalam beberapa kasus, kebebasan ini malah membuat siswa lebih fokus pada capaian individual tanpa memperhatikan nilai-nilai kebersamaan, tanggung jawab, kerja sama, tenggang rasa, atau etika sosial.
- Pengaruh Teknologi dan Media Sosial: Teknologi dan media sosial juga turut berperan dalam degradasi moral siswa. Kurikulum Merdeka yang mendorong penggunaan teknologi dalam pembelajaran bisa membuka peluang bagi siswa untuk terpapar pada konten yang kurang mendukung pengembangan karakter positif.
Baca juga, Membaca Ulang Individuasi Kader IMM dalam Gagasan Kosmopolitanisme
Jika degradasi moral siswa ini terus berlanjut, maka dampak jangka panjang pada generasi mendatang berpotensi terjadi. Kemajuan teknologi dan keterampilan kognitif yang dihasilkan dari penerapan Kurikulum Merdeka bisa jadi tidak seimbang dengan nilai-nilai etika dan moral yang seharusnya menjadi fondasi penting dalam kehidupan sosial. Siswa mungkin menjadi lebih pintar secara akademis, tetapi kehilangan empati, kejujuran, dan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat.
Generasi yang mengalami degradasi moral berisiko menjadi individu yang cerdas namun egois, apatis, dan kurang peka terhadap kebutuhan orang lain, serta tidak memiliki komitmen pada nilai-nilai kebenaran maupun keadilan. Hal ini justru berseberangan dengan tujuan Undang-undang Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, yaitu: “Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Dalam rangka meminimalisir kekhawatiran risiko penerapan Kurikulum Merdeka yang dapat mendegradasi nilai-nilai pengembangan moral, maka sekolah secara inklusif, komprehensif , dan intensif perlu melakukan pendekatan sistemik-holistik dalam aktivitas pembelajaran, seperti: Penguatan Pendidikan Karakter yang terintegrasi secara menyeluruh dalam kurikulum, Pelatihan Guru dalam Pendidikan Moral, Berkolaborasi dengan orang tua siswa dalam membantu memperkuat nilai-nilai moral yang diajarkan di sekolah, Melakukan pembatasan Penggunaan Teknologi agar dapat dimanfaatkan Secara Bijak, dan Selalu mengedepankan norma, nilai, dan etis yang diajarkan oleh agama.
Kurikulum Merdeka adalah langkah inovatif yang menawarkan banyak peluang bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, jika tidak diimbangi dengan perhatian serius terhadap pendidikan moral, ada risiko degradasi pengembangan moral siswa. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak, baik sekolah, guru, orang tua, maupun masyarakat, untuk bersama-sama mengupayakan keseimbangan antara pencapaian akademis dan pengembangan karakter. Dengan demikian, siswa dapat tumbuh menjadi generasi yang cerdas, kreatif, dan berintegritas tinggi sebagai perwujudan visi Indonesia Emas 2045.
Editor : M Taufiq Ulinuha