QURBAN NAPAK TILAS PERJALANAN IBRAHIM AS
Oleh Dodok Sartono
QURBAN dan pengorbanan adalah konsekuensi logis dari tiap hamba yang sadar. Qurban adalah perilaku luruhan kesadaran yang menggapai cakrawala makna pemberian Alloh SWT. Pemberian Alloh yang tak terhingga dan tak terperi, menggedor buhul diri bahwa harus ada sesuatu yang musti dikeluarkan tanpa menuntut pengembalian. Pemberian yang berpretensi akan balas balik bukanlah pengorbanan. Berharap balas berarti berdagang yang merupakan fakultas tersendiri dalam kehidupan. Tetapi pengorbanan adalah edisi khusus dalam hidup yang harus ditunaikan.
Penghulu para Nabi dan Rasul yakni Kholilullooh Ibrahim AS telah memberikan potret realita bahwa Qorban dan pengorbanan bukanlah urusan jual-beli dengan Alloh SWT. Ini murni persoalan kepatuhan penuh atas jiwa sadar akan abdi yang telah dilimpahi tak terhingga nikmat. Dari harus menikahi budak hitamnya yakni Hajar. Mengasingkan Ibunda Hajar di padang yang tandus bersama sang jabang bayi Ismail AS. Hingga puncaknya menyembelih Ismail AS, si pemuda tampan putranya yang telah belasan tahun tidak bersua. Itulah makna Qurban yang diminta Alloh Ta’ala.
Itulah rujukan Qurban. Nabi dan Rasul setelahnya semua merujuk kesana. Tak ada yang lain. Maka umat Islam kini tak ada jalan untuk mengambil referensi makna Qurban. Mengambil ibrah qurban yang terputus dari hakekat Qurban Ibrahim hanya akan melahirkan kecelakan amal juga kecelakaan sosial, karena qurban musti berhubungan dengan pihak lain bahkan umat. Qurban lepas dari kungkungan nafsu pribadi. Semua untuk pengabdian, lahir batin untuk menghamba. Seperti hakekatnya kita dicipta.
Mari kita potret negeri kita. Negeri subur berlimpah harta di dalam maupun di muka bumi. Haji antri hingga belasan bahkan puluhan tahun. Dua musimnya tidak berubah secara ekstrim yang membuat iri bagi negeri empat musim. Dalam laut dan dalam laut adalah intan kehidupan. Pulau-pulau indah bercecer menanti para amanah. Negeri yang Islamnya datang dengan damai. Negeri yang sangat paham mustinya akhlak harus mendahului akal. Negeri yang telah ditata oleh para leluhur sebagai negeri elok gemah ripah loh jinawi.
Inna a’thoina kalkautsar
Sungguh-sungguh telah AKU beri engkau dengan sebanyak-banyak nikmat.
Jumpalitan kita menikmati pemberian Alloh di negeri ini. Serasa tak habis-habis walau telah dijajah berabad-abad. Dan telah dibabat oleh ribuan komprador, koruptor, maling yang nir budi. Negeri ini sungguh megah. Punya keagungnya khusus pemberian Ilahi Robbi.
Fasholli lirobbika wanhar
Maka tunduk rukuk sujudlah kalian dan kalian harus berkurban!
Masihkan kita akan memisahkan antara sholat dengan qurban, antara sholat dan pengorbanan?! Tak satu budi pun yang akan membenarkannya. Inilah Islam. Dien yang tak pernah memisahkan antar dhohir dengan yang bathin. Tak pernah memisahkan antara yang pribadi dengan yang sosial. Agama utuh yang selalu menyindir dan melaknat orang yang sholat. Orang sholat yang melalaikan tanggung jawab sosialnya. Dien yang sungguh penuh sempurna.
Kini mari kita potret realita kita. Kehidupan yang penuh pretensi. Pemberian mengandung maksud terselubung. Kebaikan yang berhakekat promosi produk. Semua itu perlu dinetralkan dengan qurban dan pengorbanan. Bila semesta kita biarkan dalam ujudnya yang selalu harus berbalas, maka kita akan menemukan dunia yang habis bagi. Tak sampai kita mewariskan pada anak-cucu, berhenti pada kitapun sudah akan saling cakar dan sikut. Disana-sini kita disuguhi masakan instan penuh racun kemanusiaan. Qurban dan pengorbanan yang merupakan ikhlasnya ikhlas, induknya ikhlas, kini menjadi barang super antik yang paling susah dicari ujudnya.
Qurban di Idul Adha yang ajarannya sungguh linier dengan pengorbanan Ibrahim AS terhadap Ismail AS kini menemukan titik paradoks dalam tataran realita. Di kota-kota yang makmur, hewan qurban menumpuk berlimpah, dengan distribusi per KK dalam kilogram yang mengagumkan tak berbanding lurus dengan kenyataan masjid-masjid di pinggiran, di pedalaman atau di daerah kumuh padat penduduk. Dalam kenyataan seperti itupun, dengan bangga para pengorban mendeklarasikan banyak-banyaknya hewan qurban di lingkungnya, seakan lupa hamper tak peduli dengan mereka yang disana yang nyaris tanpa bau daging qurban.
Realita aneh bin ajaib, egoism berbaju spiritual. Mirip kondangan pamitan haji ditengah-tengah miskin warganya. Ada yang tak sampai antara hakekat dengan syariat. Ada missing link ajaran Islam antara das sollen dengan das sain. Zona merah kemiskinan di suatu daerah tak berbanding lurus dengan waiting list haji. Kita benar-benar hidup dalam budaya yang abai. Cukup merasa puas dengan ritual pribadi, tanpa ingat akan laknat pada tukang sholat yang lalai. Miskin diri ini bukanlah hakekat pengorban. Sosok shohibul qurban adalah sosok Ibrahim yang membunuh ego, nafsu bahkan akal sehatnya demi perintah Alloh Ta’ala.
Akal sehat yang selalu menyetani bagaimana pemberiannya harus selalu berbanding lurus dengan promosi perusahaannya, sama sekali itu bukan shohibul qurban. Akal sehat yang mengkhawatirkan gunjingan tetangga bahkan mertua yang tidak mengetahui bahwa qurbannya untuk desa miskin, bukannya di masjid megah sebelah rumah. Akal sehat yang selalu menjaga nama baik sebagai tokoh masyarakat sehingga mementingkan tetangga yang cukup dengan meninggalkan tetangga jauh di daerah miskin. Sungguh itu bukan sebenarnya akal sehat, melainkan akal yang tidak sehat.
Kini yang tersisa hanya tawaran, lambaian dari Ilahi Robbi. Maukah kita berkemas, menata bekal hidup yang tersisa untuk dibawa ke ranah yang sebenarnya?! Sebuah tawaran bagi mereka yang sungguh rindu akan sebenar gelar shohibul qurban. Mau tak mau kita akan tinggalkan semua. Kita qurbankan ataupun tidak. Mahligai kehidupan ini telah mencatat dalam lembar-lembar sejarah sederet nama-nama yang menang, pun yang kalah, juga yang menyerah. Para Nabiyyin, Shidiqin, Syuhada dan Sholihin adalah gambaran pemenang dalam level strata masing-masing. Munafiqun, juga kaum fasik, bahkan kufar adalah sebaliknya.
Empat belas abad paska Muhammad SAW ritual Ibrahim AS dimaksud tetaplah masih berjalan, tetapi apinya, elan vitalnya, nilainya laksana timur yang makin menjauhi barat. Benarlah pesan Rasul SAW, bila kau tak punya malu maka berbuatlah sesukamu. Bila kita masih tanpa malu menyombongkan ritual kita, bila kita tanpa malu menjauhi kaum papa, bila tanpa malu keluar puluhan juta untuk sampai tanah haram tapi bahil keluar donasi untuk yang tak punya, maka Kekasih Alloh-pun berujar berbuatlah semau kalian.
Wallahu a’lam. Sragen, 30 Dzulqo’dah 1438 H