Mempertanyakan Partisipasi IMMawati dalam Politik: Soal Ruang atau Kemauan?
Mempertanyakan Partisipasi IMMawati dalam Politik: Soal Ruang atau Kemauan?
Oleh : Musyafa Syamil Arroyan (Sekretaris Umum PC IMM Banyumas)
PWMJATENG.COM – Akhir-akhir ini, sering kita dengar narasi minimnya keterwakilan perempuan dalam suatu proses kepemimpinan politik di Indonesia. Data pemilu 2019 menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan dalam politik masih berada di bawah 30%. Bahkan beberapa survei juga menunjukkan bahwasanya Indonesia masih menempati ranking yang cukup rendah dalam hal keterlibatan perempuan dalam politik. Rupanya, dalam scope yang lebih kecil, narasi tersebut juga kian kencang terdengar di tubuh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, terlebih lagi di fase pasca Muktamar XX di Palembang kemarin. “Bagaimana tidak? Dari jumlah formatur terpilih, tidak ada satupun IMMawati yang terpilih di antaranya” ujar para kader yang mengkritik. Tentu pembahasan ini menjadi diskursus yang menarik untuk ditelisik lebih jauh.
Di waktu yang sama, baru saja Korps IMMawati Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merilis postingan instagram tentang minimnya keterwakilan perempuan dalam kontestasi politik. Di dalamnya, DPP IMM mencantumkan data dari World Economic Forum tahun 2023 yang menyatakan negara Indonesia menempati peringkat ke-81 dari 146 negara dalam hal keterwakilan perempuan dalam dunia politik. Hal tersebut dinyatakan berbanding terbalik jika dilihat dari data daftar pemilih tetap KPU yang menunjukkan kuantitas perempuan jauh lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki dalam pemilu terakhir. Adapun DPP IMM menyampaikan terdapat 3 faktor yang menjadi alasan terjadinya fenomena tersebut. Pertama, soal keanggotaan KPU dan Bawaslu yang minim perempuan. Kedua, angka keterwakilan dalam DPR. Terakhir, soal Stereotip dan Budaya patriarki yang hidup dalam masyarakat.
Mengulik Alibi Argumentasi
Kalau kita melihat argumentasi yang sering digaungkan khususnya oleh postingan DPP IMM, apakah benar itu alasan yang sebenar-benarnya? Dari tiga faktor yang disampaikan, sikap penulis cenderung tidak setuju. Rasanya, faktor-faktor tersebut hanyalah alasan normatif yang begitu amat mudah kita temui dalam tulisan-tulisan di Google, tidak berdasarkan ijitihad analisa pembaharuan yang lebih reflektif dan komprehensif. Mengapa penulis sampaikan begitu? Penulis merasa, alasan-alasan yang disampaikan bukanlah faktor utama dari terjadinya fenomena minimnya partisipasi perempuan dalam politik. Kalo kita coba telisik lebih dalam, semua alasan yang disampaikan adalah faktor eksternal yang mana sebenarnya bisa saja diatasi selama para perempuan sudah clear dalam aspek internalnya sendiri.
Mempertanyakan Aspek Internal Perempuan terhadap Politik
Di atas sudah sempat saya singgung terkait faktor internal dalam perempuan itu sendiri. Apa yang penulis maksud faktor internal? Yang dimaksud faktor internal oleh penulis adalah tekad dan kemauan dari perempuan itu sendiri. Benarkah alasan minimnya keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan politik disebabkan oleh faktor eksternal saja? Atau Jangan-jangan memang dari perempuannya itu sendiri yang tidak memiliki mental dan kemauan yang cukup untuk turut terlibat dalam kontestasi. Dari argumentasi yang senantiasa disampaikan, terkhusus oleh DPP IMM, hanya argumentasi poin ketiga yang bagi penulis cukup masuk akal. Namun, apakah budaya patriarki itu adalah penentu sepenuhnya keterlibatan perempuan dalam dunia politik?
Selanjutnya, soal argumentasi poin pertama dan kedua. DPP IMM menyebutkan terkait minimnya keanggotaan perempuan pada KPU dan Bawaslu, serta keterwakilan perempuan di DPR. Bagi Penulis, dua hal tersebut justru merupakan implikasi dari adanya faktor internal yang barangkali belum selesai pada perempuan itu sendiri. Penulis menyampaikan ini tentu melihat dari fakta persentase perempuan yang berani mendaftarkan diri sebagai bakal calon kontestasi dalam berbagai tingkat. Benarkah keanggotaan perempuan dalam KPU dan Bawaslu itu minim karena perempuan itu ‘dikesampingkan?’, atau jangan-jangan memang karena tidak adanya perempuan yang mencalonkan diri? Dalam contoh lain, benarkah minimnya keterwakilan perempuan dalam DPR itu karena sepenuhnya budaya patriarki, atau jangan-jangan memang karena minimnya kandidat perempuan yang mendaftar menjadi calon legislatif di setiap kontestasi? Padahal dalam beberapa momen pendaftaran, fakta menunjukkan tidak adanya pendaftar perempuan, bahkan hingga pendaftaran terkait diperpanjang. Kalaupun ada satu sampai dua orang, eh tidak lulus seleksi. Kalau sudah begitu, bagaimana?
Baca juga, Memaknai Hijrah: Dari Tahayul ke Pengetahuan
Dalam konteks IMM, misalnya dengan membahas formatur muktamar kemarin, benarkah memang karena tidak ada ruang untuk IMMawati? Dari pendaftaran calon formatur saja, jumlah IMMawati yang mendaftar bisa dihitung tidak lebih dari jari di tangan, jauh dari separuh total calon formatur. Apalagi kalau berbicara pencalonan Ketua Umum, rasanya akan lebih kecil persentase terlihatnya bakal calon dari IMMawati. Sekarang pertanyaannya, mengapa? Kalaupun yang menjadi pertimbangan adalah perkara logistik, artinya itu bukan persoalan ruang, hal tersebut soal pertimbangan kesanggupan individu masing-masing. Jadi, apakah benar fenomena ini terjadi karena sepenuhnya faktor eksternal? Penulis pun tidak menafikan adanya pengaruh budaya patriarki yang masih kental, tetapi lagi dan lagi, jangan-jangan semuanya karena memang minimnya IMMawati yang berani unjuk gigi, rendahnya tekad dan kemauan para perempuan untuk berkontestasi di berbagai tingkatan.
Suksesi Kepemimpinan IMM Jateng dengan Partisipasi Masif Perempuan
Dalam waktu dekat, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Jawa Tengah akan melaksanakan Musyawarah Daerah yang mana merupakan momentum regenerasi serta refleksi kepemimpinan selama satu periode terakhir. Dalam rangka menyongsong kepemimpinan yang lebih baik, penulis memberikan penekanan kepada setiap pihak untuk merumuskan model kepemimpinan yang lebih merangkul dan adaptif, karena seperti yang kita ketahui bersama bahwa perpecahan menjadi PR tersendiri dalam tubuh IMM yang mesti diselesaikan. Salah satu poin penting di dalamnya yang patut diupayakan adalah dengan mendorong partisipasi IMMawati secara lebih masif. Tentu salah satu hal yang menjadi ukuran adalah seberapa banyak IMMawati yang mendaftarkan diri sebagai calon formatur di Musyda besok.
Tulisan ini ditulis dibuat bukan dimaksudkan untuk menjatuhkan salah satu pihak. Justru, tulisan ini penulis sampaikan guna mendorong kesadaran dan munculnya upaya reflektif dari setiap pihak khususnya untuk IMMawati itu sendiri terkait minimnya partispasi perempuan dalam politik. Mulai detik ini, para IMMawati harus mula tertantang untuk berpartisipasi unjuk gigi dalam setiap event. Terlebih lagi, IMM Jawa Tengah merupakan bagian dari pihak yang lantang menyuarakan minimnya keterwakilan IMMawati di Muktamar kemarin. Selain menyalahkan pihak eksternal, penulis rasa sudah semestinya setiap dari kita bermuhasabah, khususnya merenungkan aspek internal pada diri kita sendiri masing-masing. Sudahkah kita memaksimalkan segalanya?
Tentu, penulis berharap agar kita semua tidak hanya menjadi seperti anjing kelaparan yang menggonggong di dalam kandang, yang gemar berisik tanpa mengambil langkah konkret dan solutif. Penulis sadar, upaya penyetaraan partisipasi perempuan agar setara dengan laki-laki perlu didorong oleh seluruh pihak, tidak bisa hanya berandal pada perempuan itu sendiri. Nantinya, setelah aspek internal sudah dibenahi secara baik, sudah pasti akan lebih mudah dalam membenahi faktor-faktor yang datang dari luar. Baru setelahnya, IMM akan lebih memungkinkan menerapkan upaya-upaya administratif seperti meregulasi batas minim keterwakilan selayaknya peraturan pemilu sebanyak 30%, dan upaya-upaya lain yang memungkinkan untuk diterapkan dalam tubuh IMM itu sendiri.
Editor : M Taufiq Ulinuha