Geliat Ilmu dalam Peradaban Islam
Geliat Ilmu dalam Peradaban Islam
Oleh : Muhammad Fikri Hidayattullah (Dosen Artificial Intelligence Politeknik Harapan Bersama)
PWMJATENG.COM – Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat pertama dalam al-Qur’an kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dengan berfirman, “Iqra’ bismirabbika alladzi khalaq” (Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan). Syaikh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan [1]:
وفيه دعوةٌ إِلى القراءة والكتابة والعلم، لأنه شعار دين الإِسلام
“Di dalam ayat tersebut terkandung seruan untuk membaca, menulis dan bergulat menuntut ilmu. Karena seluruh aktivitas tersebut merupakan syiar Islam.”
Para ulama juga menjelaskan makna surat al-‘Alaq ayat 1-5 dengan mengatakan [2]:
أن هذه الآيات الكريمات التي هي أول ما نزل من القرآن فيها دلالة على فضل العلم والتعلم لأنها تضمنت أمرا مكررا بالقراءة
“Ayat-ayat yang mulia ini diturunkan pertama kali oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di dalamnya terkandung makna tentang keutamaan ilmu dan aktivitas menuntut ilmu. Karena aktivitas menuntut ilmu tidak terlepas dari kegiatan membaca (qira’ah) yang berulang kali.”
Nampaknya ayat tersebut mampu memantik geliat keilmuan para ulama dan mutsaqqafun (cendekiawan) dalam sejarah peradaban Islam. Hal ini terbukti sepeninggal masa kenabian, lahir berbagai ilmu baru yang belum dijumpai di masa Nabi, seperti ilmu nahwu, sharaf, musthalah hadits, ushul fiqih dan qawaid fiqih [3]. Ilmu-ilmu tersebut lahir sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman. Seluruh ilmu tersebut sangat penting karena berfungsi sebagai perangkat untuk memahami ajaran agama Islam.
“Sains Islam” yang Mengagumkan
Pada masa keemasan Islam (Islamic Golden Age) tidak hanya ilmu-ilmu syariah saja yang tumbuh subur. Ilmu sains juga mampu melejit dengan sangat pesat. Hal tersebut bermula dari inisiatif Khalifah Harun ar-Rasyid yang melakukan penyalinan dan penerjemahan secara massif berbagai karya para filsuf di masa renaissance Yunani Kuno ke dalam bahasa Arab [4]. Upaya yang diinisiasi Harun ar-Rasyid tersebut ternyata mampu menjadi pendorong semangat umat Islam untuk bergulat dengan ilmu pengetahuan secara serius dan mendalam. Lahirlah para ilmuwan besar Islam yang mampu menghasilkan berbagai penemuan penting dalam sejarah dunia.
Upaya Khalifah Harun ar-Rasyid dalam meningkatkan ilmu pengetahuan tidak hanya berhenti sampai di situ. Beliau juga mendirikan sebuah lembaga riset yang agung, yaitu Bayt al-Hikmah. Salah satu ilmuwan muslim yang yang bernama Abu Ja’far Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi mampu menghasilkan karya monumental al-Ikhtisar fi al-Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah. Karya tersebut berhasil terselesaikan berkat dukungan penuh dari Khalifah al-Ma’mun. Bantuan dana penelitian sampai biaya perjalanan untuk riset ke negara lain difasilitasi oleh al-Ma’mun [5]. Al-Ma’mun mengikuti jejak Harun ar-Rasyid yang memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan melanjutkan pengembangan Bayt al-Hikmah yang dirintis Harun ar-Rasyid. Di tempat ini pula al-Ikhtisar fi al-Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah dilahirkan [6].
Salah satu kontribusi penting yang diberikan al-Khawarizmi melalui kitabnya tersebut adalah diperkenalkannya angka Arab (0,1,2,3…9) ke dunia Barat. Di mana awalnya bangsa Barat tidak mengenal angka Arab. Mereka menggunakan angka Romawi yang tidak mengenal angka 0 (nol). Bahkan penamaan algoritma (algorithm) sebagai sebuah metode penting dalam ilmu komputer diambil dari nama al-Khawarizmi (dilatinkan menjadi Algoritmi) [7]. Tak mengherankan jika hari ini banyak orang yang menyebut al-Khawarizmi sebagai Grand Father of Computer Science.
Polymath Muslim
Para ilmuwan muslim yang hidup pada masa keemasan Islam tidak hanya unggul dalam satu bidang ilmu saja [8]. Mereka memiliki penguasaan keilmuan interdispliner dalam berbagai bidang ilmu secara mendalam (polymath). Fahruddin ar-Razi misalnya, selain menjadi seorang dokter beliau juga seorang filsuf, ahli kalam, Syaikh al-Musyakkikin (Teacher of Skeptics) dan mufassir. Ar-Razi mampu menulis kitab tafsir Mafatih al-Ghaib atau Tafsir al-Kabir. Begitu juga Ibnu Rusyd, seorang filsuf besar di Andalusia, dokter terbaik di Cordoba, namun beliau juga seorang fuqaha’ yang hebat. Beliau menulis kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid yang terus dikaji di kampus-kampus Islam hingga sekarang.
Syaikh Muhammad ‘Imarah pernah menyebutkan bahwa Ibnu Rusyd tidak pernah melewatkan malam-malamnya dari membaca, kecuali ketika ayahnya meninggal dunia [9]. Pada abad ke-12 M muncul seorang ilmuwan besar dalam ilmu mekanika dan robotika, yaitu Abu al-‘Izz ibn Isma’il ibn al-Razaz al-Jazari. Beliau menulis sebuah karya fenomenal yang berjudul Kitab fi Ma’rifat al-Hiyal al-Handasiyah (Buku Pengetahuan Ilmu Mekanik) [10]. Buku ini sangat canggih sekali karena memuat berbagai penemuan penting yang mengarah ke konsep otomatisasi. Salah satu penemuannya yang relevan di masa pandemi Covid-19 adalah alat cuci tangan otomatis dengan mekanika flush.
Matahari Arab Bersinar di Barat
Kemegahan peradaban Islam yang dibangun di atas tradisi dan budaya ilmu mampu memberikan warna baru bagi bangsa Eropa yang saat itu sebagian wilayahnya masuk dalam kekuasaan kekhalifahan Islam. Sigrid Hunke, orientalis Jerman, menulis sebuah buku hasil penelitiannya yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul Syams al-‘Arab Tastha’ ‘ala al-Gharb: Atsar Hadharah al-‘Arabiyyah fi Urubiyah [11] (Matahari Arab Bersinar di Barat: Jejak Peradaban Arab di Eropa). Buku ini menggambarkan kemegahan peradaban Arab-Islam di masa keemasannya yang mampu membawa pengaruh besar di sebagian wilayah Eropa.
Bangsa Arab yang berkuasa saat itu telah memberikan warna baru dalam budaya bangsa Eropa, baik dalam hal pakaian, bahasa, simbol, etika, hingga penggunaan nama Arab. Uskup wilayah Sevia menggunakan nama Abdullah ibn Qasim. Begitu juga dengan seorang Qadhi agama Kristen, saat itu menggunakan nama Arab dan berpakaian ala Arab. Tidak hanya sampai di situ, hingga Injil pun diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Baca juga, Iduladha Berbeda Lagi! Ini Penjelasan Muhammadiyah Terkait Perbedaan dengan Arab Saudi
Hunke mengutip pernyataan seorang Uskup Cordoba yang menceritakan bahwa pada periode sekitar seratus tahun sebelum bangsa Eropa “ter-Arab-kan”, banyak sekali orang-orang Kristen yang membaca syair dan mitologi Arab. Mereka juga mempelajari karya-karya para ulama dan filsuf muslim. Tujuannya bukan untuk meninggalkan agamanya, tapi untuk mempelajari bahasa Arab secara mendalam sehingga mereka menguasai uslub balaghah. Begitu juga terjadi perubahan preferensi pendalaman ilmu, para pemuda Cordoba (Kristen) ini lebih senang untuk mendalami bahasa dan sastra Arab dibanding bahasa Latin. Mereka dengan senang hati membaca buku-buku berbahasa Arab dan banyak menginvestasikan uangnya untuk berburu kitab berbahasa Arab. Budaya yang dibawa oleh bangsa Arab benar-benar tertanam dan membekas di tengah bangsa Eropa saat itu. Para pemuda Eropa ini juga sangat bangga berbicara dengan bahasa Arab dan berperilaku layaknya orang Arab.
Peradaban yang dibangun di atas budaya ilmu akan terus hidup meski para pembawa dan pelopornya telah meninggal. Berbeda dengan peradaban yang dibangun di atas kekuatan militer semata. Jika kekuatan militer tersebut runtuh maka secara otomatis peradaban tersebut akan ikut runtuh juga. Peradaban Islam pada masa lampau adalah peradaban yang mengagumkan. Peradaban yang mampu memberi kontribusi besar bagi dunia, terutama sumbangsihnya dalam berbagai penemuan penting dalam sains dan teknologi [12]. Meskipun masa keemasannya telah berlalu, namun jejak peninggalannya masih terus bermanfaat hingga sekarang.
Pudarnya Kemegahan Peradaban Islam
Peradaban Islam yang menjulang dengan ketinggian ilmunya lambat laun mulai meredup. Ilmu-ilmu sains seperti kedokteran, fisika, kimia, biologi dan astronomi pelan-pelan mulai tidak diperhatikan. Bahkan pada masa itu muncul pihak yang menolak kebenaran sains dengan dalih bahwa sains bertentangan dengan agama. Mereka menggunakan baju agama untuk menolak kebenaran ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali dalam otobiografinya yang terkenal, al-Munqidz min ad-Dlalal [13], menyinggung fenomena semacam ini. Beliau menyebutkan bahwa telah muncul orang-orang yang merasa dirinya tahu tentang Islam, padahal sebenarnya dia tidak tahu.
Mereka berkeyakinan bahwa agama itu harus dibela dengan mengingkari semua ilmu pengetahuan dari para filsuf (ilmuwan)[14]. Mereka juga menganggap para filsuf ini adalah orang-orang yang bodoh. Sehingga mereka tidak mengakui pendapatnya tentang gerhana matahari dan bulan, dan menuduh bahwa pendapat-pendapat para filsuf tersebut benar-benar bertentangan dengan syariat. Al-Ghazali menyatakan bahwa jika fenomena penolakan semacam ini didengar oleh orang-orang yang mendalami ilmu sains atau filsafat dengan serius dan mendalam, akhirnya mereka akan menyimpulkan bahwa agama Islam dibangun di atas kebodohan dan penolakan terhadap bukti-bukti empirik dalam sains. Sehingga mereka semakin menjauhi agama Islam dan semakin cinta dengan ilmu filsafat.
Ibnu Rusyd yang hidup setelah masa al-Ghazali juga pernah mengkritik perilaku orang-orang yang menggunakan baju agama untuk menutupi kebatilan yang dibuatnya. Beliau mengatakan :
إذا اردت ان تتحكم فى جاهل فعليك ان تغلف كل باطل بغلاف ديني
“Jika kamu ingin menguasai orang yang bodoh, maka kamu harus membungkus setiap kebatilan dengan kemasan agama.”
Pada tahun 1929, Syaikh Basyuni Imran, mufti negeri Sambas, Kalimantan berkirim surat kepada Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Beliau menanyakan kenapa umat Islam terbelakang sedangkan bangsa-bangsa Barat malah semakin maju. Padahal di dalam al-Qur’an, Allah telah mengatakan “wa lillahil ‘izzatu wa lirasulihi wa lilmu’minin” (Sesungguhnya ‘izzah itu milik Allah, milik Rasul-Nya dan milik kaum mukminin). Lantas kenapa yang terjadi malah sebaliknya. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha meminta sahabatnya, Syakib Arsalan untuk memberi jawaban atas pertanyaan tersebut. Syakib Arsalan kemudian menjawab pertanyaan dari Syaikh Basyuni Imran dengan menulis sebuah buku berjudul “Limadza ta’akhkhara al-muslimun wa limadza taqaddam ghairuhum” [15] (Kenapa umat Islam mengalami kemunduran sedangkan bangsa lainnya maju). Salah satu penyebab kemunduran umat Islam yang diulas oleh Syakib Arsalan adalah adanya sikap konservatif (jumud) terhadap kemajuan. Konservatisme itu terwujud dalam bentuk penolakan terhadap ilmu pengetahuan dengan beralasan bahwa ilmu tersebut merupakan produk kafir. Mereka lebih memilih hidup dalam kungkungan keterbelakangan dengan kesalahpahaman yang parah.
Sikap Anti-Sains
Sangat aneh jika di zaman yang serba canggih ini masih muncul gerombolan penolak kebenaran sains dengan menggunakan senjata agama. Lebih aneh lagi jika ada yang mau menjadi pengikutnya. Padahal peradaban Islam yang agung di masa lalu dibangun di atas budaya ilmu dan dipenuhi oleh orang-orang hebat yang sangat ahli dalam bidang sains. Hal ini menjadi bukti bahwa agama Islam tidak serta merta anti terhadap sains. Bahkan beberapa produk sains digunakan untuk menunjang sebagian putusan hukum fikih.
Oleh karena itu jangan sampai kita tidak mengenal peradaban kita sendiri dan lebih silau dengan peradaban bangsa lain. Milan Kundera, penulis berkebangsaan Cekoslovakia, pernah menulis:
“The first step in liquidating a people is to erase its memory:
Destroy its books, its culture, its history. Then have somebody write new books, manufacture a new culture, invent a new history. Before long the nation will begin to forget what it is and what it was. The world around it will forget even faster.” [16]
(Langkah pertama menaklukkan sebuah bangsa adalah dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-bukunya, kebudayaannya, dan sejarahnya. Lalu, perintahkan seseorang untuk menulis buku-buku baru, membangun kebudayaan baru, dan menyusun sejarah baru. Tak akan lama, bangsa itu mulai lupa pada masa kini dan masa lampaunya.)
Mari bersama, kita menata kembali peradaban dengan meningkatkan aktivitas membaca sebagaimana wahyu pertama yang turun kepada Nabi, Iqra’! (Bacalah!). Jangan mudah puas dan percaya dengan klaim, meskipun klaim tersebut dibungkus dengan kemasan agama. Karena terkadang kemasan belum tentu sesuai dengan isinya. Wallahu ta’ala a’lam bishshawwab.
Editor : M Taufiq Ulinuha
Referensi :
Al-Ghazali, Muhammad ibn Muhammad. Al-Munqiz Min Ad-Dlalal Wal Mufsih Al-Ahwal. 1st ed. Jeddah, Saudi Arabia: Daar al-Minhaj, 2015.
Al-Jazari, Abu al-‘Izz ibn Isma’il ibn al-Razaz. Kitab Fi Ma’rifat Al-Hiyal Al-Handasiyah. Qatar, 2017.
Anis Bachtiar, M. “Gerakan Hellenisme Dalam Islam.” Tribakti 20, no. 2 (2009).
Arsalan, Al Amir Syakir. Mengapa Kaum Muslimin Mundur. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Ash-Shabuni, Muhammad ’Ali. Shafwah At-Tafasir. Jilid 1. Mesir: Daar ’Alamiyah, 2009.
Hunke, Sigrid. Syams Al-‘Arab Tastha’ ‘ala Al-Gharb: Atsar Hadharah Al-‘Arabiyyah Fi Urubiyah. Beirut: Daar al-Jiil, 1993.
KAKI LiMA Team Lirboyo. Formulasi Nalar Fiqih. 1st ed. Santri Salaf Press, 2009.
Majmu’ah min Al-Muallifin. “Kitab Fatawa Asy-Syabkah Al-Islamiyyah : Tafsir Iqra’,” 2009. https://www.islamweb.net/ar/fatwa%2F77035%2Fتفسير-اقرأ-باسم-ربك-الذي-خلق.
Mehri, Bahman. “From Al-Khwarizmi to Algorithm.” Olympiads in Informatics 11, no. Special Issue (2017): 71–74. https://doi.org/10.15388/ioi.2017.special.11.
Nasr, Seyyed Hosein. Sains Dan Peradaban Di Dalam Islam. 2nd ed. Bandung: Pustaka, 1997.
Rusyd, Ibnu. Kaitan Filsafat Dengan Syariat Terjemah Fashl Al-Maqal Fi Ma Baina Al-Hikmah Wa as-Syariah Min Al-Ittishal. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Sardar, Ziauddin. “Tantangan Dunia Islam Abad 21.” Bandung: Mizan, 1988.
Sargin, Güven Arif. “Displaced Memories, or the Architecture of Forgetting and Remembrance.” Environment and Planning D: Society and Space 22, no. 5 (2004): 659–80. https://doi.org/10.1068/d311t.
Turner, Howard R. Sains Islam Yang Mengagumkan : Sebuah Catatan Terhadap Abad Pertengahan. 1st ed. Bandung: Nuansa, 2004.
Yuwono, Budi. “Ilmuwan Muslim Pelopor Sains Modern Seri 1.” Jakarta Timur: Pustaka Qalami, 2005.
[1] Muhammad ’Ali Ash-Shabuni, Shafwah At-Tafasir, Jilid 1 (Mesir: Daar ’Alamiyah, 2009).
[2] Majmu’ah min Al-Muallifin, “Kitab Fatawa Asy-Syabkah Al-Islamiyyah : Tafsir Iqra’,” 2009, https://www.islamweb.net/ar/fatwa%2F77035%2Fتفسير-اقرأ-باسم-ربك-الذي-خلق.
[3] KAKI LiMA Team Lirboyo, Formulasi Nalar Fiqih, 1st ed. (Santri Salaf Press, 2009).
[4] M. Anis Bachtiar, “Gerakan Hellenisme Dalam Islam,” Tribakti 20, no. 2 (2009).
[5] Budi Yuwono, “Ilmuwan Muslim Pelopor Sains Modern Seri 1” (Jakarta Timur: Pustaka Qalami, 2005).
[6] Ziauddin Sardar, “Tantangan Dunia Islam Abad 21” (Bandung: Mizan, 1988).
[7] Bahman Mehri, “From Al-Khwarizmi to Algorithm,” Olympiads in Informatics 11, no. Special Issue (2017): 71–74, https://doi.org/10.15388/ioi.2017.special.11.
[8] Seyyed Hosein Nasr, Sains Dan Peradaban Di Dalam Islam, 2nd ed. (Bandung: Pustaka, 1997).
[9] Ibnu Rusyd, Kaitan Filsafat Dengan Syariat Terjemah Fashl Al-Maqal Fi Ma Baina Al-Hikmah Wa as-Syariah Min Al-Ittishal (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
[10] Abu al-‘Izz ibn Isma’il ibn al-Razaz Al-Jazari, Kitab Fi Ma’rifat Al-Hiyal Al-Handasiyah (Qatar, 2017).
[11] Sigrid Hunke, Syams Al-‘Arab Tastha’ ‘ala Al-Gharb: Atsar Hadharah Al-‘Arabiyyah Fi Urubiyah (Beirut: Daar al-Jiil, 1993).
[12] Howard R. Turner, Sains Islam Yang Mengagumkan : Sebuah Catatan Terhadap Abad Pertengahan, 1st ed. (Bandung: Nuansa, 2004).
[13] Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali, Al-Munqiz Min Ad-Dlalal Wal Mufsih Al-Ahwal, 1st ed. (Jeddah, Saudi Arabia: Daar al-Minhaj, 2015).
[14] Pada masa itu istilah filsafat identik dengan ilmu pengetahuan (sains) secara umum. Bukan merupakan sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri seperti saat ini. Al-Ghazali membagi ilmu para filsuf ke dalam 6 jenis, yaitu riyadhiyyah (matematika), manthiqiyyah (logika), thabi’iyyah (ilmu pengetahuan alam), ilahiyyah (metafisika), siyasah (politik) dan khuluqiyyah (etika). Secara umum kritikan para ulama terhadap ilmu filsafat ditujukan ke filsafat ilahiyah yang membahas masalah ketuhanan. Hal tersebut dikarenakan banyaknya syubhat yang dimunculkan para filsuf dalam masalah ini.
[15] Al Amir Syakir Arsalan, Mengapa Kaum Muslimin Mundur (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
[16] Güven Arif Sargin, “Displaced Memories, or the Architecture of Forgetting and Remembrance,” Environment and Planning D: Society and Space 22, no. 5 (2004): 659–80, https://doi.org/10.1068/d311t.