Memilih Pemimpin itu Bab Fikih atau Aqidah?
Memilih Pemimpin itu Bab Fikih atau Aqidah?
Oleh : Muh. Nursalim*
PWMJATENG.COM – Memilih pemimpin. Dengan metode apapun. Seperti pemilu, majelis syuro, turun temurun dengan mengangkat putra mahkota bahkan dengan kudeta sekalipun. Merupakan bagian dari proses politik. Dalam bahasa arab dinamakan siyasah.
Di perguruan tinggi Islam dipelajari dalam mata kuliah fikih siyasah. Tidak semua mahasiswa mendapat materi tersebut. Hanya mereka yang berada di fakultas syari’ah yang memperoleh mata kuliah itu.
Di Fakultas Syariah pelajaran fikih Islam menjadi dominan. Bahkan dipelajari secara rinci. Bab demi bab, tema demi tema. Juga ditinjau dari berbagai sisi dan mazhab. Paham-paham kuno yang pernah ada maupun gagasan baru di seputar hukum Islam.
Fikih mengenal lima hukum pokok. Halal, haram, sunah, makruh dan mubah. Perbuatan apapun dapat dihukumi dengan salah satu lima hukum itu. Baik perbuatan yang berupa ibadah maupun muamalah. Tidak terkecuali tentang memilih pemimpin.
Ibadah itu jelas. Ada tata cara dari Nabi. Bahkan secara detail. Tahap demi tahap. Dari awal, tengah sampai pungkasan. Juga ada klausul darurat dan alternatif penyelesaian bila hal itu terjadi.
Sholat subuh misalnya. Normalnya dilakukan saat fajar terbit sampai matahari terbit. Itu waktunya sholat subuh. Bagaimana jika seseorang tidur pulas dan terbangun jam tujuh pagi?
Baca juga, Hisab: 1 Ramadan 1445 H Jatuh pada 11 Maret 2024, 1 Syawal Jatuh pada 10 April 2024
Tidak usah khawatir. Fikih selalu ada solusi. Walaupun para ulama berbeda persepsi. Rujukannya mungkin sama. Hadis seperti ini.
Dari Aisyah Ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Bebas hukum bagi tiga golongan manusia. Orang yang tidur sampai ia bangun. Orang gila sampai ia normal dan anak kecil sampai ia dewasa. (HR. Abu Dawud)
Orang tidur tidak kena hukum. Yaitu kewajiban Salat Subuh pada waktu yang telah ditentukan. Saat ia bangun kewajiban itu baru mengena dirinya. Perbedaan muncul dalam menamai Salat yang dilakukan orang yang bangun kesiangan itu. Ada ulama menyebut itu Salat Qadha Subuh. Ada juga yang mengatakan itu juga Salat Subuh, bukan qadha. Merujuk sabda Nabi yang lain.
Dari Mu’adzah ra berkata, aku bertanya kepada Aisyah tentang wanita haidh yang diwajibkan mengqadha puasa dan tidak mengqadha Salat. Aisyah bertanya, “Apa kamu ingin bebas ?”. “Tidak, aku hanya bertanya” jawabku. Aisyah berkata, “saat itu kami mengalami seperti itu, lalu Rasulullah menyuruh kami mengqadha puasa dan tidak memerintah mengqadha sholat”. (HR. Muslim)
Fikih siyasah termasuk bagian muamalah. Tidak ada panduan rinci dari Nabi. Yang ada hanya rambu-rambu secara umum. Bagaimana pemimpin itu seharusnya dipilih. Akibatnya empat khalifah setelah Nabi dipilih dengan cara yang berbeda-beda.
Baca juga, Lemahnya Kaderisasi Ulama
Abu Bakar dibaiat di Saqifah Bani Saidah. Setelah para sahabat utama dua hari berdebat tentang pengganti pemimpin setelah Nabi wafat. Umar bin Khatab naik ke tampuk pimpinan dengan cara ditunjuk oleh Abu Bakar Shidiq. Sementara Ustman bin Affan menjadi khalifah setelah tim majelis syura berembug. Tim ini terdiri dari enam orang dan dipilih oleh Umar bin Khatab. Adapun Ali menjadi khalifah setelah orang-orang membaiatnya di masjid.
Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fikih Islam membahas secara khusus masalah kepemimpinan ini. Pada bab, Kitab Al Khilafah. Terlepas masalah khilafah itu dilarang diperjuangkan di Indonesia. Faktanya secara akademik dibahas dalam kitab fikih. Bahkan buku ini menjadi Proyek Pembinaan Pendidikan pada Perguruan Agama Islam Tingkat Menengah Pertama. Departeman Agama tahun 1982-1983. Dan dibagikan ke madrasah-madrasah seluruh Indonesia. Saat itu.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada ijtima ulama tanggal 26 Januari 2009 juga mengeluarkan fatwa terkait dengan hal ini. Ringkasannya adalah sebagai berikut:
- Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
- Memilih pemimpin (nasbu al imam) dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama
- Imamah dan imarah dalam pandangan Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
- Memilih pemimpin yang beriman dan bertaqwa, jujur (sidiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tablig), mempunyai kemampuan (fatanah) dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
- Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir empat hukumnya haram, demikian juga sengaja tidak memilih padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya haram.
Adanya fatwa tentang memilih pemimpin dari MUI ini, memperkuat posisi ilmu politik dalam ranah fikih. Sebab istilah wajib, halal dan haram itu sangat kental pada ilmu fikih.
Baca juga, Breaking News! Pimpinan Muhammadiyah dan NU DIY Bersatu, Menyongsong Pemilu 2024 dengan Kolaborasi Hebat!
Walaupun politik itu bagian dari fikih. Dalam praktik sangat rentan ditarik-tarik ke ranah aqidah. Apa bedanya?
Aqidah itu kriterianya bukan halal, haram, sunah, makruh dan mubah. Tetapi mukmin, kafir dan musyrik. Itulah yang terjadi di awal perkembangan politik Islam.
Orang yang tidak setuju terhadap kebijakan Ali dalam bertahkim dengan kelompok Muawiyah, keluar. Mereka membentuk kelompok tersendiri. Kaum khawarij namanya. Mencap Ali sebagai kafir. Karena kafir maka halal darahnya. Menantu Rasulullah itu kemudian dibunuhnya.
Sebaliknya, orang-orang yang pro Ali tidak kurang radikalnya. Mereka membentuk kelompok syi’ah. Mengkafirkan para sahabat mulia. Abu Bakar, Umar dan Ustman dituduh merampas hak Ali sebagai khalifah. Setelah nabi wafat.
Dan seterusnya. Perkembangan ilmu kalam dengan segala alirannya. Berawal dari masalah politik. Membingkai fikih siyasah dalam bab aqidah. Padahal tempatnya mestinya tidak di situ.
Kecenderungan ini tidak lepas dari kepentingan politik praktis. Untuk melanggengkan kekuasaan atau merebut tahta yang diduduki orang.
Baca juga, Tahallul Salat
Perhelatan pemilu sekarang juga ada fenomena seperti ini. Menarik-narik urusan memilih pemimpin kepada ranah aqidah. Mengkafirkan kelompok lawan. Padahal faktanya sama-sama muslim.
Kalau diletakkan pada ilmu fikih. Risiko paling buruk salah pilih pemimpin adalah haram. Pelakunya mendapat dosa. Dan orang yang berdosa masih bisa diampuni. Bila bertaubat tentu.
Orang-orang yang berbuat kejahatan kemudian setelah itu bertaubat dan beriman, sesungguhnya Tuhan kamu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Araf: 153)
Tetapi bila diletakkan pada masalah aqidah. Akibatnya bisa sangat fatal. Orang yang salah memilih pemimpin menjadi kafir bahkan bisa musyrik. Dan orang yang mati dalam kemusyrikan Allah tidak akan mengampuni.
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa yang lainnya yang dikehendaki. (An Nisa: 116)
Bahkan orang yang mati dalam kekafiran akibatnya sangat mengerikan.
Sesungguhnya orang yang kafir dan mati dalam kekafiran, maka tidaklah diterima tebusan mereka meski dengan emas sepenuh bumi. Bagi mereka itu siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak dapat penolong. (Ali Imran: 91)
Memasukkan urusan memilih pemimpin pada bab fikih terasa lebih adem. Pendukungnya, yang pro sana, situ maupun sini bisa ngopi bareng. Karena hanya berselisih dalam fikih. Ibarat sholat subuh, baik yang pakai qunut maupun tidak bisa sholat berjamaah. Tidak saling membatalkan. Wallahu’alam.
*Dewan Pengawas Syariah Lazismu Sragen
Editor : M Taufiq Ulinuha