Kultur Kepemimpinan Muhammadiyah
Oleh : Untung Supriyadi*
PWMJATENG.COM – Menjelang Musyawarah Daerah Muhammadiyah Kabupaten Magelang Periode Muktamar ke-48, banyak orang yang ingin tahu siapa calon terkuat untuk menduduki jabatan Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Magelang. Hal ini wajar terjadi karena pergantian pimpinan di organisasi besar selalu menimbulkan dinamika suksesi calon pimpinan yang saling memperebutkan jabatan. Namun, bagi mereka yang memahami kultur kepemimpinan di Muhammadiyah yang mengedepankan kolektif kolegial (ko-ko), maka perdebatan dan pertarungan untuk memperebutkan jabatan nyaris tidak pernah terjadi.
Dalam beberapa pergantian kepemimpinan di persyarikatan ini, terkadang malah semua pihak tidak mau menjabat sebagai Ketua Umum dan saling menolak. Tradisi yang dibangun dan telah menjadi kesadaran kolektif di internal Muhammadiyah adalah jangan meminta-minta jabatan, namun ketika diberi amanah jabatan seseorang tidak boleh menolak. Hal ini menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang kuat, mandiri, dan bebas dari intervensi manapun. Para pemimpin Muhammadiyah adalah orang-orang yang ikhlas dan berjuang dalam menggerakkan roda dakwah Islam semata-mata berharap ridha Allah SWT.
Mekanisme pergantian pengurus Muhammadiyah memang tidak untuk memilih Ketua, melainkan memilih Pimpinan Muhammadiyah. Pada tingkat Pimpinan daerah , terdapat 11 orang dari 33 calon tetap yang akan dipilih oleh anggota Musyawarah Daerah secara langsung dari calon-calon tetap yang sudah disahkan. Setiap anggota muktamar memilih 11 orang dari calon tetap menjadi pimpinan persyarikatan. Untuk menentukan siapa calon Ketua Umum, maka 11 orang terpilih tersebut yang menentukan. Tidak harus suara terbanyak yang menentukan, semua anggota formatur terpilih berpeluang menjadi Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah.
Sistem ini telah mengarungi beberapa periode kepemimpinan dan mampu menghindarkan Muhammadiyah dari perpecahan dan perselisihan. Sistem ini juga telah membawa Muhammadiyah menjadi organisasi Islam yang istiqomah dalam pengamalan ajaran Islam mengenai praktek kepemimpinan. Dalam kata-kata Abdul Mukti, Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Kepemimpinan di Muhammadiyah ditentukan oleh sistem dan bukan ditentukan oleh orang”. Sistem yang dibangun itu didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam. Begitu juga pesan KH Jumari Al Ngluwari, Menjadi Pimpinan Daerah Muhammadiyah itu jangan di Niati, namun jika di amanati jangan mengingkari. artinya ini menunjukan bahwa menjadi Pimpinan Muhammadiyah itu tidak lazim dilakukan dengan kampanye dan lobi – lobi, yang terpenting adalah keshunggukan iklas dalam menjalankan dan memajukan Muhammadiyah dalam gerak Amal dan Dakwahnya.
Kekuatan Muhammadiyah dalam Kepemimpinan Pergerakan
Muhammadiyah memiliki kekuatan yang luar biasa karena kepemimpinannya berbasis pada pergerakan yang didasarkan pada nilai-nilai agama dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah Maqbulah. Hal ini membuat gerakan Islam modern yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 silam memiliki ciri khas yang unik, yaitu karakter religius movement (gerakan keagamaan). Pola kepemimpinan di Muhammadiyah dibangun atas karismatik nilai yang memiliki karakter religius movement.
Pola kepemimpinan di Muhammadiyah tidak hanya tentang pergerakan tetapi juga nilai-nilai. Kepemimpinan dalam Muhammadiyah harus membangun image dengan cara yang benar, dan tidak hanya sekedar pola kepemimpinan biasa. Selain itu kepemimpinan di Muhammadiyah memiliki karakteristik religius movement yang melibatkan pergerakan, nilai-nilai, dan agenda-agenda perubahan.
Kepemimpinan transformatif adalah teori kepemimpinan baru yang hendak mendorong aspek perubahan di masa depan. Seorang pemimpin yang mempraktikkan teori ini harus memberikan perubahan besar bagi kehidupan. Ada tiga karakteristik dari kepemimpinan transformatif, yaitu kemampuan pemimpin dalam memobilisasi potensi, memiliki agenda-agenda perubahan, dan memproyeksikan masa depan.
Namun, perlu diperhatikan bahwa kepemimpinan transformatif harus kokoh dan tidak menjadi pragmatis. Hal ini karena nilai-nilai dan identitasnya dapat hilang. Oleh karena itu, sebuah organisasi harus memiliki tiga hal di dalam dirinya jika ingin tetap eksis keberadaannya. Yakni karakter sentral, karakter engineering, dan karakter distingtif.
Karakter sentral adalah nilai-nilai yang menjadi rujukan bersama. Muhammadiyah memiliki karakter sentral yang kuat berupa nilai-nilai Al Islam kemuhammadiyahan. Nilai ini memiliki watak abadi sehingga para pemimpin yang saat ini dan ke depan akan menjabat dari pusat sampai ranting harus terus hidup menjalankan kepemimpinannya dengan penuh tanggung jawab.
Karakter distingtif Muhammadiyah adalah karakter Islam berkemajuan. Muhammadiyah memiliki karakter kuat yang dinamakan karakter Islam berkemajuan. Di mana agama Islam sebagai agama yang membawa kemajuan hidup umat, kuat aqidahnya, dan maju pula mu’amalat dunyawiyah yang membawa perkembangan hidup dalam berbagai aspek.
Muhammadiyah hadir melayani umat dan bangsa dengan semangat kemandirian. Kendati ada bantuan dukungan dari pemerintah dan berbagai pihak, dukungan bantuan tersebut sebagai penguatan, namun modal utama Muhammadiyah adalah kemandirian. Oleh karena itu, modal besar Muhammadiyah harus dikapitalisasi, dimobilisasi, dan diakselerasi untuk kemajuan hidup umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta yang rahmatan lil alamin. Hal ini menjadi tugas dan amanah bagi seluruh anggota Muhammadiyah.
*Majelis Pembinaan Kesejahteraan Sosial (MPKS)
Editor : M Taufiq Ulinuha