Mengulas Era Awal Gerakan Muhammadiyah (1)
Oleh : Prof. Dr. KH. Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah)
PWMJATENG.COM, Semarang – Muhammadiyah generasi awal (1912-1923) yakni pada masa kepemimpinan Kiai Haji Ahmad Dahlan ketika berdiri sampai tahun 1923 pada saat Kiai wafat, kendati kelihatan sederhana tetapi memancarkan gerakan pembaruan yang luar biasa cemerlang. Pada masa itu, gagasan-gagasan cemerlang dilahirkan seperti mendirikan sekolah (1911), menerbitkan publikasi/majalah Socara Mochammadijah (1915), mendirikan Sopo Tresno (1914) yang kemudian menjadi ‘Aisyiyah (1917), Pandu Hizbul Wathan (1918), weisshouse atau panti asuhan dan Penolong Kesengsaraan Omeoem (PKO) pada 1922 satu bulan sebelum Kiai meninggal. Pada era Kiai Dahlan pula lahir gagasan pengorganisasian zakat, shalat Idul Fitri, dan Idul Adha di lapangan, pengorganisasian haji, penerbitan-penerbitan brosur dan kegiatan taman pustaka lainnya, pengorganisasian muballigh dan muballighat untuk bertabligh yang berkeliling ke masyarakat untuk “mempropagandakan” (menyiarkan) Islam, merintis membangun masjid/mushalla di tempat-tempat umum dan perkantoran, serta ide-ide cerdas lainnya.
Dalam tulisan H. Soedja’ bahkan gagasan mendirikan universitas Muhammadiyah justru telah muncul dari gagasan M. Hisjam selaku H.B. Muhammadiyah Bahagian Sekolahan, yang disampikan dalam rapat anggota Muhammadiyah istimewa pada 17 malam 18 Juni tahun 1920 yang dipimpin langsung oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan. Belum termasuk pelurusan arah kiblat yang menggemparkan sebelum Muhammadiyah didirikan (Soedja’, 1989: 31).
Dalam pertemuan resmi Muhammadiyah tahun 1920 itu dilantik untuk pertama kalinya empat Bahagian Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah, yaitu:
(1) H.B. Muhammadiyah Bahagian Sekolahan, diketuai oleh sdr. H. M. Hisjam;
(2) H.B. Muhammadiyah Bahagian Tabligh, diketuai oleh sdr. H.M. Fachrodin;
(3) H.B. Muhammadiyah Bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem, diketuai oleh sdr. H. M. Soedja’; dan
(4) H.B. Muhammadiyah Bahagian Taman Poestaka, diketuai oleh sdr. H. M. Mochtar. Ketika M. Hisjam dilantik dan ditanya pimpinan rencana apa yang akan diperbuatnya, Ketua Bahagian Sekolahan itu menjawab sebagai berikut:
Bahwa saja akan membawa kawan-kawan kita pengurus bahagian sekolahan berusaha memadjukan pendidikan dan pengadjaran sampai dapat menegakan gedung Universiteit Muhammadijah jang megah untuk mentjitak serdjana-serdjana Islam dan mahaguru-mahaguru Muhammadijah guna kepentingan umat Islam pada umumnja dan Muhammadijah pada chususnya (Soedja’, 1989: 31).
Baca juga, Warga Cianjur Dampingan Muhammadiyah Jateng Siap Bangkit!
Haji Soedja’ menuturkan kisah dalam bukunya itu, betapa sambutan terhadap rencana Bahagian Sekolahan, Bahagian Tabligh, dan Bahagian Taman Pustaka sangat gembira dari para anggota pertemuan yang hadir waktu itu. Namun, ketika dirinya selaku Ketua Bahagian PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) menggagas tentang rencana mendirikan ziekenhuis (rumah sakit), armeinhuis (rumah miskin), dan weeshuis (Rumah Yatim) justru disambut dengan tertawa bernada ejekan. Soedja’ sampai meminta waktu kepada pimpinan sidang, Kiai Dahlan, untuk menjelaskan rencana anehnya itu agar dipahami oleh anggota pertemuan Muhammadiyah. Dalam penjelasan panjang lebar, Soedja’ memberikan argumentasi antara lain sebagai berikut:
Dalam Al-Qur’an dapat kita lihat masih tertjantum Surat Al-Ma’un dengan njata dan lengkap, tidak sehuruf pun jang kurang sekalimatpun berobah arti dan ma’nanja pun tetap sedjak turun diwahjukan oleh Allah sampai kini tetap djuga.
Meskipun kitab sutji Al-Qur’an sudah berabad-abad dan Surat AlMa’un mendjadi batjaan hari-hari dalam sembahjang oleh ummat Islam Indonesia pada umumnja dan di Jogjakarta pada hususnja, namun sampai kini belum ada seorang dari ummat Islam jang mengambil perhatian akan isi intisarinja jang sangat penting itu untuk diamalkan dalam masjarakat.
Banjak orang-orang di luar Islam (bukan orang Islam) jang sudah berbuat menjelenggarakan rumah-rumah Panti Asuhan untuk memelihara mereka si fakir miskin dan kanak-kanak jatim jang terlantar dengan tjara jang sebaik-baiknja, hanja karena terdorong dari rasa kemanusiaan sadja, tidak karena merasa tanggung djawab dalam masjarakat dan tanggung djawab di sisi Allah kelak di hari kemudian.
Kalau mereka dapat berbuat karena berdasarkan kemanusiaan sadja, maka saja heran sekali kalau ummat Islam tidak berbuat. Padahal agama Islam adalah agama untuk manusia bukan untuk chalajak jang lain. Apakah kita bukan manusia? Kalau mereka dapat berbuat, kena apakah kita tidak dapat berbuat? Hum ridjal wa nahnu ridjal… (Soedja’, 1989: 33).
Dinamika pertemuan atau persidangan Muhammadiyah tersebut menunjukkan proses yang cerdas, demokratis, tetapi sebuah ide baru kadang tidak dengan mudah dipahami umat kala itu. Namun, pertemuan Muhammadiyah tersebut tetap memutuskan rencana sebagaimana diagendakan oleh Ketua-Ketua Bahagian Sekolahan, Tabilgh, PKO, dan Taman Pustaka. Yang kemudian menjadi tonggak gerakan sosial Muhammadiyah di kemudian hari. Haji Soedja’ sendiri mengakui kendati dirinya sempat kecewa dengan tanggapan peserta pertemuan yang terkesan menyepelekan gagasan barunya, tetapi persidangan tersebut diakuinya sebagai peristiwa istimewa yang tidak pernah terlupakan dan menjadi tonggak bagi Muhammadiya berikutnya. Dengan dibentuknya bahagian-bahagian, langkah Muhammadiyah semakin terorganisasi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Kiai Dahlan bersama delapan anggota H.B. Muhammadiyah semakin giat melakukan aktivitas terutama dalam menjalin hubungan dengan pemerintah, dengan organisasi.
Editor : M Taufiq Ulinuha
5 Comments