Wajah Antagonis Yang Baik Hati
Oleh Muhamad Fauzi (Aktifis Pemuda Muhammadiyah Kab. Semarang)
SAYA dulu bersekolah di sebuah sekolah Muhammadiyah. Bukan sekolah yang sudah baik, justru sebaliknya, sedang berada dalam kondisi hancur-hancuran, namun sedang berupaya untuk berbenah.
Waktu itu hanya ada seorang guru yang ditakuti para siswa. Ia dikenal sangat tegas, bahkan bisa dikatakan galak. Kondisi yang dihadapi waktu itu memang siswa-siswa yang cukup bandel. Di hadapan guru-guru lain, para siswa tak segan-segan melakukan pelanggaran. Tanpa risih mereka biasa nyelonong pergi membolos, datang terlambat, nongkrong di warung, merokok dan sebagainya. Maklum, kondisi guru, keuangan sekolah dan sebagainya juga sama bermasalah.
Setiap kebandelan siswa akan berhadapan dengan galaknya guru tersebut. Setiap pelanggaran yang dilakukan berakibat mendapatkan hukuman darinya, dalam berbagai bentuk seperti membersihkan kamar mandi, menyapu, push up dan sebagainya. Di hadapannya, para siswa memang takut dan tak berkutik, tapi di belakang, guru tersebut menjadi bahan olok-olok dan cemoohan, sudah menjadi rahasia umum.
Beberapa tahun setelah saya lulus, saya bertemu dengan teman sekolah dahulu. Saya sempat berbincang tentang keadaan sekolah yang kondisinya telah jauh lebih tertib. Teman saya sempat berujar, kalau bukan karena guru yang galak itu, rasanya sekolah tersebut sudah bubar. Saya sendiri juga berpikir demikian.
Tentang galaknya seorang guru, ada seorang guru yang bercerita, banyak yang dahulu diingatnya sebagai siswa paling bandel, sering menerima hukuman darinya, namun di kemudian hari malah lebih memiliki perhatian dengan mantan gurunya tersebut, semacam ada rasa terima kasih. Banyak kisah antara guru dan murid, atau antara orang tua dan anak, tentang sebuah proses pendidikan yang keras, seketika kadang dirasakan pahit memang, namun di kemudian hari ada sisi-sisi positif yang dirasakan, membentuk mereka menjadi kuat.
***
Muhammadiyah, seringkali ia menempati posisi kurang enak di masyarakat. Muhammadiyah sebenarnya sama dengan unsur masyarakat yang lain, ada kelebihan dan kekurangannya. Tapi ada hal yang spesifik yang diperankan Muhammadiyah, peran korektif. Di satu sisi, peran tersebut menjadi sebuah keunggulan bagi Muhammadiyah, tapi di sisi lain ia kadang menjadi beban yang kurang enak dirasa di masyarakat.
Antara yang menyenangkan dan bermanfaat, kadang sulit dikompromikan, apalagi bagi masyarakat awam. Begitu pula, antara apa yang menyenangkan untuk saat ini dan bermanfaat untuk masa depan, seringkali kurang dimengerti. Kadang Muhammadiyah harus tidak menuruti kesenangan masyarakat atau membiarkan mereka, tapi mengarahkan masyarakat untuk hal-hal yang sebenarnya lebih baik dan berkemajuan. Ketika Muhammadiyah berupaya melakukan perubahan tersebut, problem itu bisa muncul.
Dalam masalah rokok atau petasan misalnya, seringkali Muhammadiyah harus berlawanan dengan sesuatu yang telah menyatu dan dinikmati oleh masyarakat. Padahal di antara hal-hal semacam itu ada kemudharatan yang ketidakbaikannya akan kembali lagi kepada masyarakat.
Menempati peran sebagai agen perubahan atau minoritas kreatif, memang berhadapan dengan resiko. Ketika perubahan itu masih berproses, selama itu bisa jadi ada konflik yang muncul. Maka kesabaran dan keberanian senantiasa dibutuhkan, sebagai resiko dari sebuah perjuangan.
Namun karena upaya perubahan yang dilakukan itu semata-mata dilandasi semangat menebar rahmat, untuk kebaikan umat dan masyarakat itu sendiri, alangkah eloknya jika Muhammadiyah mampu memformulasikan dan mengkomunikasikan dengan baik gagasan-gagasan berkemajuannya kepada masyarakat. Agar masyarakat mengerti bahwa Muhammadiyah melakukan itu semua bukan karena jahat kepada masyarakat. Agama kita juga memerintahkan agar dakwah disampaikan dengan hikmah dan mauidzah hasanah.
Begitu pula, Muhammadiyah bukanlah makhluk super yang terbebas dari kekurangan sama sekali. Muhammadiyah juga membutuhkan koreksi sekaligus support dari elemen umat yang lain dalam upayanya memajukan umat. Saling mengkoreksi dalam kerangka saling melengkapi tetap menjadi suatu keniscayaan. (*)