AGAMA DAN TEOLOGI PEMBEBASAN
Oleh IMMawan Nur Kholis majid
Ketua Bidang Kader Pimpinan Cabang IMM Ahmad Dahlan Kota Surakarta
Perlu di ketahui, Iran yang menjadi Negara yang maju ternyata dahulu pernah memiliki sejarah yang kelam. Waktu itu Syah Iran sedang menjalankan kebijakanya yang berupa wertenisasi dan modernisasi yang amat sangat merugikan rakyat kecil dan menguntungkan elite. Hal sedemikian ini mengakibatkan korupsi yang merajalela dan kejahatan kejahatan yang lainya yang tidak bisa di sebutkan. Modernisasi ini tidak hanya menjadikan masyarakat yang miskin semakin miskin, melainkan juga menjadikan perasaan benci di antara mereka kepada Syah. Masyarakat pedesaan yang miskin sebagai korban dari reformasi tanah yang hanya memfasilitasi penetrasi perusahaan perusahaan agrobis Amerika yang semakin dalam dan terpaksa bermigrasi ke daerah daerah urban dan semakin parahlah kemiskinan mereka.
Di daerah urban tersebut, mereka tidak mendapat apapun kecuali kemiskinan, pengangguran, dan juga tingkat korupsi yang melangit. Lengkap sudah penderitaannya. Tidak heran jika mereka antipati dengan mereka. Lantas mereka hanya menyandarkan diri pada Agama, yang juga menjadi kekuatan pisikologi mereka. Ayatullah Khomeini, bertitik tolak dari kondisi yang sedang di alami atas prilaku Syah dan dengan menggunakan retorika agama yang membawa ilham bagi masyarakat Iran dan masayarakat pedesaaan. Hal ini menjadi tawaran yang baik, mengingat kondisi Iran pada saat itu memiliki daya Tarik dan daya dobrak yang luar biasa untuk melakukan sebuah perubahan. Oleh karena itu benarlah pendapat yang mengatakan bahwa semagat atau Teologi pembebasan, revolusi Iran sebagai semngat relijius atau fanatisme agamma yang terinspirasikan oleh Ayatullah Khomaeni.
Harus di jadikan juga sebagai bahan refleksi bagi kita, mengapa keadaan yang buruk seperti Iran, agamalah yang berhasil menjadi problem solver. Kita juga perlu memahami bahwa Agama adalah instrument yang amat sangat penting yang dapat di jadikan sebagai candu juga Ideologi pembebasan. Agama juga bisa menjadi pedang yang ada di tangan mereka. Agama tidak melulu menjadi candu untuk menghindar dari masalah, agama bisa menjadi sumber motivasi untuk menggulingkan mereka.
Mengenai Teologi pembebasan, pertama, dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Kedua, teologi ini tidak menginginkan status quo yang melindungi golongan kaya yang berhadapan dengan golongan miskin. Dengan kata lain, teologi pembebasan itu anti kemapanan (establishment),apakah itu kemapanan relijius maupun politik. Ketiga, teologi pembebasan memainkan peranan dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan kelompok ini dan membekalinya dengan senjata ideologis yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya. Keempat, teologi pembebasan tidak hanya mengakui satu konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri. Sebenarnya, teologi pembebasan ini mendorong pengembangan praksis Islam sebagai hasil tawar menawar anatara kebebasan manusia dan takdir, teologi pembebasan lebih menganggap keduanya sebagai pelengkap, daripada sebagai konsep yang berlawanan.
Pertanyaan penting adalah mengapa kita perlu membicarakan teologi pembebasan? Bukankah yang namanya teologi dengan sendirinya tidak mengimplikasiakn kebebasan? pemahaman sebagian masyarakat bahwa teologi tidak memberi kebebasan kepada manusia bersifat spasio-temporal; padahal dalam pengertian metafisis dan di luar proses sejarah, teologi sangat memberi ruang yang bebas kepada manusia. Oleh karena itu, sama sekali tidak mngejutkan bahwa pembicaraan dalam teologi sebenarnya penuh dengan ketidakjelasan metafisis dan masalah – masalah yang abstrak. Karakteristik teologi yang seperti ini telah memperkuat kemapanan, dan mengakibatkan para teolog menjadi berpihak pada status quo. Bahkan sampai orang beranggapan semakin teologi itu tidak jelas secara metafisis maka cenderung akan semakin memperkuat status quo. Sejauh ini sejarah perkembangan teologi justru menguatkan anggapan tersebut.
Oleh karena itu, jika agama masih ingin mendapat tempat di hati kelompok yang tertindas dan lemah, yang mana pemeluk agama sebagian besar berasal dari kelompok ini, perlu dikembangkan teologi pembebasan. Marx mengatakan agama itu candu bagi masyarakat. Harus dipahami behwa pernyataan ini bukan semata – mata menyalahkan agama, seperti yang disangka banyak orang. Marx menganggap agama sebagai candu dalam pengertian bahwa selain tidak membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat, agama justru digunakan untuk melanggengkan kemapanan. Jika agama ingin dijadikan sebagai alat perubahan, maka harus menjadi senjata yang ampuh bagi kelompok masyarakat yang dieksploitasi. Agama tradisional, jika diformulasikan dalam teologi pembebasan, dapat memainkan peran yang sentral sebagai praksis yang revolusioner, disbanding agama yang hanya berupa upacara – upacara ritual yang tidak bermakna. Agama dalam bentuk yang tradisional hanyalah sebuah ilusi, namun jika ditampilkan daam bentuk yang membebaskan dapat menjadi kekuatan yang mengagumkam.
Benarlah bahwa Engels terpaksa membayar mahal kepada Munzer, seorang pendeka revolusioner yang menyingkir dari Martin Luther yang mendukung raja Jerman dalam memerangi para petani. (*)