Kolom

Kepemimpinan Profetik dalam Perkaderan Muhammadiyah

Persoalan bangsa ini dalam mewujudkan tatanan masyarakat ideal mengalami banyak kendala, di samping arus deras globalisasi yang memaksa masyarakat untuk meningkatkan produktivitas dengan teknologi modern, sehingga terjadi ketidaksiapan dalam memfilter dan memanajemen untuk menggunakan teknologi modern. Dampak lainnya yaitu krisis kepemimpinan nasional. Tidak sedikit pemimpin tergoda dalam “syahwat politik”, memperkaya diri sendiri, membuat kebijakan yang merugikan masyarakat kecil, dan adapula yang mengganggu kerukunanan beragama.

Melihat konflik-konflik yang ada di berbagai daerah saat ini, di manakah pemimpin itu hadir dalam mencari solusi untuk kebaikan bersama, bukan ketika ingin diliput oleh media tulis maupun TV. Alangkah indahnya negeri ini jika seorang pemimpin hadir dengan hati yang bersih untuk membela ‘humanis’ tanpa memandang suatu golongan atau kelompok.

Mengutip falsafah kepala ikan busuk “bila kepala ikan membusuk, pengaruhnya akan menjalar keseluruh tubuhnya”. Menurut K.H. Amir Ma’sum, bahwa pemimpin adalah jiwa dari kelompok yang dipimpinnya, berarti jika jiwa itu hidup, sehat dan baik, maka seperti itulah tubuhnya. Sebaliknya, bila sang jiwa itu mati, sakit dan rusak, tentu sang tubuh akan menderita hal yang sama. Begitulah hubungan antara si pemimpin dan yang dipimpin dalam suatu ‘kelompok kepemimpinan’.

Allah berfirman dalam Q.S. Al Ahzab ayat 72: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. Sejatinya amanah inilah yang memotivasi seseorang untuk membentuk watak kepemimpinan dan menjadikan seorang yang bertanggung jawab atas perilakunya.  Hal ini diperjelas sabda Rasulullah ”Setiap kamu adalah pemimpin dan dimintai tanggung  jawab atas kepemimpinannya”  (HR. Al-Bukhari). Amanat merupakan tugas yang mulia, akan terasa berat jika lalai dan menggunakan amanat itu dengan cara menyimpang. Sabda Rasulullah yang menyatakan “tidak seorang pun yang diamanati Allah memimpin umatnya, kemudian ia mati dalam keadaan masih menipu yang dipimpinnya, melainkan Allah pasti mengharamkan baginya surga” (HR. Bukhari dan Muslim). Bila amanat itu dikhianati oleh seorang pemimpin tidak hanya diganggu gugat soal tanggung jawabnya secara formal dan fungsional, tetapi akhlak kepemimpinannya pun dipertanyakan.

Melihat konsep kepemimpinan dalam psikologi sosial ada tiga perspektif: 1) Perspektif kepribadian, 2)  Perspektif situasional, dan 3) Perspektif proses kelompok. Pertama, perspektif kepribadian yaitu keberhasilan sebuah kelompok untuk mencapai tujuannya tergantung pada karakteristik atau sifat-sifat bawaan pada pemimpin. Kedua, perspektif situasional yaitu keberhasilan seseorang dalam memimpin kelompoknya untuk mencapai sebuah tujuan bukan hanya bergantung pada karakteristik pemimpin, tetapi lebih pada interaksi antara pemimpin dengan kondisi kultur yang dipimpin. Ketiga, perspektif proses kelompok yaitu bukan hanya kepribadian pemimpin dan situasi organisasi atau kelompok, namun proses di dalam kelompok juga mempengaruhi kepemimpinan. Proses kelompok inilah yang biasa kita kenal di Muhammadiyah dengan sebutan perkaderan.

Kepemimpinan dalam perspektif kelompok ini melahirkan gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional. Adanya kharisma yang timbul bukan dari karakteristik atau bawaan, melainkan akibat dari kekuasaan yang dimiliki, sehingga seseorang yang dipimpin diminta untuk patuh dan taat. Perbedaan yang menjadi tolak ukur antara kepemimpinan transformasional dengan transaksional dilihat dari tujuannya. Jika kepemimpinan transformasional kepada yang dipimpin diminta untuk mengembangkan potensi individu dalam rangka tujuan organisasi dan menyampingkan kepentingan pribadi. Sedangkan transaksional dengan adanya suatu penghargaan untuk membuat orang yang dipimpin untuk melakukan perintah, dan bentuk penghargaan itu tidak harus berupa materi melainkan rasa percaya, komitmen, dan rasa hormat. Kedua gaya kepemimpinan tersebut tidak luput dari adanya proses kelompok, sehingga sangat lazim adanya warna kepemimpinan dalam periode di dalam organisasi.

Demikian halnya proses kelompok pada organisasi yang mempunyai aspek religius sebagai identitasnya, dalam pembentukan karakteristik kepemimpinan.  Kemudian lahirlah gaya Kepemimpinan Profetik. Istilah profetik inilah dikenalkan oleh kuntowijoyo, yang mengejawantahkan nilai nilai agama dalam reaksi sosial seperti halnya dilakukan para nabi-nabi, khususnya Rasulullah SAW. Dengan menekan dimensi hati (keimanan), jiwa (pencerahan) dan visi spiritual dalam proses pembentukan sebuah tatanan dan sistem kehidupan yang adil. Ketiga unsur tersebut terpancarkan ke dalam sifat-sifat kepemimpinan Rasulullah SAW. Pertama shidiq (benar). Pemimpin yang konsisten pada kebenaran, baik dalam ucapan, sikap, maupun perilaku. Kedua amanah (terpercaya). Pemimpin yang berlaku jujur, memiliki moral  yang  baik, komitmen pada tugas dan kewajiban. Ketiga fathanah (cerdas/bijaksana).  Pemimpin yang memiliki penalaran yang baik, kearifan, bijak dalam keputusan, kemampuan mengambil berbagai realitas (hikmah) dari fenomena yang dihadapi. Keempat tabligh (menyampaikan). Pemimpin dalam menyampaikan kebijakan secara  terbuka, melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan dan mempunyai sikap  terbuka (transparan).

Menurut Ahmed Yasser Mansur dalam penelitian mengenai studi kepemimpinan profetik menyimpulkan adanya lima karakteristik: 1) Hidup berdasarkan iman (Q.S. Al Maidah: 55), 2) Berorientasi pada ibadah sebagai visi dan misi (Q.S Al Anfal: 65-66), 4) Sifat-sifat dan keteladan Rasulullah (Q.S. Al Ahzab: 21), dan 5) Humanis (Q.S. Ali Imran:159). Sehingga reproduktivitas organisasi dalam proses kelompok akan menghasilkan beberapa gen kepemimpinan, untuk mencapai suatu tujuan. Jika reproduktivitas ini mati atau berhenti, maka gen kepemimpinan ini menjadi punah dan langka. Begitu juga gen kepemimpinan yang ada, tanpa adanya pembelajaran dan tidak berani menangguhkan amanat baru seusai menyelesaikan amanat sebelumnya, maka ia hidup dengan jalan di tempat melihat lingkungan di sekitarnya dirusak.

Muhammadiyah merupakan organisasi dengan banyak estafet kepemimpinan, setiap periodenya mempunyai formulasi kepemimpinan yang berwana. Begitu juga organisasi otonomnya, membuat Muhammadiyah seperti pohon rindang yang subur. Organisasi otonomlah ibarat akar yang menopang tubuh Muhammadiyah, serta AUM ibarat daun-daun rindang. Di sinilah mengapa Muhammadiyah memfokuskan dakwah komunitas, karena setiap elemen masyarakat dengan berbagai perkembangannya dari anak-anak hingga orang tua, sangatlah membutuhan role model. Hal itulah yang harus dilakukan oleh pimpinan dari level mana pun untuk mengembalikan reproduktivitas gen kepemimpinan. Dalam hal ini proses kelompok atau dikenal dengan istilah perkaderan maka Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi yang agresif dalam perkaderan, khususnya bagi kaum pelajar dan mahasiswa.

Perkaderan Muhammadiyah dan ortom-ortomnya harus mampu menghadirkan sosok pemimpin profetik dengan khasanah yang baru. Mengingat tidak ada perbedaan atau tidak mengucilkan seseorang yang tidak patuh karena Rasulullah SAW mengajarkan untuk mendamaikan dan menghindari permusuhan, bicara hati ke hati dengan akal sehat. Dan kunci peran sebagai pemimpin profetik adalah mampu menguatkan dan membangun semangat para anggotanya.

Kepemimpinan profetik tidak menjadikan materi sebagai kebutuhan primer, namun sebaliknya naluri altruristik (pengabdian) menjadi peluru utama pondasi dalam berjuang untuk Muhammadiyah, umat, dan bangsa. Hal ini yang sering diajarkan dalam perkaderan khususnya tingkat pelajar dan mahasiswa atau pemuda-pemudi. Namun bagaiamana kondisi saat ini? Ada apa dengan perkaderan Muhammadiyah? Bahkan ada yang meragukan perkaderan ortom dengan sistem pesantren? Pemimpin bukan sekedar bisa melaporkan pertanggungjawaban secara formal maupun struktural, namun keraguan dengan penuh tanya “bagaimana akhlaqnya?”.

Sebagai penutup, ada kutipan pidato dari bapak perkaderan Muhammadiyah, juga seorang kader Pemuda Muhammadiyah dan pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, beliaulah Djazman Al Kindi “Kita harus hidup seribu zaman lagi, tampuk pimpinan umat ada di kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Bagaimana mungkin kita bisa menjadi penguasa dunia, kalau antar umat bersaudara menganggap yang lain sebagai musuh dan tidak mau memperbaiki citra Islam itu sendiri. Nabi berkata dalam sabdanya: ‘Janganlah kamu saling mendengki, janganlah kamu saling membuat jauhnya pihak lain, janganlah kamu saling berebut dan jadilah kamu sekalian hamba Allah yang saling bersaudara’.” dalam sebuah buku IMMawan Bung Karno.

Penulis: M Akhyar Yus Amrullah | Editor: Tuti Astha3

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE