URGENSI LITERASI DALAM MEMBANGUN PERADABAN
OLEH Fathin Hammam
(Direktur LeNTera – Lembaga Nalar Terapan)
BAGI generasi yang lahir tahun 70 an, istilah literasi adalah suatu hal yang baru dan kurang familiar, tidak heran jika sebagian dari kita ada yang bertanya tanya , “apa itu literasi”? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) literasi di artikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan membaca dan tulis menulis. Dalam kontek kekinian, memiliki definisi dan makna yang sangat luas, literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berfikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar. Secara sederhana , budaya literasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan atau kualitas melek huruf atau aksara yang didalamnya berkaitan dengan membaca dan menulis .
Dalam pencanangan Gerakan Literasi Nasional di Jakarta pada 28 Oktober 2017, Muhajir Effendy, Mendikbud, menyatakan bahwa “Ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang kokoh dalam membangun tradisi literasinya”.
Menurut hemat saya, Pernyataan Mendikbud benar dan sulit terbantahkan, karena dari berbagai sudut pandang juga membuktikan bahwa tingkat kemajuan suatu masyarakat, daerah atau bangsa itu ternyata dapat diukur dari tradisi literasinya, berapa banyak waktu sehari-harinya yang digunakan untuk membaca dan juga menulis, salah satunya di ungkapkan oleh Daniel Lerner, dalam buku “The Passing of Traditional Society” yang menjelaskan bahwa ada empat unsur pemacu modernisasi yaitu ; Pertama, tingkat melek huruf, Kedua, urbanisasi, Ketiga, partisipasi media dan Keempat, partisipasi politik.
Dari keempat unsur diatas, kemampuan membaca suatu masyarakat ternyata menempatkan urutan pertama yang dapat memicu perubahan sosial yang besar. Ini artinya tradisi membaca menjadi sangat penting bila kita mendambakan peradaban yang berkemajuan.
Pernyataan bahwa tradisi literasi , khususnya membaca ada kaitannya dengan kemajuan peradaban diperkuat juga landasan teologis , kita bisa memahami dari wahyu yang pertama di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu ayat 1-5 surat al-alaq, yang bunyi ayat pertamanya adalah “Iqro” yang artinya Bacalah! Ternyata perintah Allah SWT yang pertama adalah membaca, bukan bekerja atau berdo’a. begitu pula jika kita membaca kisah kisah masa lalu, berkaitan dengan pusaka negeri Amarta ternyata berupa kitab bukan keris, tombak atau pedang. Hal ini setidaknya bertanda bahwa membaca dan menulis (literasi) adalah pekerjaan mulia dan utama.
Yang menjadi problem kita adalah, dari berbagai penelitian dan survei menunjukan kemampuan dan kemauan masyarakat Indonesia dalam hal membaca ternyata sangat lemah. Di antaranya kita bisa melihat dari laporan penelitian yang dilakukan oleh Central connecticut State University di New Britain,Conn, Amerika Serikat yang menempatkan Indonesia pada posisi 60 dari 61 negara. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana ,sebuah negara miskin di Afrika. ( The Jakarta Post, 12 maret 2016). Juga bisa kita baca dari sensus BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2006,menunjukan 85,9 % masyarakat memilih menonton televisi, 40,3% mendengar radio dan hanya 23,5% membaca surat kabar (sumber dari selasar.com 29-5-2015)
Ada ungkapan menarik dari Anis Baswedan (Gubernur DKI), dalam sebuah sambutan di sebuah video yang di posting di WAG ForsilMu Bregas belum lama ini, salah satu pointnya menyatakan “bahwa di abad 21 ini , kita harus memiliki 3 modal utama, yaitu akhlaq/karakter dalam dimensi moral dan kinerja , kompetensi dengan unsur 4 K (Kritis,Kreatif,Komunikatif ,Kolaboratif) dan memiliki tradisi literasi (keterbukaan wawasan) , menurut beliau , fenomena yang terjadi di masyarakat kita, sebenarnya punya minat baca yang tinggi tapi daya bacanya rendah, buktinya bisa berjam jam membaca Whatshapp (WA) tapi enggan membaca buku.
Selanjutnya berkaitan dengan bagaimana meningkatkan tradisi literasi, ada beberapa solusi yang bisa kita lakukan agar terbangun tradisi literasi diantaranya dengan melakukan kampanye gerakan pentingnya literasi dalam kehidupan kita, mensosialisasikan pentingnya membaca apa saja yang bermanfaat, apalagi membaca Al-qur’an, sebab membaca al-quran disertai terjemahan dan tafsirnya laksana kita membaca manual book kehidupan sendiri. Apalagi dalam sebuah hadits riwayat imam Tirmidzi, “Siapa yang membaca satu huruf dari Al-qur’an maka baginya satu kebaikan, satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh kebaikan”.
Gerakan gemar membaca menjadi penting karena membaca adalah proses untuk mempertajam ritual bathin dan mengasah nurani. memperkaya wawasan berfikir kritis, menyelami sumur pengetahuan, melatih kepekaan jiwa juga melatih pikiran untuk tidak memandang dunia secara hitam dan putih.
Membaca juga proses menerobos batas wilayah pikiran orang lain , dimana kita bisa menentukan pilihan untuk setuju, tidak setuju atau tidak kedua-duanya. Membaca juga melatih kemampuan membentuk pandangan dan daya nalar secara terus menerus dan pada gilirannya akan membentuk kepribadian.
Nyata sudah, membaca dapat menjadi pilar dan sendi dasar perubahan sosial. Lewat membaca orang akan terhindar dari kepicikan, tidak mudah emosional ,terhindar dari korban hoaks, kegelapan pikiran dan wawasan (seperti kasus puisi sukmawati). Berbeda sekali dengan orang yang malas membaca atau orang yang hidupnya hanya mengandalkan penglihatan, pendengaran atau informasi obrolan. Istilah Tegalnya, “Kulak ndean adol jare, batine embuh” .
Dan akhirnya bila kita menengok sejarah peradaban manusia, ternyata kejayaan umat Islam masa lalu hingga puluhan abad lamanya juga tidak lain dimulai dari tradisi “iqra” atau membaca yang menjadi kebiasaan dan aktivitas rutin dalam keilmuan. Mengutip Nash Hamid Abu Zaid, peradaban Islam adalah peradaban teks. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kemunduran peradaban kita saat ini sangat dimungkinkan karena telah meninggalkan tradisi membaca. Maka mari kita galakan tradisi literasi dari diri sendiri, dari lingkungan terdekat dan mulai dari sekarang.
Tegal, 6 April 2018
Disampaikan Kopdar Literasi ” Ngopi” (Ngobrol Pegiat Literasi) bersama Taman Pustaka Muhammadiyah Kab Tegal.