OBATI ‘’SONTOLOYO’’ DENGAN LITERASI
Oleh Fathin Hammam Dhomiri, Direktur Kajian LeNTera & Pegiat Literasi Muhammadiyah Kab Tegal
DALAM Pengajian Hari Bermuhammadiyah Kab Tegal di Gedung Yaumi Slawi belum lama ini , Hajriyanto Y. Thohari (Mantan wakil ktua MPR & Ketua PP Muhammadiyah) mengungkapkan, bahwa dibanding negara negara maju sampai saat ini bangsa kita -yang mayoritasnya umat Islam -masih banyak yang tertinggal, dan salah satu faktor yang menghambat kemajuan dan menyebabkan kita masih tertinggal adalah karena masih terhinggap virus “sontoloyo”, apa itu sontoloyo? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki tiga arti yaitu, konyol, bodoh dan tidak beres beres. Perilaku sontoloyo dapat di gambarkan dalam bahasa Jawa seperti “noto boto songo tibo limo atau miara pitik songo mati limo”, ini menunjukan karakter orang yang kurang teratur akibatnya sering kalah ,bisa juga tidak bersemangat, kurang ilmu dan strategi yang pada akhirnya berujung pada kegagalan.
Ungkapan sontoloyo, jika di ucapkan memang kurang nyaman di telinga, tapi ini jangan disikapi sebagai ungkapan melemahkan atau merendahkan diri kita sendiri, tapi harus kita sikapi sebagai otokritik, agar kita kembali termotivasi memiliki semangat melakukan perubahan dan perbaikan dalam segala sisi kehidupan. Jika ditelisik dari sejarah, istilah sontoloyo sudah ada sejak jaman Soekarno, dalam bukunya yang berjudul “Islam Sontoloyo” beliau memberi kritik tajam kepada umat Islam yang tidak konsisten dalam menjalankan perintah agama secara benar.
Yang menjadi pertanyaan kita adalah darimana kita harus memberantas dan mengobati “virus sontoloyo” itu?
Menurut hemat penulis, salah satu langkah membangun kemajuan suatu bangsa adalah dengan membangun tradisi literasinya, atau dengan kata lain, tradisi literasi adalah gerbang membangun peradaban, sebagaimana ungkapan dari Muhajir Effendy (Mendikbud) dalam pencanangan Gerakan Literasi Nasional (GLN) di Jakarta pada Oktober 2017 yang menyatakan, bahwa “Ciri-ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang sangat kokoh dalam membangun tradisi literasinya ”
Apa yang dimaksud dengan tradisi literasi ? Budaya literasi seperti disebutkan wikipedia.org diartikan sebagai sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan literasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan membaca dan tulis-menulis . Dalam konteks kekinian, literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar. Maka secara sederhana, budaya literasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan menulis dan membaca masyarakat dalam suatu Negara.
Secara umum, masyarakat modern tidak akan berkembang tanpa memiliki ilmu pengetahuan dan yang terpenting tak sekadar memiliki ilmu pengetahuan, tapi juga proses memilikinya dan memanfaatkannya.
Sebagaimana kita ketahui, proses belajar itu sebagian besar adalah melalui membaca. Ilmu pengetahuan yang berkembang secara cepat itu tidak mungkin lagi dapat dikuasai melalui proses mendengar atau transisi dari seorang guru, misalnya, tetapi harus lewat membaca.
Anda mungkin terkejut membaca sebuah laporan penelitian yang menempatkan Indonesia pada posisi 60 dari 61 negara. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana, sebuah negara miskin di Afrika. Penelitian di bidang literasi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University di New Britain, Conn, Amerika Serikat, menempatkan lima negara pada posisi terbaik yaitu Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia (The Jakarta Post, 12 Maret 2016).
Hasil penelitian di atas menunjukkan betapa lemahnya budaya literasi dalam masyarakat Indonesia. Bangsa kita masih mengandalakan apa yang dilhat dan didengar dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS), seperti ditulis selasar.com 29-5-2015, pada tahun 2006 menunjukkan 85,9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen).
Dari berbagai survei ,kita patut prihatin, karena belum terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman dari membaca. Kita juga belum dapat mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Dengan kata lain membaca dan menulis belum mengakar kuat dalam budaya bangsa kita. Masyarakat kita lebih sering menonton atau mendengar dibandingkan membaca apalagi menulis.
Padahal hampir 80-90 persen pengetahuan berasal dari membaca. Menurut Tilaar (1999), membaca adalah proses memberikan arti kepada dunia. Dengan demikian, masyarakat yang gemar membaca akan melahirkan generasi yang belajar (learning society).
Membaca adalah kaki kita. Makin gemar membaca maka makin kita memperoleh kaki yang kokoh dan kuat. Makin kita membaca makin hidup kita berkaki, demikian kata Sindhunata. Ini kalimat penuh spirit betapa pentingnya membaca agar hidup lebih bermakna.
Bermakna, karena hanya dengan membaca diri kita bisa berubah, pikiran dan perilaku kita juga berubah. Berubah untuk mengenal segala potensi diri kita. Bukankah mengenal potensi diri merupakan modal untuk menebar manfaat kepada sesama agar hidup lebih bermakna.
Dalam tinjauan Islam, tradisi literasi juga sangat ditekankan, buktinya adalah perintah Allah untuk “Iqra”, ayat yang pertama kali diturunkan Allah SWT. Ada rahasia besar dalam perintah pertama Allah ini. Menurut tafsir Quraish Shihab salah satu rahasianya ada pada ayat ketiga, yaitu iqra` warabbukal akram.
Menurut beliau, kata al-Akram yang berbentuk superlatif mengandung pengertian bahwa Allah akan menganugerahkan puncak dari segala hal yang terpuji bagi semua hamba-Nya yang mau membaca.
Pada akhirnya, kita semua memiliki tanggung jawab untuk membangun tradisi literasi bagi kita semua, baik orang tua di keluarga, pemerintah, ormas, parpol, para pendidik sebagai langkah nyata mewujudkan Indonesia yang kemajuan dan berperadaban. (*)