Amanah Bukan Koleksi: Mengkritisi Rangkap Jabatan Muhammadiyah

PWMJATENG.COM, Fenomena rangkap jabatan Muhammadiyah kembali menjadi sorotan. Di berbagai tingkatan organisasi—dari ranting hingga wilayah—tidak jarang satu orang memegang dua hingga empat amanah sekaligus, bahkan lebih. Sebagian menilainya sebagai bentuk dedikasi, namun bagi sebagian lainnya kondisi ini merupakan persoalan serius yang perlu dibenahi.
Amanah dalam organisasi bukanlah gelar yang layak dikoleksi. Ia adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan dengan kesungguhan. KH. Ahmad Dahlan pernah menegaskan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Pesan ini menempatkan jabatan sebagai sarana pengabdian, bukan tujuan pribadi.
Ketika satu orang memegang terlalu banyak jabatan, sering kali bukan kapasitas yang berkembang, tetapi peran yang tidak terbagi. Fenomena ini dapat menjadi indikasi bahwa kaderisasi belum berjalan optimal atau distribusi amanah masih terpusat pada figur tertentu. Padahal, Muhammadiyah mengedepankan prinsip kolektif-kolegial—kerja bersama, bukan kerja segelintir orang.
Rangkap jabatan bukan hal yang sepenuhnya keliru. Dalam situasi tertentu, terutama ketika SDM terbatas, hal ini bisa menjadi solusi agar roda organisasi tetap bergerak. Namun komitmen tersebut harus dibuktikan melalui kinerja nyata.
baca juga:
Sebagaimana pesan dalam tradisi keilmuan Islam: “Jika engkau tidak mampu memikul beban, jangan memaksakan diri mengangkatnya.” Kapasitas harus seimbang dengan amanah yang diemban.
Jika program tidak berjalan, koordinasi melemah, atau kegiatan hanya sekadar menggugurkan kewajiban, maka rangkap jabatan sudah tidak lagi efektif. Pada titik itu, evaluasi diri menjadi langkah paling bijaksana. Memilih satu amanah yang dapat ditunaikan dengan baik adalah bentuk kedewasaan, bukan kelemahan.
Prof. Haedar Nashir mengingatkan bahwa pemimpin Muhammadiyah harus hadir, menggerakkan, dan memberi teladan. Bukan sekadar menduduki posisi. Distribusi amanah yang sehat akan memperkuat kaderisasi serta mencegah ketergantungan organisasi pada figur tertentu.
Banyak kader muda sebenarnya mampu, hanya saja kesempatan tampil masih terbatas. Padahal, “setiap generasi memiliki peluang menjadi pemimpin,” sebagaimana diingatkan dalam QS. Al-An’am: 165.
Kritik ini tidak dimaksudkan untuk melemahkan siapa pun, melainkan sebagai ikhtiar memperkuat Persyarikatan. Muhammadiyah berdiri di atas prinsip keikhlasan, ketertiban, dan kerja kolektif. Karena itu, amanah harus dijalankan secara proporsional, bukan dipertahankan sebagai simbol atau identitas.
Amanah adalah ladang amal. Ladang itu hanya berbuah kebaikan jika diolah dengan fokus, kesungguhan, dan kecakapan, bukan dengan menumpuk peran di luar batas kemampuan.
Oleh:
Irfan Sholahuddin Gozali, S.E., M.E.
Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Sumber, Kabupaten Cirebon.
Editor: Al-Afasy



