Batasan Melucu dalam Dakwah

Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag
PWMJATENG.COM, Tidak bisa dipungkiri, salah satu daya tarik ustadz kondang terutama di medsos adalah kepiawaian mereka dalam membuat humor segar dan lelucon menggelitik dalam ceramahnya. Jika ada ustadz tidak pandai atau jarang melucu tapi jamaahnya membludak, mungkin karena punya daya tarik lain seperti karena kedalaman dan keluasan ilmu agamanya serta kharismanya yang tinggi.
Namun cukup disayangkan, sebagian dai terjenak over melucu dan bercanda dalam berdakwah sehingga terkesan yang penting lucu dan berhasil membuat jamaah terpingkal-pingkal, sementara pesan inti dakwah nyaris terlupakan. Ketika pengajian usai, hanya banyolan dan candaan yang terekam dengan baik di ingatan jamaah.
Humor, melucu, bercanda hanyalah bumbu dakwah atau ceramah. Jika kebanyakan tentu kurang bagus dan bisa mengaburkan misi dakwah itu sendiri. Maka dari itu dibutuhkan rabu-rambu serta batasan-batasan sampai di mana melucu dan bercanda masih dianggap wajar.
Dakwah adalah seni menyampaikan kebenaran dengan hikmah. Dalam era digital dan masyarakat yang semakin plural, pendekatan dakwah yang komunikatif dan menyenangkan menjadi kebutuhan. Salah satu strategi yang kian populer adalah penggunaan humor, tentunya humor yang tepat dan tidak over.
Fungsi Humor dalam Dakwah
Humor yang tepat dan proporsional dapat mencairkan suasana dan membangun kedekatan psikologis antara dai dan mad’u. Ia juga membantu penyampaian pesan yang kompleks secara ringan dan mudah diingat. Selain itu juga dapat menurunkan resistensi terhadap pesan moral atau hukum yang berat.
Penelitian yang dilkaukan oleh Hisny Fajrussalam dkk. menyimpulkan bahwa:
• Humor adalah bagian yang paling ditunggu oleh audiens dakwah.
• Humor efektif sebagai media dakwah selama tidak melanggar norma dan etika.
• Dai yang mampu melucu dengan santun lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Rambu-rambu Melucu yang Perlu Diperhatikan
Berikut adalah beberapa batasan penting yang harus diperhatikan oleh para dai saat berdakwah:
1. Tidak Mengandung Kebohongan
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ، وَيْلٌ لَهُ، ثُمَّ وَيْلٌ لَهُ
Rasulullah ﷺ bersabda: “Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta agar orang-orang tertawa. Celakalah baginya, celakalah baginya.” (HR. Abu Dawud)
Melucu dengan kebohongan, meski dianggap “sekadar hiburan”, tetap tidak dibenarkan dalam konteks dakwah yang bertujuan menyampaikan kebenaran.
2. Tidak Mengolok-olok Agama, Suku, atau Kelompok
Humor yang bersifat stereotip, merendahkan, atau mengejek identitas tertentu dapat menimbulkan luka sosial dan kontra-produktif dalam dakwah. Islam melarang suku saling mencela (QS. Al-Hujurat: 11).
Bercanda (mungkin maksudnya bercanda) dengan menyebut merk rokok tertentu sebagai simbol Allah atau tauhid ditambah kata Sampoerna berarti sempurna jelas tidak tepat dan wajar memancing kecaman banyak pihak.
3. Tidak Vulgar atau Mengandung Unsur Seksual
Melucu dengan konten vulgar, meski dianggap “dewasa”, tidak sesuai dengan adab dakwah. Dakwah harus menjaga kesucian lisan dan kehormatan audiens. Berbeda jika hanya menyerempet tipis-tipis dalam batas tertentu masih bisa dimaklumi.
4. Tidak berkata kasar (misuh), kotor dan jorok. Sebagian dai dikenal suka menggunakan kata-kata ‘pisuhan’, makian, dan jorok dalam ceramahnya. Bisa jadi sebagian akan tertawa, namun Sebagian lagi bisa merasa risih dan tidak nyaman. Alangkah bijak kalau kata-kata kasar dan kotor dijauhi dalam ceramah.
5. Tidak Mengganggu Kesakralan Materi Dakwah
Jika humor terlalu dominan hingga mengaburkan pesan utama, maka ia menjadi distraksi. Humor harus menjadi pelengkap, bukan pengganti substansi. Mengajak mengerjakan sesuatu dengan nada banyolan dan candaan biasanya juga ditanggapi tidak serius oleh jamaahnya.
6. Sesuai dengan Tingkat Pemahaman Audiens
Melucu di hadapan anak-anak, remaja, atau masyarakat awam harus disesuaikan dengan tingkat literasi dan sensitivitas mereka. Humor yang terlalu intelektual atau terlalu sarkastik bisa gagal dipahami atau menimbulkan salah tafsir. Humor ‘saru’ aalagi vulgar juga kurang disukai ibu-ibu atau kalangan wanita, walau bisa jadi disukai kaum pria.
Perspektif Ulama dan Praktisi Dakwah
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan pentingnya menjaga keseriusan dalam menyampaikan ilmu, meski sesekali boleh diselingi dengan candaan yang tidak melampaui batas. Sementara itu, dai kontemporer seperti KH. Zainuddin MZ dan Ustaz Abdul Somad menunjukkan bahwa humor yang cerdas dan kontekstual dapat memperkuat daya tarik dakwah tanpa mengorbankan kesakralannya.
Penutup: Melucu dengan Hikmah
Melucu dalam dakwah adalah seni yang membutuhkan kepekaan, ilmu, dan niat yang lurus. Ia bukan sekadar teknik retorika, tetapi bagian dari strategi menyentuh hati. Dai yang bijak akan menjadikan humor sebagai jembatan menuju hidayah, bukan sebagai panggung ego atau hiburan kosong.
Sebagaimana firman Allah: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…” (QS. An-Nahl: 125)
Editor: Al-Afasy



