Berita

Berbicara Campur Bahasa: Tren Modern atau Erosi Nasionalisme?

Oleh Dinda Soca Srinara Holik, Mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi (FSBK) Universitas Ahmad Dahlan

PWMJATENG.COM, Belakangan ini, penggunaan bahasa campur, yakni antara bahasa Indonesia dan bahasa asing seperti Inggris, semakin banyak digunakan oleh konten kreator di media sosial. Tidak jarang, kita acapkali mendengar percakapan, seperti; “I mau bikin pancake;” atau; “ Seriously, aku pulang nih?” di berbagai situasi. Fenomena ini sering ditemukan pada konten kreator, seperti Nessie Judge, Deddy Corbuzier, Jerome Polin, Keanu Agl, dan beberapa konten kecantikan, seperti Tasya Farasya. Namun, tanpa kita sadari, kebiasaan mencampur-campurkan bahasa dapat perlahan-lahan mengikis rasa cinta kita terhadap bahasa Indonesia. Bahasa bukan cuma soal kata dan kalimat, tetapi juga tentang identitas, kebanggaan, dan jati diri bangsa. Lewat bahasa, kita menunjukkan siapa kita dan dari mana kita berasal.

Modern Boleh, Tapi Jangan Tinggalkan Bahasa Indonesia

Dahulu, pada ikrar Sumpah Pemuda, para pahlawan kita dengan bangganya menyebut; “ Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Pada masa itu, bahasa menjadi alat pemersatu bangsa yang masih terpecah-pecah. Dahulu, para pahlawan berjuang mati-matian untuk mempunyai bahasa persatuan. Namun, generasi penerusnya kini justru dengan begitu sengaja mencampur-campurkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing yang dianggap lebih kekinian. Nasionalisme bukan cuma soal bendera atau lagu kebangsaan, tapi juga soal bagaimana individu menghargai identitas bangsa, termasuk bahasa (Emiliya Febriyani, S.H., M.H.,2025).

Ketika seseorang lebih sering menggunakan bahasa asing daripada bahasa nasionalnya, ada kemungkinan rasa bangganya terhadap bahasa sendiri ikut menurun. Padahal, bahasa Indonesia adalah simbol pemersatu bangsa yang telah menyatukan beragam suku dan budaya. Jika generasi muda, seperti Gen-Z dan Gen Alpha, tidak lagi menjunjung tinggi bahasanya sendiri, bagaimana nanti mereka bisa menumbuhkan semangat nasionalisme yang kuat pada dirinya sendiri?

Gen-Z dan Gen Alpha lebih sering menonton film dan mendengarkan lagu luar negeri sehingga mereka akan terbawa dengan kosakatanya. Masalahnya, kebiasaan ini jika diteruskan atau dibiarkan tanpa sadar, bisa saja mereka kehilangan kemampuan bahasa Indonesia dengan baik. Sekarang saja, anak muda, saat ini lebih sering menulis takarir (caption) dengan bahasa Inggris dari pada bahasa mereka sendiri. Apabila hal ini menjadi sebuah tren yang dilakukan secara terus-menerus, maka tidak heran jika suatu saat bahasa Indonesia hanya digunakan saat acara resmi saja.

Secara teoretis, percampuran bahasa ini dapat disikapi melalui sudut pandang sosiolinguistik. Prof. Dr. Multamia R.M.T. Lauder, Guru Besar Linguistik UI, sering mengingatkan bahwa penggunaan code-switching (alih kode) atau code-mixing (campur kode) yang berlebihan di kalangan generasi muda menunjukkan kurangnya kedalaman penguasaan kosakata di kedua bahasa.

Sebenarnya, tidak ada salahnya belajar dan menggunakan bahasa asing, karena hal itu penting di era serba-modern dan globalisasi. Namun, yang perlu dikhawatirkan adalah ketika penggunaan bahasa asing berlebihan dan membuat bahasa Indonesia seolah tidak keren. Misalnya dalam pergaulan, banyak orang merasa lebih “gaul” jika berbicara dengan campuran bahasa Inggris. Akibatnya, bahasa Indonesia perlahan-lahan dianggap ketinggalan zaman atau terlalu formal. Dari yang bisa kita lihat anak-anak dari negara lain juga belajar bahasa asing, tapi mereka tetap bangga menggunakan bahasa mereka sendiri. Sementara kita?

Mengutamakan Berbahasa Indonesia di Tengah Arus Globalisasi

Untuk menjaga nasionalisme dalam diri kita, kita perlu menyeimbangkan antara penggunaan terhadap bahasa asing dan bahasa Indonesia agar kebanggaan terhadap bahasa sendiri tidak pudar secara perlahan-lahan. Kita bisa tetap “gaul” tanpa harus meninggalkan bahasa asli, bahasa ibu kita. Bukankah lebih keren, jika bisa menggunakan 2 bahasa dengan baik daripada mencampur adukkan bahasa tetapi keduanya tidak dikuasai? Dalam keseharian, tidak ada salahnya membiasakan diri berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan santai. Dengan begitu, kita bisa tetap modern tanpa kehilangan identitas kebangsaan.

Ivan Lanin, seorang aktivis bahasa Indonesia, sering mendukung konsep mengutamakan bahasa Indonesia dan melestarikan bahasa daerah. Pendekatan ini menawarkan solusi yang idealis sekaligus realistis. Kita didorong untuk menguasai bahasa asing sebagai alat globalisasi, tetapi kita harus menempatkan bahasa Indonesia sebagai payung utama identitas dan komunikasi nasional.

Bahasa adalah cermin jiwa bangsa. Kalau cermin itu mulai buram karena terlalu sibuk meniru gaya bahasa asing, maka pantulan wajah bangsa pun lama-lama akan hilang. Bahasa Indonesia juga menjadi warisan berharga yang perlu dijaga bersama. Jika kita tidak bangga menggunakannya, siapa lagi coba yang akan melestarikannya? Jadi, daripada terlalu sering berkata, “ Sorry” atau “ I,” mungkin sudah saatnya kita kembali mengatakan, “maaf” dan “aku.” Sama-sama terdengar enak, kan? Sederhana, tapi itulah bentuk kecil dari cinta tanah air.

Editor: Al-Afasy

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE