Fenomena Fotoyu: Antara Kebutuhan Konten dan Hak Privasi Masyarakat

PWMJATENG.COM, SURAKARTA – Fenomena jasa fotografi digital seperti Fotoyu tengah ramai diperbincangkan publik. Layanan ini dinilai praktis karena memudahkan masyarakat mendapatkan dokumentasi kegiatan olahraga atau aktivitas luar ruang, namun di sisi lain menuai kontroversi karena dianggap melanggar hak privasi individu.
Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika (FKI) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sidiq Setyawan, S.I.Kom., M.I.Kom., yang juga penggiat seni fotografi, menilai tren Fotoyu merupakan konsekuensi dari perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat terhadap ekspresi diri di dunia digital.

“Fenomena Fotoyu itu bukan hal baru. Munculnya karena hukum pasar — ketika ada permintaan, pasti akan muncul penawaran. Teknologi menjawab permintaan itu,” ujarnya, Senin (10/11).
Sidiq menjelaskan, fotografi bukan sekadar aktivitas memotret, tetapi juga seni, teknik, dan etika sosial. Dalam konteks jurnalistik, fotografer diizinkan mengambil gambar demi kepentingan publik (public interest), misalnya dokumentasi peristiwa penting. Namun, hal tersebut tidak berarti setiap orang di ruang publik bebas difoto tanpa izin.
“Ibaratnya seperti KPK menangkap koruptor, tidak mungkin fotografer harus izin ke koruptor terlebih dahulu. Tapi kalau orang biasa di ruang publik, hak privasinya tetap harus dihormati,” jelasnya.
Ia menegaskan pentingnya dokumen persetujuan (consent form) yang menjelaskan tujuan dan penggunaan foto. “Privasi itu hak dasar. Kalau seseorang tidak ingin difoto, ya jangan difoto,” tambahnya.
Sidiq juga menyoroti perlunya regulasi yang tegas bagi platform marketplace fotografi. Menurutnya, platform memiliki tanggung jawab besar mengatur hubungan antara fotografer dan pengguna, termasuk perlindungan data visual.
“Platform seperti Fotoyu ibarat marketplace. Kalau fotografer disebut mitra, maka perjanjian dan batasan harus jelas. Jangan sampai foto yang tidak terpakai dijual atau dipakai AI tanpa izin,” ungkapnya.
Ia menambahkan, kesadaran masyarakat terhadap privasi kini meningkat. Banyak individu mulai menolak difoto bahkan memasang tanda “Do Not Take My Photo” sebagai bentuk perlindungan diri. “Masyarakat sudah jenuh dengan eksposur berlebihan. Orang mau olahraga saja sekarang merasa risih,” ujarnya.
Sebagai solusi, Sidiq menyarankan tiga langkah penting:
- Regulasi pemerintah yang mengatur syarat dan ketentuan platform serta batasan fotografer.
- Refleksi etika oleh fotografer, agar tidak hanya berorientasi ekonomi.
- Kolaborasi lintas pihak antara fotografer, pengguna, dan regulator untuk mencegah konflik di lapangan.
“Foto itu tidak hanya medium, tapi juga kisah personal seseorang. Jadi hargailah mereka yang ingin atau tidak ingin difoto. Jangan hanya melihat dari sisi ekonomi, tapi juga nilai kemanusiaan,” pesannya.
Sidiq berharap ke depan tidak terjadi gesekan antara fotografer dan masyarakat, sehingga semua pihak dapat menikmati aktivitas di ruang publik dengan nyaman dan saling menghormati.
Kontributor: (Zaatuddin/Humas)
Editor: Al-Afasy



