Refleksi Milad Muhammadiyah Abad Kedua Merawat Para Kader dari Krisis Kepemimpinan Muhammadiyah

Oleh M. Miftahul Fauzan – Kader Alumni PUTM 2024
Penulis: Refma – Penulis, Tutor Bahasa Inggris, dan Pemilik Kursus Raya Lish
PWMJATENG.COM, Brebes, 22 November 2024 — Dalam rangka memperingati Milad Muhammadiyah ke-112, pengajian gabungan ranting Muhammadiyah di Pesantunan menghadirkan refleksi menarik dari M. Miftahul Fauzan, kader muda sekaligus alumni Pondok Pesantren Muhammadiyah Ahmad Dahlan (PUTM) Tegal.
Dengan gaya komunikasi yang empatik dan kritis, Fauzan mengajak jamaah untuk merenungi tema “Merawat Para Kader dari Krisis Kepemimpinan Muhammadiyah di Abad Kedua.”
Berawal dari pesan sederhana di grup alumni PUTM, “Bermuhammadiyahlah sak kuatmu, tapi ojo sak karepmu”, Fauzan menggarisbawahi pentingnya menjaga semangat ber-Muhammadiyah secara ikhlas dan beradab — bukan semaunya sendiri. Ia menilai, pesan ini relevan sebagai peringatan bagi kader dan pimpinan di berbagai level organisasi untuk menjaga nilai dasar perjuangan dan menghindari krisis kepemimpinan yang muncul karena ego personal.
1. Penyakit Keakuan dalam Kepemimpinan AUM Muhammadiyah
Fauzan mengingatkan bahwa keberhasilan Muhammadiyah mendirikan ribuan lembaga pendidikan dan kesehatan harus diiringi dengan pengelolaan yang rendah hati.
“Sifat keakuan dalam AUM adalah awal dari krisis kaderisasi. Ketika seseorang merasa memiliki AUM secara pribadi, di situ semangat jamaah mulai mati,” ujarnya.
Menurutnya, tiga langkah penting perlu dihidupkan:
- Memperkuat pengkaderan, agar regenerasi kepemimpinan berjalan alami.
- Menanamkan ideologi Muhammadiyah kepada pengurus AUM, supaya memahami bahwa AUM adalah amanah jamaah, bukan milik individu.
- Membangun sistem manajemen yang transparan dan profesional, sehingga setiap AUM dapat bertahan melampaui masa jabatan seseorang.
2. Rasa Ingin Dianggap Paling Berjuang di Muhammadiyah
Mengutip hadis Nabi (HR. Muslim) tentang orang yang berjuang demi pujian, Fauzan menyoroti bahaya riya’ dalam amal jamaah.
“Sering kali kita merasa paling berjuang di Muhammadiyah. Padahal niat yang tidak lurus justru menodai perjuangan itu sendiri,” tegasnya.
Ia mengingatkan, perjuangan di Muhammadiyah bukan untuk mencari pengakuan manusia, melainkan sebagai jalan menuju ridha Allah dan kebersamaan dalam amal saleh.
3. Menghidupkan Majelis Ilmu: Menjaga Ruh Ideologi dan Filsafat Hikmah
Menurut Fauzan, majelis ilmu adalah jantung pergerakan Muhammadiyah.
“Jika pengurus atau warga mulai alergi terhadap pengajian, di situlah ruh ideologi mulai melemah,” katanya.
Ia menekankan perlunya menghidupkan kembali pengajian di setiap ranting dan cabang. Majelis ilmu menjadi sarana penguatan ideologi dan ruang dialog antara generasi lama dan baru.
Fauzan juga menyarankan agar pengurus lama berperan sebagai penasihat, sementara kader muda menjadi eksekutor program, demi kelancaran estafet gerakan.
4. Meremehkan Kaderisasi: Seakan Muhammadiyah Akan Dipimpin Selamanya
Fauzan menilai, salah satu tantangan besar abad kedua Muhammadiyah adalah minimnya kesadaran terhadap regenerasi.
“Kita sering membangun masjid dan sekolah, tapi lupa menyiapkan manusia yang akan mengelolanya,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa kaderisasi bukan sekadar mencari SDM, tetapi menciptakan kader melalui pembiasaan lapangan, seperti menjadi imam, khatib, guru TPA, hingga relawan sosial.
Kaderisasi, menurutnya, adalah jantung kepemimpinan yang berkelanjutan dalam Muhammadiyah.
5. Matinya Rasa Gotong Royong dalam Bermuhammadiyah
Fauzan juga mengkritik pudarnya semangat kebersamaan di sebagian lingkungan Muhammadiyah.
“Jangan pernah merasa memiliki sesuatu di Muhammadiyah. Apa yang kita punya, harus kita berikan untuk Muhammadiyah,” pesannya.
Ia menilai, ketika gotong royong mati, kaderisasi pun berhenti, dan AUM menjadi lemah bahkan rawan dikuasai pihak luar. Oleh karena itu, penguatan ideologi dan komitmen kolektif mutlak diperlukan agar semangat dakwah tetap hidup.
Sebagai penutup, Fauzan mengajak seluruh warga dan kader Muhammadiyah untuk menjadikan abad kedua sebagai momentum pemulihan ideologi, perbaikan niat, dan kebangkitan kaderisasi.
“Muhammadiyah bukan milik individu atau keluarga. Ini adalah amanah jamaah yang harus dijaga, dirawat, dan dilanjutkan bersama,” ujarnya.
Refleksi ini menegaskan bahwa keberlangsungan Muhammadiyah sangat bergantung pada seberapa serius kadernya menjaga ruh kolektif, membangun solidaritas, dan menjauh dari sifat keakuan.
Bermuhammadiyah sejati adalah berjuang dengan niat ikhlas, penuh kebersamaan, dan berorientasi pada keberkahan umat.
Editor: Al-Afasy



