Guru dan Peradaban Pendidikan Indonesia: Refleksi Pandangan Muhammadiyah

Oleh: Taufiq Nugroho Nur, M.Pd
PWMJATENG.COM, Guru merupakan sosok sentral dalam pembangunan bangsa. Dalam bahasa Sanskerta, kata guru berasal dari gu yang berarti “kegelapan” dan ru yang berarti “terang”. Secara filosofis, guru diartikan sebagai pembawa cahaya pengetahuan yang mengusir kegelapan kebodohan.
Dalam Islam, kedudukan guru begitu mulia. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud)
Pendidikan, dalam pandangan Islam maupun filsafat modern, tidak sekadar mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter, moral, dan spiritual peserta didik. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin memandang guru sebagai al-mu’allim, al-mudarris, sekaligus al-walid — pengajar, pendidik, dan orang tua spiritual. Maka, guru sejatinya bukan hanya pengajar, melainkan pembimbing ruhani bagi muridnya.
Sejak berdirinya pada 1912, Muhammadiyah menempatkan pendidikan sebagai pilar utama dakwah dan peradaban. Melalui gagasan Islam Berkemajuan, Muhammadiyah membangun sistem pendidikan modern yang mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum.
Tokoh-tokoh besar bangsa seperti Jenderal Soedirman (guru Muhammadiyah), Soeharto (alumni MULO Muhammadiyah), dan Ir. Soekarno (konsul pendidikan Muhammadiyah di Bengkulu) menjadi bukti nyata kontribusi besar gerakan ini dalam membangun karakter bangsa.
Kini, Muhammadiyah memiliki 172 Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah (PTMA), lebih dari 5.000 sekolah dan madrasah, serta puluhan ribu lembaga PAUD dan pesantren. Ekosistem pendidikan yang luas ini merupakan pengejawantahan konsep education for liberation dari Paulo Freire — pendidikan yang memerdekakan manusia dari kebodohan dan ketertindasan.
Bagi Muhammadiyah, pendidikan adalah jalan dakwah yang mencerahkan (tajdid al-ta’lim), bukan sekadar instrumen sosial.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menegaskan bahwa pendidikan harus berlandaskan pengalaman, pengamatan, dan kesesuaian dengan kemampuan peserta didik. Pandangan ini menempatkan guru sebagai tokoh kunci yang memahami psikologi belajar dan membentuk pola pikir kritis.
Guru bukan sekadar pelaksana kurikulum, melainkan agen perubahan sosial — agent of civilization.
Melalui Majelis Dikdasmen dan Dikti-Litbang, Muhammadiyah terus memperkuat kualitas guru melalui pelatihan, sertifikasi, dan pengembangan empat kompetensi inti: pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian.
Upaya ini sejalan dengan firman Allah Swt.:
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu.” (QS. Al-Mujādilah: 11)
Fenomena yang mencemaskan kini muncul di dunia pendidikan: memudarnya nilai ta’dzim terhadap guru. Kasus persekusi, kekerasan verbal, hingga tuntutan hukum terhadap guru menunjukkan menurunnya kesadaran moral dalam hubungan antara guru, murid, dan wali murid.
Padahal, pendidikan sejati menuntut kerja sama tripusat pendidikan: sekolah, keluarga, dan masyarakat. Hubungan antara guru, siswa, dan wali murid harus bersifat mutual relation — saling menghormati dan mendukung.
Guru bukan subordinat dari wali murid, sebagaimana murid bukan sekadar objek. Komunikasi egaliter, keterbukaan, dan keadaban menjadi fondasi pendidikan yang memanusiakan manusia (humanizing education), sebagaimana ditekankan Paulo Freire.
Guru di Indonesia masih menghadapi tekanan sosial, moral, bahkan hukum. Tuntutan profesionalisme yang tinggi tidak diimbangi dengan perlindungan hukum dan kesejahteraan yang memadai.
Muhammadiyah sebagai organisasi yang peduli pada nasib guru telah mendirikan ratusan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk memberikan perlindungan bagi para pendidik yang mengalami ketidakadilan.
Kesejahteraan guru menjadi faktor penentu kualitas pendidikan. Guru yang bahagia akan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan (joyful learning), sebagaimana dikemukakan Jerome Bruner.
Kesejahteraan yang layak akan mendorong guru untuk terus meningkatkan kapasitas intelektual dan spiritualnya.
Muhammadiyah menekankan pentingnya guru berkemajuan — sosok yang terbuka terhadap perubahan, berilmu luas, dan berjiwa ikhlas. Guru ideal adalah mereka yang good looking dalam penampilan, good knowledge dalam wawasan, dan keep humble dalam sikap.
Ia tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan keteladanan.
Ki Hajar Dewantara pernah menegaskan konsep pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai Muhammadiyah:
“Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.”
Guru sejatinya adalah khalifah di bumi yang menuntun anak manusia agar menjadi insan berilmu, beriman, dan berakhlak mulia.
Pada dekade 1970-an, Indonesia pernah menjadi rujukan pendidikan bagi Malaysia. Kini keadaan berbalik. Namun, dengan spirit Islam Berkemajuan dan sistem pendidikan Muhammadiyah yang luas, bangsa ini memiliki potensi besar untuk kembali memimpin peradaban pendidikan di Asia Tenggara.
Guru adalah pilar utama peradaban. Mereka bukan hanya tenaga pengajar, tetapi pembentuk karakter bangsa, penerus tugas kenabian, dan cahaya di tengah kegelapan zaman.
Maka, guru harus dimuliakan, dilindungi, dan disejahterakan, sebab dari ruang kelaslah peradaban besar itu dibangun.
Selamat Hari Guru Nasional!
Semoga guru Indonesia semakin sejahtera dan bahagia di mana pun mereka berada — dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Sangihe hingga Pulau Rote.
“Guru Hebat, Negara Kuat.”
Tentang Penulis:
Taufiq Nugroho N., M.Pd.
Peserta Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah, PDM Jepara.
Instruktur MPKSDI PDM Jepara dan Pati Raya.
Mantan Ketua IMM Al-Faruqi UIN Walisongo Semarang.
Ketua Umum PRM Dorang, Jepara.
Alumni S2 Pendidikan Bahasa Inggris, UPGRIS Semarang.
Editor: Al-Afasy



