Kolom

Menghidupkan Kembali Denyut Dakwah Ranting yang Sedang Mengering

Menghidupkan Kembali Denyut Dakwah Ranting yang Sedang Mengering

Oleh: Mohammad Noor Ridhollah (Peserta Sekolah Tabligh PWM Jateng dari Kudus)

PWMJATENG.COM – Di banyak ranting Muhammadiyah hari ini, denyut dakwah memang masih terasa. Pengajian rutin digelar, kursi tertata rapi, pengeras suara menyala, dan wajah-wajah familiar memenuhi majelis. Namun, seringkali, setelah acara usai, kehidupan seakan kembali ke titik nol. Tak ada riak perubahan yang benar-benar menyentuh rumah-rumah warga. Dakwah, sayangnya, seringkali hanya hadir sebagai sebuah “acara”, bukan sebagai “gerakan” yang menghidupkan.

Inilah potret sebagian ranting kita: sangat rajin berkegiatan, namun kurang pembaruan. Semangatnya terjebak dalam lingkaran rutinitas seremonial. Semua berjalan tertib, teratur, dan santun—tapi tanpa arah yang jelas. Pengajian terus bergulir, peringatan hari besar Islam tak pernah absen, namun substansi dakwahnya terasa hambar, tak lagi relevan dengan kegelisahan masyarakat yang terus berubah.

Di luar masjid, anak-anak muda tersesat dalam pusaran dunia digital; para ibu berjibaku mencari nafkah tambahan; para bapak terhimpit tekanan hidup. Sementara itu, dakwah di tingkat ranting masih sibuk memutar tema-tema lama yang tak lagi menyentuh akar persoalan.

Terjebak Dalam Rutinitas Seremonial

Kekeringan dakwah ranting ini bukan karena absennya niat baik, melainkan karena hilangnya relevansi. Dakwah terlalu sering berbicara dengan bahasa masa lalu, padahal masyarakat kita hidup di masa kini yang penuh tantangan baru.

Ceramah masih fokus pada pentingnya salat dan puasa—yang tentu saja benar—tapi jarang menyentuh bagaimana menjaga integritas di tengah himpitan ekonomi, bagaimana mendidik anak di era TikTok yang serba cepat, atau bagaimana menjaga keharmonisan rumah tangga dari krisis komunikasi digital. Akibatnya, dakwah terasa seperti oase di padang pasir: indah dipandang dari jauh, namun sulit dirasakan manfaatnya secara langsung.

Muhammadiyah didirikan bukan sekadar untuk meramaikan pengajian, melainkan untuk menghidupkan ajaran Islam dalam denyut nadi kehidupan nyata. Ranting seharusnya menjadi simpul paling vital dari cita-cita luhur ini—tempat Islam hadir bukan hanya di mimbar, tapi juga di sawah, di warung, di sekolah, dan di setiap sudut rumah warga. Namun kini, banyak ranting kehilangan daya geraknya. Ia memang masih hidup secara administratif, tapi seakan mati secara sosial.

Baca juga, Aplikasi Al-Qur’an Muhammadiyah (Qur’anMu)

Padahal, masyarakat tidak menolak dakwah. Mereka hanya mendambakan dakwah yang lebih menyentuh, lebih konkret, dan lebih manusiawi. Mereka menginginkan agama yang memberi arah, bukan sekadar nasihat. Mereka ingin disentuh dengan kepedulian, bukan hanya dengan jadwal acara. Di sinilah ranting mestinya kembali menemukan jati dirinya: sebagai ruang perjumpaan antara nilai-nilai Islam yang luhur dan realitas kehidupan sehari-hari.

Ranting yang Tidak Menjawab Tantangan Zaman

Dakwah seharusnya menjelma dalam bentuk yang hidup—dalam usaha yang menolong warga dari jeratan rentenir, dalam gerakan remaja yang belajar sambil berbuat, dalam taman Al-Qur’an yang juga menjadi ruang bermain dan pembentuk karakter. Dakwah yang tidak berhenti di kata-kata indah, tapi berjalan di kaki-kaki kader yang tak lelah turun ke lapangan.

Selama dakwah masih terpaku di panggung, ia akan terus kering. Namun, ketika ia turun ke bumi, menjelma menjadi tindakan nyata dan teladan, maka ranting akan kembali bersinar. Dari sanalah masyarakat akan merasakan bahwa Islam benar-benar hidup—bukan hanya di buku, bukan hanya di masjid, tapi di tengah denyut kehidupan mereka sendiri.

Barangkali, inilah saatnya ranting berhenti menghitung berapa kali pengajian telah digelar. Yang perlu dihitung sekarang adalah: sudah berapa banyak hati yang tersentuh, keluarga yang terbantu, dan jiwa yang tercerahkan? Sebab, ukuran dakwah sejatinya bukan pada jumlah acara, tapi pada seberapa jauh dakwah itu mampu mengubah kehidupan menjadi lebih baik.

Jangan puas dengan kegiatan yang “ramai tapi kosong”. Ukuran dampak dakwah bukan dari jumlah peserta, melainkan dari perubahan sosial yang nyata: apakah jamaah makin peduli, makin jujur, makin mandiri, makin berdaya. Susunlah tema-tema dakwah yang menjawab persoalan lokal. Misal, dakwah ekonomi di tengah krisis, dakwah digital bagi remaja, dakwah lingkungan bagi warga desa yang lingkungannya rusak, dan lain sebagainya.

Ketika ranting mampu menjawab kebutuhan zaman dengan semangat tajdid yang mencerahkan, maka dakwah tidak akan lagi terasa kering. Ia akan kembali menjadi air kehidupan—mengalir, menyejukkan, dan menumbuhkan kembali akar-akar Islam yang kokoh di bumi ini.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE