
PWMJATENG.COM, Surakarta – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menjadi tuan rumah pameran dan coaching clinic bertema perlindungan varietas tanaman yang digelar oleh Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (Pusat PVTPP) Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Kegiatan tersebut juga menjadi momentum penandatanganan kerja sama antara Pusat PVTPP dan 29 Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) dari berbagai daerah di Indonesia.
Ketua Asosiasi Sentra Kekayaan Intelektual Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (ASKI PTMA), Kun Harismah, menyampaikan bahwa sosialisasi mengenai perlindungan varietas tanaman di lingkungan perguruan tinggi masih jarang dilakukan. Karena itu, ia mengapresiasi langkah UMS yang aktif mendampingi para petani dalam mengembangkan inovasi varietas baru.
“Teman-teman di Prodi Pendidikan Biologi juga bisa membantu petani di sekitar UMS, misalnya dari wilayah Soloraya atau Jawa Tengah. Kita punya Jaringan Petani Muhammadiyah (Jatam), yang dapat menjadi wadah pendampingan terkait perlindungan varietas tanaman,” ujar Kun Harismah saat kegiatan berlangsung, Rabu (29/10).
Ia menambahkan, sosialisasi ini ditujukan bagi perguruan tinggi yang memiliki potensi dalam pengembangan kekayaan intelektual, terutama yang telah menandatangani nota kesepahaman dengan Pusat PVTPP. “Kegiatan ini menyasar perguruan tinggi dengan sentra kekayaan intelektual yang aktif. Ada 29 PTMA yang telah ikut menandatangani MoU dengan kami,” jelasnya.
Salah satu peserta pameran, Suharno, petani asal Boyolali, menjadi perhatian pengunjung. Ia memperkenalkan varietas singkong hasil okulasi yang diberi nama “Singkong Indonesia.” Tanaman tersebut merupakan hasil persilangan dua jenis singkong yang menghasilkan umbi berukuran sangat besar.
“Awalnya saya menamainya Singkong Nusantara, tapi kemudian saya ubah menjadi Singkong Indonesia,” ungkapnya sambil tersenyum.
Menurut Suharno, singkong temuannya memiliki keunggulan signifikan dibanding varietas lokal. Pada penanaman pertama, hasil panen mencapai 40 kilogram per tanaman, sedangkan pada penanaman berikutnya bisa mencapai 150 kilogram. “Singkong ini bisa diolah menjadi singkong keju, getuk, atau tape. Kalau sudah besar, bisa dibuat mokaf atau keripik,” katanya menjelaskan.
Ia menuturkan, waktu panen singkong dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar. “Kalau untuk tape bisa dipanen di usia delapan bulan, sedangkan untuk keripik lebih baik dibiarkan lebih tua agar hasilnya renyah,” tuturnya.
Baca juga, Aplikasi Al-Qur’an Muhammadiyah (Qur’anMu)
Sebagai perbandingan, singkong lokal biasanya hanya menghasilkan sekitar lima kilogram per tanaman. Dengan teknik okulasi, Singkong Indonesia mampu menghasilkan bobot hingga puluhan kali lipat lebih besar.
Dalam proses pengembangannya, Suharno mendapat pendampingan dari dosen UMS, Muhtadi. Pendampingan tersebut, menurutnya, memberikan dampak besar terhadap peningkatan kualitas hasil tanam dan perluasan jangkauan pasar. “Setelah saya bertemu dengan Prof. Muhtadi, kualitas dan pasar singkong saya meningkat pesat. Bahkan pembeli dari luar Jawa dan tim dari India sudah datang ke tempat saya untuk berbagi teori dan pengalaman,” ungkapnya.

Suharno menceritakan bahwa dirinya telah menanam singkong sejak kecil, namun dulu hasil panennya hanya sekitar 1–5 kilogram per tanaman. Setelah melakukan berbagai eksperimen penyilangan, hasilnya meningkat tajam. “Kalau pakai bibit lama hanya dapat 20–30 kilogram. Tapi setelah saya temukan jenis ini, hasilnya jauh lebih besar,” ujarnya bangga.
Meski demikian, ia mengaku belum berhenti berinovasi. “Saya masih terus mencari dan bereksperimen agar bisa menemukan varietas yang lebih unggul lagi,” katanya penuh semangat.
Kini, Suharno menjadi penangkar bibit Singkong Indonesia dengan lahan persemaian seluas sekitar 5.000 meter persegi serta demplot pembibitan mencapai 7.000 meter persegi. Ia berharap inovasinya dapat memperkuat ketahanan pangan lokal sekaligus menginspirasi generasi muda untuk berinovasi di bidang pertanian.
Kontributor : Maysali
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha



