Ali bin Abi Thalib: Dari Rumah Nabi hingga Menjadi Pemuda Pertama yang Masuk Islam

PWMJATENG.COM – Kisah hidup Ali bin Abi Thalib tak bisa dilepaskan dari sosok Nabi Muhammad saw. Ia bukan hanya sepupu Nabi, tetapi juga menjadi salah satu orang terdekat yang menyaksikan secara langsung perjalanan hidup Rasulullah sejak muda. Kedekatan itu berawal dari peristiwa paceklik yang melanda Makkah, yang pada akhirnya mengantarkan Ali kepada hidayah Islam di usia yang masih belia.
Ali adalah putra Abu Thalib, kakak dari Abdullah—ayah Nabi Muhammad saw. Sementara ibunya, Fatimah binti Asad, berasal dari keturunan Bani Hasyim, salah satu kabilah terhormat di kalangan Quraisy. Sejak kecil, Ali tumbuh dalam keluarga yang sederhana, bahkan cenderung kekurangan, karena ayahnya harus menanggung banyak anak di tengah situasi ekonomi yang sulit.
Ketika Makkah dilanda masa paceklik hebat, Nabi Muhammad saw merasa prihatin terhadap kondisi pamannya itu. Sebagai bentuk kepedulian, Nabi mengajak pamannya yang lain, Abbas bin Abdul Muthalib—seorang saudagar kaya dari Bani Hasyim—untuk membantu meringankan beban Abu Thalib dengan ikut mengasuh sebagian anak-anaknya.
“Wahai pamanku, sesungguhnya Abu Thalib memiliki banyak keluarga. Mari kita bantu meringankan bebannya,” sabda Nabi kepada Abbas, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul Atsir dalam Al-Kamil fi Tarikh. Usulan itu disambut baik. Abu Thalib berkata, “Tinggalkan Aqil untukku dan lakukanlah apa yang kalian kehendaki.” Sejak saat itu, Nabi Muhammad saw membawa Ali ke rumahnya, sedangkan Abbas mengambil Ja’far bin Abi Thalib.
Kehidupan bersama Nabi menjadi pengalaman berharga bagi Ali. Dari sanalah ia mengenal akhlak, kebijaksanaan, dan kejujuran yang melekat kuat pada diri Rasulullah. Bahkan, jauh sebelum diangkat menjadi nabi, Muhammad telah dikenal sebagai “Al-Amin”, sosok yang terpercaya. Kedekatan inilah yang membuat Ali tumbuh dengan pengaruh moral yang kuat dari sosok pamannya tersebut.
Ibnul Atsir mengutip pendapat Ibnu Ishaq bahwa peristiwa paceklik itu justru menjadi anugerah bagi Ali. Sebab, berkat keadaan sulit itulah Nabi membawa Ali tinggal bersamanya, hingga kemudian ia menjadi salah satu orang pertama yang menerima Islam.
أَوَّلُ مَنْ أَسْلَمَ عَلِيٌّ وَعُمْرُهُ إِحْدَى عَشْرَةَ سَنَةً…
Artinya: “Orang pertama yang masuk Islam dari kalangan pemuda adalah Ali ketika berusia sebelas tahun.” (Al-Kamil fi Tarikh, juz I, hlm. 656)
Baca juga, Aplikasi Al-Qur’an Muhammadiyah (Qur’anMu)
Ketika Nabi Muhammad saw menerima wahyu pertama di Gua Hira dan mulai berdakwah secara sembunyi-sembunyi, Ali menjadi salah satu orang pertama yang mengetahui hal itu. Suatu hari, ia melihat Nabi dan istrinya, Khadijah, sedang salat bersama. Ali yang masih muda bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”
Nabi saw menjawab dengan tenang, “Ini adalah agama Allah yang dipilih-Nya untuk diri-Nya dan diutuskan kepada para rasul-Nya. Aku mengajakmu untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan penyembahan kepada berhala seperti Lata dan Uzza.”
Ali yang belum pernah mendengar ajaran seperti itu sebelumnya terdiam. Ia berkata, “Ini adalah hal baru bagiku. Aku harus membicarakan ini kepada ayahku.” Namun Nabi saw memintanya untuk merahasiakan hal tersebut terlebih dahulu agar tidak menimbulkan kegaduhan di kalangan Quraisy.
Malam itu, Ali merenung panjang. Dalam keheningan, Allah meneguhkan hatinya. Keesokan paginya, ia mendatangi Nabi dan berkata, “Apa yang engkau tawarkan kepadaku, wahai Muhammad?” Nabi saw menjawab, “Bersaksilah bahwa tiada Tuhan selain Allah yang Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Ingkarilah Lata dan Uzza serta jauhilah segala bentuk kemusyrikan.” Tanpa ragu, Ali pun mengucapkan syahadat dan menjadi pemuda pertama yang memeluk Islam. (Al-Bidayah wa an-Nihayah, juz III, hlm. 24)
Meski telah memeluk Islam, Ali merahasiakan keimanannya dari sang ayah. Hingga suatu hari, Abu Thalib memergokinya tengah salat bersama Nabi Muhammad saw. Dengan nada lembut, Abu Thalib bertanya, “Wahai anakku, agama apa yang engkau anut?”
Ali menjawab dengan jujur, “Wahai ayahku, aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan aku salat bersamanya.” Abu Thalib kemudian tersenyum dan berkata bijak, “Sungguh, dia (Muhammad) tidak pernah mengajak kecuali pada kebaikan. Maka teruskanlah apa yang engkau lakukan.”
Jawaban itu menjadi restu tak langsung dari seorang ayah yang memahami kebenaran meski belum memeluk Islam. Dari rumah Nabi, Ali tumbuh menjadi pemuda yang berani, berilmu, dan setia. Keislamannya di usia muda menandai awal dari perjalanan panjang seorang sahabat yang kelak dikenal sebagai pintu ilmu dan pelindung kebenaran.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha



