Kolom

Talqin Lā ilāha illallāh: Antara Lisan yang Terucap dan Iman yang Terpatri

Talqin Lā ilāha illallāh: Antara Lisan yang Terucap dan Iman yang Terpatri

Oleh : Tuti Mayukha (Alumni PUTM UMY Yogyakarta, pengajar di SMP MBS Limpung sekaligus anggota bidang kader PDNA Batang)

PWMJATENG.COM – Dalam kehidupan ini, manusia membutuhkan berbagai macam pengetahuan, baik sumber yang bersifat naqli (tekstual) maupun aqli (rasional). Sumber yang bersifat naqli ini merupakan pilar dan sumber dari semua ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia, baik dalam agama khususnya maupun masalah dunia pada umumnya. 

Salah satu sumber rujukan penting dalam pembentukan hukum sesudah  al-Qur’an adalah hadis yang berfungsi sebagai penjelas  dari isi kandungan  al-Qur’an yang masih global. Dalam hal ini, ilmu hadis memiliki peran penting dalam ajaran agama Islam. As-sunah (hadis Nabi Saw.) merupakan penafsiran Al-Qur’an dalam penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal.

Pada dasarnya seluruh Nabi dan Rasul diutus untuk menyeru umatnya kepada seruan dakwah yang sama, yaitu bertauhid laailaaha illallah, tiada Ilah yang patut disembah selain Allah. Yang memiliki makna, beribadahlah kalian kepada Allah semata. Pada asalnya, manusia telah bertauhid yang merupakan pemberian dari Allah Swt., fitrah manusia berada di atas penciptaan yang paling baik, namun lingkungan yang menyimpang mengakibatkan manusia berada pada tempat yang paling rendah, kecuali bagi manusia yang beramal shalih pada saat hidup di dunia

Ibnu katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya tentang ayat yang artinya “…Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan merasakan mati.”Ayat tersebut memperingatkan kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini bahwa tidak ada satu pun yang dapat menghindari kematian yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Oleh karena itu mengajarkan kalimat  lā ilāha illallāh  terhadap orang yang akan meninggal dunia sudah tidak asing lagi bagi umat muslim. Berkaitan dengan hal ini terdapat hadis Nabi saw yang artinya, “Barangsiapa yang meninggal dunia dan akhir ucapannya adalah lā ilāha illallāh maka akan masuk surga.”Salah satunya adalah riwayat Abu Daud dari Muadz bin Jabal dalam kitab jenazah bab Talqīn  sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمِسْمَعِيُّ حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنِي صَالِحُ بْنُ أَبِي عَرِيبٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ (رواه ابو داود في سننه, ص. ٥۱۷, رقم الحديث: ۲۰۷۹)

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Malik bin Abdul Wahid Al Misma’i, telah menceritakan kepada kami Adh Dhahhak bin Makhlad, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Ja’far, telah menceritakan kepadaku Shalih bin Abu ‘Arib dari Katsir bin Murrah dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “ Barangsiapa yang akhir perkataannya lā ilāha illallāh (sebelum meninggal dunia) maka ia akan masuk surga.” (HR. Sunan Abu Daud dalam kitab Sunannya, hal. 517, nomor 2709)

Hadis di atas jika difahami secara tekstual saja dapat menimbulkan berbagai spekulasi bahwa hanya dengan berkata kalimat tauhid sebelum meninggal seseorang bisa masuk surga, sehingga muncullah berbagi pertanyaan, masyarakat “Apakah hanya dengan berkata lā ilāha illallāh dapat masuk surga tanpa syarat apapun? Dan Apakah hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah oleh siapa saja atau sebaliknya?”. Kenyataannya terdapat matan hadis yang kandungan petunjuknya harus difahami secara tekstual saja sehingga tidak diperlukan lagi pemahaman secara kontekstual. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat pula matan  hadis yang membutuhkan pemahaman dengan keduanya.

Hadis tentang berkata Lā ilāha illallāh menjelang kematian masuk surga juga terdapat dalam riwayat lain oleh Imam Bukhari hadis nomor 5827 dalam kitab al-libās (pakaian-pakaian) bab pakaian putih.

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ الْحُسَيْنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا الْأَسْوَدِ الدُّؤَلِيَّ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثَوْبٌ أَبْيَضُ وَهُوَ نَائِمٌ ثُمَّ أَتَيْتُهُ وَقَدْ اسْتَيْقَظَ فَقَالَ مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ قُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قَالَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قَالَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قَالَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ عَلَى رَغْمِ أَنْفِ أَبِي ذَرٍّ وَكَانَ أَبُو ذَرٍّ إِذَا حَدَّثَ بِهَذَا قَالَ وَإِنْ رَغِمَ أَنْفُ أَبِي ذَرٍّ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ هَذَا عِنْدَ الْمَوْتِ أَوْ قَبْلَهُ إِذَا تَابَ وَنَدِمَ وَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ غُفِرَ لَهُ  (رواه البخاري في صحيحه, ص.٦٩, رقم الحديث:٥٨٢٧)

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar telah menceritakan kepada kami Abdul Warits dari Al-Husain dari Abdullah bin Buraidah dari Yahya bin Ya’mar dia menceritakan kepadanya bahwa Abu Aswad Ad-Du`ali telah menceritakan kepadanya bahwa Abu Dzar ra. telah menceritakan kepadanya, dia berkata; “Saya pernah menemui Nabi saw. sementara beliau sedang tidur sambil mengenakan baju putih, lalu aku datang menemuinya dan beliau pun terbangun, beliau bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang berkatakan lā ilāha illallāh kemudian mati karena itu melainkan ia akan masuk surga.” Tanyaku selanjutnya; “Walaupun dia berzina dan mencuri?” beliau menimpali: “Walaupun dia pernah berzina dan mencuri.” Tanyaku lagi; “Walaupun dia pernah berzina dan mencuri?” beliau menjawab: “Walaupun dia pernah berzina dan mencuri.” Tanyaku lagi; “Walaupun dia pernah berzina dan mencuri?” beliau menjawab: “Walaupun dia pernah berzina dan mencuri.” -walaupun sepertinya Abu Dzar kurang puas- Apabila Abu Dzar menceritakan hal ini, maka dia akan mengatakan; “Walaupun” sepertinya Abu Dzar kurang puas. Abu Abdullah mengatakan; “Hal ini jika terjadi ketika seorang hamba itu meninggal atau sebelum dia meninggal lalu bertaubat dan menyesali perbuatannya serta mengatakatakan  lā ilāha illallāh, maka dosa-dosanya akan terampuni.”(HR. Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih nya, hal. 69, no. 5827)

Baca juga, Aplikasi Al-Qur’an Muhammadiyah (Qur’anMu)

Adapun maksud lafal هَذَا عِنْدَ الْمَوْتِ أَوْ قَبْلَهُ إِذَا تَابَ وَنَدِمَ yang artinya “ Hal ini berlaku saat menjelang kematian atau sebelumnya jika dia bertaubat dan menyesal.” Maksudnya, bertaubat dari kekufuran. Bahwasanya Imam Bukhari hendak menjelaskan kalimat, “Tidak ada seorang hamba yang mengucapkan Lā ilāha illallāh, kemudian dia meninggal atas hal itu, melainkan dia masuk surga.” Kesimpulan dari apa yang diisyaratkan kepadanya bahwa hadis ini difahami untuk seseorang yang mengesakan Tuhannya kemudian meninggal dalam keadaan demikian disertai taubat atas dosa-dosanya. Pada kondisi demikian dia dijanjikan masuk surga.

Hal tersebut berkenaan dengan hak-hak Allah swt. Adapun hak-hak hamba maka disyaratkan untuk mengembalikannya. Sedangkan mereka yang melakukan dosa dan tidak bertaubat, maka menurut makna dhahir hadis dia juga masuk surga. Akan tetapi, menurut madzhab ahlussunnah sesungguhnya hal tersebut adalah dalam kehendak Allah swt. Hal ini diindikasikan hadis Ubadah bin ash-Shamit pada pembahasan tentang iman,

وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ

Artinya “Barangsiapa yang melanggar dari hal tersebut lalu Allah menghukumnya di dunia maka itu adalah kafarat baginya, dan barangsiapa yang melanggar dari hal-hal tersebut kemudian Allah menutupinya (tidak menghukumnya di dunia) maka urusannya kembali kepada Allah, jika Dia berkehendak akan, memaafkannya dan jika Dia berkehendak akan menyiksanya.”

Riwayat ini lebih rinci sehingga lebih diutamakan dari pada hadis yang masih global. Hadis tersebut menolak ahli bid’ah dari kalangan Khawarij dan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar yang belum bertaubat, niscaya akan kekal dalam neraka. Ibnu at-Tin menukil dari ad-Dawudi bahwa perkataan Imam Bukhari menyelisihi makna dhahir hadis. Menurutnya, jika disyaratkan taubat, tentu tidak akan dikatakan, “Meskipun berzina dan mencuri.” Dia berkata, “Bahkan maksudnya, orang itu akan masuk surga, baik sejak awal ataupun setelah menjalani masa hukuman).

Adapun dalam kitab Aunul ma’bud karya Ibnu Qayyim al-Jauzi Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa maksud ucapan Lā ilāha illallāh pada hadis ini dan hadis pendukung lainnya adalah dua kalimat syahadat, dengan demikian tidak ada masalah dengan tidak disebutkannya kalimat kerasulan. Kemudian diperkuat oleh Zain bin Munayyar bahwa kalimat Lā ilāha illallāh  tersebut biasa digunakan untuk mengungkapkan dua kalimat syahadat. Hal ini berkaitan dengan hadis Abu Said Al-Khudriyyi dengan lafal لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ قَوْلَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ   yang artinya “Ajarilah orang yang akan meninggal diantara kalian dengan ucapan Lā ilāha illallāh.” Maksud hadis tersebut adalah agar manusia menyebutkan kalimat tauhid atau kalimat syahadat ketika menjelang kematian sehingga perkatan akhir sebelum meninggalnya adalah kalimat Lā ilāha illallāh. Sedangkan hadis riwayat Abu Daud tentang barangsiapa yang mengucapkan kalimat  Lā ilāha illallāh diakhir hayatnya tidak menjelaskan apakah hal tersebut berlaku untuk semua orang atau sebaliknya. Az-Zain bin Al-Munayyar berpendapat bahwa riwayat ini mencakup pula bagi orang yang akan meninggal dunia, atau hidupnya masih lama namun ia tidak mengucapkan kalimat lain setelah itu.

Jadi dalam hal ini ada dua  makna mengenai kajian pada hadis ini, yaitu makna hakiki dan majazi.  Adapun secara hakiki para ulama telah berpendapat bahwa siapa saja yang mengucapkan kalimat Lā ilāha illallāh menjelang kematian maka masuk surga. Sedangkan makna majazi dari hadis ini bahwa untuk dapat masuk surga tidak semata-mata hanya dengan mengucapkan kalimat Lā ilāha illallāh saja, akan tetapi bahwa surga dapat dinikmati oleh siapa saja yang telah beriman kepada Allah swt semata tanpa menyekutukannya dengan hal apapun, bertakwa, bertaubat atas dosa-dosanya serta melakukan amalan-amalan kebaikan ketika di dunia.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE