Makna Progresif Surat Al-Baqarah: Pesan Ketakwaan dan Peradaban

PWMJATENG.COM, Surakarta – Dalam Kajian Tafsir Universitas Muhammadiyah Surakarta yang digelar pada Kamis (23/10), Dosen IQT Ainur Rha’in mengurai makna mendalam dari Surat Al-Baqarah. Dengan penjelasan yang menyentuh dan bernuansa reflektif, ia mengajak jamaah memahami Al-Qur’an bukan sekadar bacaan, tetapi sebagai pedoman hidup yang menuntun manusia menuju peradaban yang berkeadilan dan berkemajuan.
Ainur membuka pemaparannya dengan mengulas makna kata “Al-Baqarah” yang sering disalahartikan sebagai “sapi betina”. Ia menegaskan bahwa pemahaman tersebut tidak sepenuhnya tepat. “Huruf ta’ marbuthah pada akhir kata itu tidak selalu menandakan jenis kelamin betina. Dalam kisah Bani Israil, baqarah berarti seekor sapi tanpa disebutkan jenis kelaminnya. Mereka hanya disuruh membeli sapi, namun karena terlalu banyak bertanya, akhirnya Allah memberi syarat yang justru mempersulit mereka sendiri,” jelasnya.
Surat Al-Baqarah, menurut Ainur, tidak hanya membahas aspek ritual, tetapi juga mengandung pesan moral, sosial, dan historis. “Surat yang turun di Madinah ini berbicara tentang akidah, syariat hukum, sejarah Bani Israil, serta nilai-nilai moral. Ia bukan sekadar bacaan, tapi benteng spiritual yang membawa keberkahan dan menolak keburukan,” paparnya.
Ainur mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan bahwa membaca Surat Al-Baqarah menghadirkan keberkahan dan perlindungan dari gangguan setan. “Orang yang di dalam dirinya ada Al-Qur’an, hatinya akan kuat dan tidak mudah terguncang,” ujarnya menegaskan.
Dalam bagian lain, Ainur mengulas keunikan huruf mukhata’ah seperti Alif Lam Mim yang membuka surat ini. Huruf-huruf tersebut, katanya, dibaca secara terpisah tanpa harakat sebagaimana huruf-huruf lain dalam Al-Qur’an. “Huruf mukhata’ah dibaca terpisah-terpisah, huruf mati tanpa harakat. Karena itu disebut mukoto’a, yang berarti terpisah antara satu huruf dengan huruf lainnya,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa makna Alif Lam Mim hingga kini tetap menjadi rahasia ilahi. “Maknanya tidak diketahui oleh siapa pun, bahkan Rasulullah SAW. Banyak ulama menafsirkannya secara beragam. Menurut Ibn Uthaymiyah, ada bagian Al-Qur’an yang hanya dipahami oleh Allah, sebagian oleh Nabi, sebagian oleh ulama, dan sebagian oleh orang yang memahami bahasa Arab,” jelas Ainur.
Baca juga, Aplikasi Al-Qur’an Muhammadiyah (Qur’anMu)
Namun, ia menilai bahwa Alif Lam Mim dapat dimaknai secara kontekstual sebagai simbol semangat progresif. “Pada zaman modern ini, Alif Lam Mim bisa dimaknai sebagai dorongan untuk memperbaiki diri dan masyarakat. Ia melambangkan semangat membebaskan diri dari sistem feodal, kapitalis, atau ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam,” katanya.
Lebih lanjut, Ainur menafsirkan ayat kedua surat tersebut, “Zalikal kitabu laa raiba fihi hudan lil muttaqin”, yang berarti “Kitab ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” Ia menegaskan, “Petunjuk Al-Qur’an hanya dirasakan oleh orang bertakwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, menegakkan salat, menafkahkan harta di jalan Allah, dan meyakini hari akhir.”
Ainur juga menekankan bahwa membaca Al-Qur’an tidak cukup tanpa pemahaman dan penghayatan. “Al-Qur’an bukan sekadar bacaan untuk dilombakan atau dikhatamkan. Ia adalah petunjuk kehidupan. Jika hanya dibaca tanpa dipahami, kita hanya memperoleh pahala. Tapi jika dipahami dan diamalkan, kita akan mendapatkan hidayah yang sesungguhnya,” tegasnya.
Di akhir kajian, Ainur menyoroti relevansi pesan Surat Al-Baqarah dengan tantangan modern. Menurutnya, surat ini menuntun umat Islam untuk menjaga keseimbangan antara hubungan dengan Allah dan sesama manusia. “Ketika banyak orang sibuk membangun karier, mereka sering melupakan nilai-nilai spiritual. Padahal, keseimbangan inilah yang diajarkan Al-Baqarah,” katanya.
Ia menambahkan bahwa ketakwaan sejati mencakup iman yang kokoh, konsistensi ibadah, dan kepedulian sosial. “Orang bertakwa itu hatinya hidup, peka terhadap sekitar, dan selalu berusaha memberi keberkahan. Ketakwaan bukan hanya tentang ritual, tapi tentang manfaat yang kita berikan bagi sesama,” tutup Ainur, seraya mengajak umat Islam menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi untuk membangun kehidupan pribadi, sosial, dan profesional yang penuh keberkahan.
Kontributor : Zaatuddin
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha



