
PWMJATENG.COM, Semarang – Lapangan Gisikdrono, Semarang Barat, Rabu (22/10) pagi itu menampilkan suasana yang tak biasa. Setelah para siswa khusyuk mengikuti Salat Duha dan bersalawat bersama, lapangan sekolah tiba-tiba berubah menjadi panggung kreativitas dan ilmu pengetahuan.
Tanpa ceramah panjang, siswa SD Muhammadiyah 12 Semarang menutup peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2025 dengan cara yang berbeda: menampilkan eksperimen sains, pertunjukan hadroh, kaligrafi, serta petikan biola yang merdu. Semua itu menjadi simbol dari semangat baru dalam memahami arti santri masa kini.
Kepala SD Muhammadiyah 12 Semarang, Burhan Khaerudin, menjelaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar perayaan tahunan. Ia menyebutnya sebagai upaya mengubah cara pandang terhadap istilah “santri”. Menurutnya, santri bukan hanya mereka yang tinggal di pesantren, melainkan setiap Muslim yang tekun beribadah dan terus menuntut ilmu.
“Di awal-awal, kami sempat menolak untuk ikut merayakan Hari Santri. Namun setelah kami merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ternyata definisinya lebih luas,” ujarnya.
Burhan mengutip definisi dalam KBBI yang menyebut santri sebagai orang yang mendalami agama Islam dan bersungguh-sungguh dalam beribadah. “Definisi itu menyentuh hati kami. Maka kami yakin, sejatinya semua Muslim adalah santri. Perayaan ini bukan milik satu kelompok saja, tetapi milik seluruh umat Islam,” tuturnya dengan nada mantap.
Baca juga, Aplikasi Al-Qur’an Muhammadiyah (Qur’anMu)
Pendekatan inklusif tersebut, lanjut Burhan, menjadi dasar filosofi dalam setiap kegiatan di sekolahnya. Ia ingin menghapus anggapan bahwa kegiatan keislaman hanya sebatas di masjid atau pengajian. Karena itu, dalam HSN kali ini, SD Muhammadiyah 12 menampilkan kolaborasi unik antara nilai-nilai spiritual dan keilmuan.
“Kami ingin menunjukkan bahwa kesenian, sains, dan keislaman bisa berjalan beriringan. Islam harus menjadi fondasi setiap ilmu yang dipelajari,” katanya menjelaskan makna di balik demonstrasi sains dan seni dalam acara tersebut.
Paduan antara hadroh, kaligrafi, dan eksperimen ilmiah dianggapnya sebagai bentuk nyata dari integrasi iman dan ilmu. Hal itu sekaligus menjadi pesan bahwa pendidikan Islam perlu melahirkan generasi yang mampu bersaing di berbagai bidang, tanpa meninggalkan nilai spiritualitas.
Burhan menilai, paradigma santri yang baru ini sejalan dengan semangat pendidikan Muhammadiyah. “Kami ingin melahirkan santri-santri Muhammadiyah yang bisa menjadi insinyur, ilmuwan, atau seniman, tapi tetap berpegang pada nilai keislaman,” ujarnya.
Ia menambahkan, ketika setiap sektor masyarakat berlandaskan nilai Islam, maka cita-cita Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya akan semakin dekat.
“HSN ini bukan sekadar seremoni, tapi momentum untuk menegaskan kembali bahwa pendidikan Islam harus melahirkan generasi yang seimbang antara dunia dan akhirat,” tutupnya.
Kontributor : Agung
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha



