Jalan Tengah Muhammadiyah: Merajut Keseimbangan antara Purifikasi dan Rasionalitas Liberal

PWMJATENG.COM, Semarang – Di tengah menguatnya arus purifikasi ala Salafi dan rasionalitas liberal dalam tubuh umat Islam, Muhammadiyah kembali menunjukkan arah jalan tengahnya. Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang, Fachrur Rozi, memaparkan pandangan mendalam tentang bagaimana Muhammadiyah menyeimbangkan dua kutub ekstrem itu dengan pendekatan Wasathiyah, yang berpijak pada teks, rasionalitas, dan nurani.
“Di Muhammadiyah, koridornya adalah Wasathiyah, Islam jalan tengah yang berkemajuan,” ujar Fachrur Rozi dengan tenang di teras rumahnya yang teduh, dikelilingi pepohonan mangga dan kelengkeng.
Menurutnya, dilema teologis antara purifikasi dan pembaruan memang tidak terelakkan di era modern. Di satu sisi, ada semangat memurnikan ajaran agama agar kembali ke akar. Di sisi lain, muncul dorongan berpikir terbuka dan progresif. Persimpangan ini, katanya, sering menimbulkan ketegangan, terutama bagi organisasi besar seperti Muhammadiyah yang memiliki sejarah panjang dan basis ideologis kuat.
Fachrur menjelaskan, dalam beragama, Muhammadiyah menggunakan dua pendekatan utama. Untuk urusan ibadah, organisasi ini menempuh jalur purifikasi—pemurnian ajaran sebagaimana semangat Salafi. Namun, dalam ranah muamalah, Muhammadiyah berpijak pada tajdid atau pembaruan, yang menekankan rasionalitas dan keterbukaan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
“Kalau purifikasi dijalankan tanpa koridor, agama bisa kehilangan nilai sosialnya. Tapi kalau tajdid dilepaskan tanpa batas, jadinya liberal,” ujarnya mengingatkan.
Untuk menjaga keseimbangan, Muhammadiyah merumuskan tiga pilar keilmuan: Bayani, Burhani, dan Irfani. Ketiganya membentuk harmoni sebagai fondasi Islam berkemajuan.
Bayani adalah pendekatan tekstual yang bersandar pada Al-Qur’an dan Hadis. Ia menjadi penopang ideologi yang kokoh. Burhani, di sisi lain, mengedepankan rasionalitas ilmiah. “Misalnya, teks menyebut babi haram. Burhani menjelaskan alasannya secara ilmiah. Begitu juga penentuan waktu puasa, kini bisa dilakukan dengan hisab sebagai bentuk rasionalitas,” jelasnya.
Baca juga, EMT Muhammadiyah Resmi Terverifikasi: Jadi yang Pertama di Indonesia, Kado Milad ke-113 Muhammadiyah
Namun, Fachrur menilai, dua pendekatan itu tidak cukup tanpa Irfani—jalan ketiga yang berangkat dari nurani dan kesadaran spiritual. Irfani adalah pendekatan sufistik yang menumbuhkan etika sosial, rendah hati, dan empati. “Kita tidak boleh merasa paling benar sendiri. Yang kita yakini benar, tapi bisa jadi yang lain juga benar,” tuturnya.
Sikap ini melahirkan prinsip Wasathiyah: teguh pada keyakinan sendiri, tapi toleran terhadap perbedaan. Dalam konteks sosial, Irfani menjadi kunci agar umat tidak terjebak pada klaim kebenaran tunggal.
Fachrur memberi contoh sederhana. Secara tekstual, umat Islam memang meyakini non-Muslim sebagai kafir. Namun, secara Irfani, ia menekankan pentingnya etika sosial. “Tidak perlu kita meng-kafir-kafirkan. Kan sudah kafir, kok di-kafirkan,” katanya sambil tersenyum.
Nilai Irfani juga tampak dalam penerjemahan ajaran Al-Ma’un. Dulu, Surah Al-Ma’un diimplementasikan melalui pendirian panti asuhan. Kini, melalui Irfani, muncul kesadaran bahwa anak-anak sebaiknya tumbuh bersama keluarga. Begitu pula dalam memberi bantuan, Muhammadiyah menekankan pentingnya menjaga martabat penerima. “Menolong itu harus bijak, jangan sampai mempermalukan,” ucapnya. Karena itu, banyak bantuan sosial kini disalurkan langsung ke rumah penerima.
Pendekatan serupa diterapkan dalam isu ziarah kubur yang kerap menimbulkan perdebatan. Fachrur memilih cara lembut ketimbang konfrontatif. “Daripada melarang, lebih baik kita ajak umrah bersama biro Muhammadiyah. Di sana kita tunjukkan bahwa ziarah ke makam Rasulullah dan sahabat itu bagian dari tradisi keislaman yang mulia,” jelasnya.
Menjelang azan Magrib, perbincangan sore itu berakhir dengan pesan penutup yang merangkum seluruh prinsip Wasathiyah. “Tidak usah ribut,” katanya menyinggung soal perbedaan pandangan antarormas. “Kita menyediakan ambulannya saja, orang sudah senang.”
Kontributor : Agung
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha