Hukum Merayakan Milad dalam Pandangan Islam

PWMJATENG.COM, Surakarta – Dalam dunia modern, perayaan ulang tahun atau milad telah menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Namun, bagaimana pandangan Islam terhadap praktik ini? Pertanyaan itu menjadi sorotan dalam Kajian Tarjih Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) yang disampaikan oleh Anggota Majelis Tarjih, Jazuli, pada Selasa (14/10).
Dalam pemaparannya, Jazuli menjelaskan bahwa untuk memahami hukum perayaan seperti ulang tahun atau milad, umat Islam perlu berpijak pada prinsip-prinsip dasar muamalah. “Dalam muamalah, segala bentuk aktivitas pada dasarnya adalah mubah (boleh) selama tidak ada dalil yang mengharamkannya,” jelasnya.
Ia kemudian merinci empat prinsip utama dalam muamalah yang menjadi fondasi dalam menentukan hukum suatu perbuatan. Pertama, segala bentuk muamalah pada dasarnya mubah. Kedua, setiap kegiatan harus dilakukan secara sukarela, tanpa unsur paksaan. Ketiga, aktivitas tersebut mesti mengandung kemanfaatan dan menghindari kemudharatan. Keempat, harus berlandaskan nilai keadilan dan tidak menimbulkan kezaliman.
Lebih jauh, Jazuli menyoroti perbedaan mendasar antara perayaan ulang tahun secara umum dan peringatan milad yang dilakukan oleh organisasi Islam seperti Muhammadiyah. Ia menegaskan bahwa milad memiliki nilai dakwah dan syiar yang kuat, berbeda dengan perayaan ulang tahun yang bersifat personal dan kerap bersumber dari tradisi non-Islam.
Baca juga, Muhammadiyah Umumkan Jadwal Puasa Ramadan 2026, Catat Tanggal Resminya!
“Dalam konteks organisasi, milad dapat menjadi sarana memperkuat ukhuwah dan identitas perjuangan,” ujarnya. Ia menambahkan, dasar kebolehan peringatan milad dapat dilihat dalam firman Allah pada QS. Ali Imran ayat 104:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Menurut Jazuli, kata ummatun dalam ayat tersebut mencerminkan pentingnya kesamaan ideologi, visi, dan tujuan dalam menjalankan aktivitas bersama. Hal ini dapat menjadi legitimasi bagi organisasi Islam untuk mengadakan peringatan milad sebagai bentuk dakwah dan penguatan nilai perjuangan.
Selain itu, ia juga merujuk pada QS. Al-A’raf ayat 199 yang memuat pesan agar setiap amal perbuatan dilakukan dengan kebaikan dan menjauhi keburukan. “Apabila milad diselenggarakan dengan semangat syiar dakwah, memperkuat ukhuwah, dan menambah kemanfaatan, maka hal tersebut diperbolehkan,” terangnya.
Meski demikian, Jazuli memberikan catatan penting bahwa bentuk-bentuk perayaan yang menyerupai tradisi non-Islam perlu dihindari. Ia mencontohkan tradisi meniup lilin yang berakar dari kepercayaan Yunani Kuno, di mana asap lilin dianggap sebagai penghantar doa kepada Dewi Artemis.
“Hal seperti ini tidak dianjurkan karena menyerupai suatu kaum, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: Man tasyabbaha bi qawmin fahuwa minhum, yang artinya, ‘Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka,’” tegasnya.
Menutup kajian, Jazuli menegaskan bahwa peringatan Milad Muhammadiyah maupun milad Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) merupakan kegiatan yang diperbolehkan karena sarat nilai dakwah dan sejarah perjuangan. “Kegiatan seperti ini bukan hanya perayaan seremonial, tetapi juga bentuk penghargaan terhadap para tokoh dan pendiri yang telah berjuang dalam mendirikan persyarikatan serta lembaga pendidikan Islam,” pungkasnya.
Kontributor : Adi
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha