Ghuluw Menurut Pandangan Islam

PWMJATENG.COM – Dalam kehidupan beragama, semangat dan kesungguhan dalam menjalankan ajaran Islam adalah hal yang mulia. Namun, ketika semangat itu melampaui batas kewajaran hingga menimbulkan sikap berlebihan, maka muncullah apa yang disebut dengan ghuluw. Dalam Islam, ghuluw merupakan perilaku ekstrem dalam memahami, mengamalkan, atau menegakkan ajaran agama. Sikap ini bukanlah cerminan ketakwaan, melainkan bentuk penyimpangan dari jalan tengah yang diajarkan Islam.
Secara etimologis, ghuluw berasal dari kata غلا – يغلو – غلوًا yang berarti “melampaui batas” atau “berlebihan”. Dalam konteks keagamaan, ghuluw diartikan sebagai sikap berlebihan dalam beragama, baik dalam keyakinan, ucapan, maupun tindakan. Islam menegaskan bahwa agama ini dibangun atas keseimbangan (tawazun) dan kemudahan (taysir), bukan pada ekstremisme atau fanatisme sempit.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ
“Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” (QS. An-Nisa [4]: 171)
Ayat ini merupakan teguran kepada umat terdahulu yang berlebih-lebihan dalam memuliakan nabi hingga menempatkannya pada derajat ketuhanan. Namun, pesan ini juga berlaku universal bagi umat Islam agar tidak melakukan hal serupa dalam mengamalkan ajaran agama.
Rasulullah saw. juga memperingatkan bahaya ghuluw dalam sabdanya:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
“Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama, karena yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah sikap berlebihan dalam beragama.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)
Hadis ini menegaskan bahwa ghuluw dapat menjerumuskan umat pada kehancuran moral dan spiritual. Mereka yang terjebak dalam ghuluw biasanya menilai diri paling benar dan menganggap orang lain salah, bahkan tidak jarang mengkafirkan sesama Muslim.
Dalam sejarah Islam, sikap ghuluw melahirkan berbagai bentuk penyimpangan. Misalnya, kelompok Khawarij yang muncul pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka dikenal sangat keras dan tekstual dalam memahami hukum agama, hingga menghalalkan darah sesama Muslim yang berbeda pendapat. Padahal, Islam sejatinya mengajarkan keseimbangan antara teks dan konteks, antara syariat dan hikmah.
Baca juga, Muhammadiyah Umumkan Jadwal Puasa Ramadan 2026, Catat Tanggal Resminya!
Ulama besar seperti Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa ghuluw adalah salah satu sumber fitnah terbesar dalam agama. Ia menulis bahwa “setiap kali seseorang melampaui batas dalam beragama, ia akan meninggalkan sunnah Rasulullah dan terjerumus dalam kesesatan.” Oleh karena itu, ketaatan dalam Islam harus disertai pemahaman yang mendalam, bukan fanatisme buta.
Konsep moderasi (wasathiyyah) menjadi penawar dari bahaya ghuluw. Islam menghendaki umatnya untuk bersikap tengah-tengah, tidak ekstrem ke kanan atau ke kiri. Allah Swt. berfirman:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu umat yang pertengahan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143)
Umat Islam diharapkan menjadi teladan dalam menegakkan keadilan, keseimbangan, dan toleransi. Dengan bersikap moderat, seseorang dapat menjalankan agama dengan bijak tanpa kehilangan semangat keimanannya.
Pada era modern, ghuluw sering muncul dalam bentuk baru—baik melalui sikap fanatik terhadap kelompok tertentu, penolakan terhadap perbedaan pandangan, maupun penggunaan kekerasan atas nama agama. Padahal, Nabi Muhammad saw. selalu mencontohkan kelembutan, toleransi, dan kasih sayang dalam berdakwah.
Dengan demikian, ghuluw bukanlah tanda keteguhan iman, melainkan ketidakseimbangan dalam memahami ajaran Islam. Seorang Muslim sejati adalah mereka yang berpegang teguh pada prinsip wasathiyyah—beragama dengan penuh cinta, hikmah, dan kebijaksanaan. Hanya dengan cara inilah Islam akan tetap memancarkan rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya [21]: 107)
Melalui pemahaman yang seimbang dan moderat, umat Islam dapat menjaga kemurnian ajaran, menolak ekstremisme, serta menebarkan kedamaian sesuai dengan nilai-nilai luhur Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha