Blunder Pergantian Pelatih Timnas Indonesia dan Gagalnya Mimpi Indonesia ke Piala Dunia 2026

Blunder Pergantian Pelatih Timnas Indonesia dan Gagalnya Mimpi Indonesia ke Piala Dunia 2026
Oleh : Prima Trisna Aji (Dosen prodi Spesialis Medikal bedah Universitas Muhammadiyah Semarang)
PWMJATENG.COM – Kegagalan Timnas Indonesia melangkah ke Piala Dunia 2026 usai ditundukkan Timnas Arab Saudi dan Timnas Irak bukan sekadar hasil di atas lapangan saja. Banyak yang menilai, kegagalan ini merupakan buah dari keputusan terburu-buru yang diambil oleh pengurus PSSI khususnya pergantian pelatih di tengah perjalanan kualifikasi Piala Dunia 2026.
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, sebelumnya menyampaikan bahwa pergantian pelatih Shin Tae-yong (STY) ke Patrick Kluivert adalah langkah “berisiko tapi penuh harapan” agar peluang lolos ke Piala Dunia 2026 tetap terbuka. Namun, hasil di lapangan berkata lain. Risiko itu justru menjadi bumerang yang menutup kesempatan emas Indonesia mencatat sejarah baru.
Secara empiris, banyak penelitian dan catatan menunjukkan bahwa pergantian pelatih di tengah kompetisi besar jarang menghasilkan kebangkitan timnas. Adaptasi taktik, perbedaan filosofi permainan, hingga ketidakharmonisan ruang ganti sering kali justru menurunkan performa. Hal inilah yang terlihat jelas dalam performa Timnas Indonesia dibawah asuhan Patrick Kluivert.
Kluivert sendiri datang dengan reputasi yang jauh dari kata meyakinkan. Karier kepelatihannya di sejumlah klub dan tim nasional sebelumnya tidak mencatatkan prestasi signifikan. Pemilihan Kluivert sebagai pelatih utama Timnas Indonesia menimbulkan tanda tanya besar: apakah keputusan ini benar-benar berdasarkan kompetensi, atau hanya pertimbangan citra dan nama besar semata?
Di sisi lain, Shin Tae-yong telah membangun pondasi kuat sepak bola nasional. Di bawah arahannya, Timnas Indonesia melesat dalam ranking FIFA, tampil impresif di berbagai ajang Asia, bahkan menembus semifinal Piala Asia U-23 prestasi yang belum pernah diraih sebelumnya. Lebih dari itu, STY berhasil menumbuhkan kembali kebanggaan masyarakat terhadap Tim Garuda. Siapa yang bisa melupakan momen heroik saat Timnas Indonesia menyingkirkan Korea Selatan lewat adu penalti di Piala Asia U-23? Itu bukan sekadar kemenangan, melainkan simbol kebangkitan.
Sayangnya, semua pondasi itu seolah diabaikan begitu saja. Pergantian pelatih dilakukan tanpa komunikasi yang elegan, bahkan terkesan tidak hormat serta tidak beradab. Kini, setelah kegagalan melangkah ke Piala Dunia 2026, publik berhak menuntut pertanggungjawaban. Tidak cukup dengan alasan “semua butuh proses” atau “pembangunan jangka panjang.” Proses itu sudah dimulai oleh STY dan justru diputus secara sepihak.
Baca juga, Muhammadiyah Umumkan Jadwal Puasa Ramadan 2026, Catat Tanggal Resminya!
Patrick Kluivert pun dinilai gagal membaca karakter pemain Indonesia. Lini tengah yang ditempati Klok dan Beckham tampil tanpa ritme dan kreativitas, menyebabkan permainan Indonesia mudah ditekan ketika bermain Ronde 5 melawan Timnas Arab Saudi. Selain itu, tensi tinggi antar pemain di lapangan menjadi sinyal bahwa manajemen ruang ganti Timnas Indonesia tidak berjalan baik.
Sementara itu, para pemain terutama diaspora yang telah berkorban meninggalkan karier di luar negeri demi merah putih layak mendapat apresiasi. Mereka bukan pihak yang bersalah. Mereka telah berjuang di bawah sistem yang tidak stabil dan penuh intervensi kebijakan.
Kini publik menuntut kejelasan. Siapa yang akan bertanggung jawab atas kegagalan ini? Jika Ketua Umum PSSI Erick Thohir dulu berani mengambil keputusan besar dengan dalih memperbesar peluang lolos ke Piala Dunia tahun 2026, maka kini sudah seharusnya ia juga berani bertanggung jawab atas hasil kegagalan ini semua.
Sepak bola Indonesia telah menjadi semangat kolektif bangsa, dari kampung hingga kota besar. Ketika rakyat bangun subuh hanya untuk menyaksikan Timnas Garuda bertanding, itu bukan sekadar olahraga akan tetapi itu bentuk cinta. Karena itu, keputusan yang mengubur mimpi ratusan juta warga Indonesia tak bisa dijawab dengan sekadar pernyataan “proses belum selesai”.
Lebih baik gagal bersama konsistensi dan arah yang jelas, daripada hancur karena keputusan yang penuh ego dan minim pertimbangan teknis. Kegagalan kali ini harus menjadi pelajaran besar: jangan pernah mengorbankan visi jangka panjang demi kepentingan sesaat.
Ketua Umum PSSI Erick Thohir harus bertanggung jawab tampil ke public menjelaskan ini semua dan Pelatih Patrick Kluivert harus mengundurkan diri. Ingat warga Indonesia tidak mempunyai kepentingan politik, karena Masyarakat Indonesia hanya ingin melihat Timnasnya tampil baik, senang dan Bahagia dengan permainan yang cantik meskipun kalah. Jangan salahkan ekspektasi Masyarakat Indonesia, karena Masyarakat Indonesia hanya ingin menikmati Timnas mereka berjalan dengan baik, bersih dan tanpa campur tangan politik.
Kalau ada yang bilang “Ini Adalah Project Erick Thohir mau dikemanakan Timnas kita, itu hak Erick Thohir”, kata tersebut Adalah salah besar karena Timnas Indonesia Adalah milik semua warga Indonesia bukan milik individu atau klub Sepak bola. Ini bukan Project siapapun, akan tetapi Timnas Indonesia Adalah milik semua warga Indonesia bukan Individu. Kita menonton Timnas Indonesia membayar tiket sendiri, berangkat tandang juga bayar sendiri dan membayar Pajak.
Publik sepak bola Indonesia pantas mendapatkan transparansi, akuntabilitas, dan kepemimpinan yang visioner. Karena cinta terhadap Timnas Garuda bukan sekadar soal menang atau kalah, tetapi tentang kejujuran dan tanggung jawab pada setiap keputusan yang diambil atas nama bangsa Indonesia.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha



