Memahami Zakat sebagai Ibadah Sosial, Keadilan Distributif, dan Jalan Memanusiakan Sesama

PWMJATENG.COM – Zakat merupakan salah satu pilar utama dalam ajaran Islam. Dalam Al-Qur’an, perintah menunaikan zakat kerap disebut bersamaan dengan perintah salat, sebagaimana firman Allah “Aqīmu al-shalāta wa ātū al-zakāta” (dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat). Salat melambangkan hubungan vertikal manusia dengan Allah, sedangkan zakat menjadi simbol keharmonisan hubungan antarsesama manusia. Karena itu, zakat tidak hanya dimaknai sebagai ibadah ritual, tetapi juga sebagai manifestasi kebajikan sosial dan kesalehan individual.
Keislaman seseorang dianggap belum sempurna jika tidak diwujudkan dalam amal sosial melalui zakat. Sejarah mencatat, Abu Bakar ash-Shiddiq pernah memerangi kelompok yang enggan menunaikan zakat, sedangkan Umar bin Khattab memerintahkan membakar rumah umat Islam yang menolak kewajiban ini. Para ulama fikih klasik pun memberi perhatian besar terhadap zakat, membahasnya secara mendalam mulai dari syarat, subjek, hingga penerima zakat.
Namun demikian, dimensi filosofis zakat sering kali luput dari perhatian. Akibatnya, zakat hanya dipahami sebatas kewajiban tahunan tanpa makna reflektif. Padahal, para ulama baik klasik maupun kontemporer telah menyingkap makna filosofis zakat agar umat Islam merenungi kembali hakikat harta dan tanggung jawab sosial di dalamnya.
Makna Teologis
Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah menciptakan alam semesta dari ketiadaan (QS. Al-Baqarah: 117) dan menatanya secara sempurna (QS. Al-An’am: 102). Sebagai Pencipta dan Pemilik mutlak (QS. Al-Nisa’: 131), Allah menugaskan manusia sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30) dengan tanggung jawab untuk memakmurkannya (QS. Hud: 61). Dalam misi tersebut, Allah menyediakan seluruh kebutuhan manusia, seperti udara, air, tumbuhan, dan sumber daya alam lainnya (QS. Qaf: 7–11; QS. An-Nahl: 14).
Segala kekayaan di bumi sejatinya milik Allah, sementara manusia hanya diberi hak untuk mengelola dan memanfaatkannya (QS. Thaha: 20). Kepemilikan manusia bersifat nisbi dan merupakan amanah yang harus dijalankan sesuai ketentuan syariat (QS. Al-Hadid: 7). Karena itu, di dalam setiap harta terdapat hak orang lain (QS. Adz-Dzariyat: 19). Zakat pun hadir sebagai wujud kesadaran bahwa sebagian dari kekayaan yang dimiliki bukan sepenuhnya milik pribadi, melainkan ada hak kaum dhuafa dan mustadh’afin (QS. At-Taubah: 60).
Baca juga, Muhammadiyah Umumkan Jadwal Puasa Ramadan 2026, Catat Tanggal Resminya!
Secara etimologis, kata zakat bermakna suci, tumbuh, berkah, dan terpuji. Dalam pengertian syar‘i, sebagaimana dijelaskan dalam Fikih Zakat Kontemporer Majelis Tarjih Muhammadiyah, zakat adalah ibadah wajib berupa pemberian sebagian harta tertentu kepada pihak yang berhak menerimanya sesuai ketentuan syariat Islam.
Makna Kemanusiaan
Zakat berfungsi sebagai instrumen sosial untuk mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan ekonomi. Islam melalui zakat menumbuhkan semangat kepedulian antara yang kaya dan miskin agar tercipta keseimbangan sosial. Hal ini menjadi pengingat agar umat Islam tidak tenggelam dalam hedonisme duniawi, sebab di dalam harta yang dimiliki ada kewajiban moral dan etis terhadap sesama.
Zakat juga merupakan bentuk kritik terhadap sistem kapitalisme yang menimbulkan kesenjangan sosial. Dalam sistem kapitalistik, kekayaan cenderung menumpuk pada segelintir orang, sementara masyarakat miskin semakin terpinggirkan. Melalui zakat, Islam menawarkan solusi sosial yang menata struktur masyarakat secara adil dan berkeadaban.
Makna Perubahan Sosial
Zakat tidak menganggap kemiskinan sebagai takdir yang tidak dapat diubah. Islam menegaskan bahwa kemiskinan dapat diatasi melalui distribusi kekayaan yang adil dan sistematis. Karena itu, zakat dipahami sebagai bentuk keadilan distributif, yaitu penataan ekonomi yang memastikan hak-hak orang lemah terpenuhi.
Majelis Tarjih Muhammadiyah menegaskan bahwa konsep keadilan dalam Islam bukan sekadar keadilan distributif, tetapi keadilan distributif-terkoreksi, yakni keadilan yang memperhatikan kaum mustadh’afin—mereka yang tertindas secara struktural maupun ekonomi.
Al-Qur’an menegaskan, “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” (QS. Adz-Dzariyat: 19). Dalam ayat lain dijelaskan agar umat Islam menafkahkan sebagian dari harta yang baik (QS. Al-Baqarah: 267) dan memperingatkan bahaya menimbun kekayaan (QS. At-Taubah: 34–35).
Dengan demikian, zakat bukan sekadar kewajiban ritual, melainkan sarana untuk memperkuat solidaritas sosial, menegakkan keadilan ekonomi, dan menumbuhkan rasa kemanusiaan yang sejati.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha