Memakmurkan Masjid sebagai Wujud Kesetiaan kepada Allah

PWMJATENG.COM – Dalam sebuah tausiyah di hadapan jamaah, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Jumari, menekankan pentingnya memakmurkan masjid. Menurutnya, perintah Al-Qur’an bukanlah untuk memewahkan masjid dengan kemegahan fisik semata, melainkan untuk memakmurkannya dengan ibadah, kegiatan keilmuan, serta amal kebaikan.
Ia merujuk pada Surah At-Taubah ayat 17–18 yang menegaskan bahwa orang musyrik tidak mungkin mampu memakmurkan masjid. Allah berfirman:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ ٱللَّهِ مَنْ آمَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْآخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا ٱللَّهَ
Artinya: “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut kepada siapa pun selain kepada Allah.” (QS. At-Taubah: 18)
Jumari menegaskan, musyrik adalah orang yang “memperselingkuhkan Allah dengan sesuatu selain-Nya.” Ia menganalogikan bahwa orang musyrik bagaikan pasangan yang berkhianat. “Kalau selingkuh dengan manusia saja disebut tidak setia, apalagi jika memperselingkuhkan Allah,” ujarnya. Karena itu, orang musyrik disebut sebagai orang yang “kurang ajar kepada Allah” sehingga tidak layak menjadi pemakmur masjid.
Menurut Jumari, ayat tersebut memberi petunjuk tentang ciri orang yang benar-benar beriman. Pertama, mereka senantiasa hati-hati dalam hidup. Orang yang beriman sadar bahwa setiap langkahnya selalu diawasi oleh Allah. Kesadaran inilah yang menjadikan mereka tidak sembrono, tidak berputus asa, dan selalu bersemangat. “Orang yang gampang putus asa berarti kurang percaya kepada Allah. Kita punya Allah yang melindungi, maka tidak ada alasan untuk nglokro,” katanya.
Kedua, orang beriman tidak sombong. Mereka menyadari bahwa keberhasilan apa pun tidak mungkin terjadi tanpa izin Allah. Karena itu, kesombongan justru menjadi tanda lemahnya iman.
Ketiga, keimanan juga melahirkan kebahagiaan. Bagi Jumari, seorang mukmin yang benar pasti merasa tenteram, sebab kepercayaannya kepada Allah dan hari akhir membuat hidup lebih ringan dijalani.
Keempat, orang yang beriman kepada hari akhir tidak berani berbuat maksiat. Keyakinan adanya pertanggungjawaban di akhirat mencegah mereka dari tindakan yang menyalahi aturan Allah. “Kalau masih berani maksiat, berarti antara ucapan dan keyakinan tidak sejalan,” tegasnya.
Selain iman, tanda berikutnya adalah mendirikan salat. Jumari menekankan bahwa mendirikan salat bukan sekadar melaksanakannya secara ritual, tetapi juga menjaga konsistensi dalam mengingat Allah dan menjauhi maksiat setelah salat. “Kalau orang rajin salat, mestinya waktunya habis untuk kebaikan. Tidak sempat lagi melakukan maksiat,” jelasnya.
Selanjutnya, orang yang memakmurkan masjid juga ditandai dengan kesadaran menunaikan zakat. Jumari menuturkan bahwa zakat bukan hanya kewajiban sosial, melainkan bentuk pengakuan terhadap kemurahan Allah. “Kalau enggan membayar zakat, berarti belum sungguh-sungguh dalam memakmurkan masjid. Sebaliknya, orang yang rutin menunaikan zakat menjadikan kebaikan sebagai karakter,” ungkapnya.
Ia mengingatkan bahwa zakat dalam Al-Qur’an memiliki tingkatan. Ada yang ditarik secara paksa oleh negara, ada yang diserahkan secara sukarela, dan ada pula yang sudah menjadi karakter sehingga dikerjakan bahkan dengan cara prabayar. “Kalau sudah sampai level zakat prabayar, artinya kesadaran kita sangat tinggi. Ganjarannya surga firdaus,” tambahnya.
Baca juga, Berita Resmi: Tanfidz Musywil II-III Majelis Tarjih PWM Jawa Tengah
Tanda terakhir pemakmur masjid adalah tidak takut kepada siapa pun selain Allah. Menurut Jumari, orang yang takut hanya kepada Allah tidak akan terikat oleh kepentingan duniawi. Keberanian moral inilah yang menjadi fondasi gerakan dakwah Islam, termasuk Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.
Dalam konteks keseharian, memakmurkan masjid berarti menghidupkan salat berjamaah, menjaga ukhuwah, dan menghadirkan kemaslahatan bagi masyarakat luas. Masjid, menurutnya, tidak boleh eksklusif hanya untuk orang yang rajin hadir. Bahkan mereka yang jarang datang pun tetap berhak merasakan manfaatnya.
“Allah saja memberi rezeki kepada orang yang taat maupun yang tidak taat. Maka, sebagai pengurus masjid, jangan sampai kita pilih kasih. Semua harus merasakan keberkahan,” tegasnya, sembari mengutip firman Allah:
وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ
Artinya: “Berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS. Al-Qasas: 77)
Di bagian akhir tausiyah, Jumari menyinggung pentingnya menghilangkan sifat dengki agar persaudaraan sesama muslim terjalin dengan baik. Ia mengutip Surah Al-Hijr ayat 45–47 yang menggambarkan kehidupan orang bertakwa di surga, di mana Allah menghilangkan segala kedengkian dari hati mereka.
وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَىٰ سُرُرٍ مُّتَقَابِلِينَ
Artinya: “Kami cabut segala rasa dengki yang ada di dalam hati mereka, sehingga mereka bersaudara, duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.”
Bagi Jumari, dengki adalah penyakit sosial yang memicu perpecahan. Ia menyebutnya sebagai “SMS: Senang Melihat orang Susah dan Susah Melihat orang Senang.” Karena itu, memakmurkan masjid juga berarti membangun ukhuwah tanpa kedengkian, sehingga jamaah benar-benar menjadi keluarga yang saling menguatkan.
Sebagai penutup, Jumari mengingatkan agar umat beragama, khususnya warga Muhammadiyah, tidak berislam dengan sikap setengah hati. Ia mengutip Surah Al-Hajj ayat 11 tentang orang yang beribadah hanya di tepian, yang mudah berpaling ketika diuji.
Menurutnya, agama harus dijalani dengan motivasi utama berupa cinta. “Kalau bermuhammadiyah dengan cinta, meskipun ada hal yang mengecewakan, kita tetap bertahan. Karena cinta melahirkan pengabdian dan pengorbanan,” ujarnya.
Dengan demikian, memakmurkan masjid bukan hanya soal hadir secara fisik, tetapi juga menghadirkan iman yang kokoh, salat yang tegak, zakat yang ikhlas, keberanian moral, serta ukhuwah tanpa dengki. Semua itu hanya mungkin terwujud bila dijalani dengan cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha