Khazanah Islam

Poligami: Problem atau Solusi

Oleh : Drs. H. Wahyudi, M.Pd. (Wakil Ketua PWM Jawa Tengah; Dosen UIN Walisongo Semarang)

PWMJATENG.COM – Islam tidak melarang umatnya untuk melakukan poligami, demikian pula Islam juga tidak memerintahkan umatnya untuk melakukan poligami. Dalam Islam, poligami dibolehkan (mubah) sama halnya dengan hukum asal dari pernikahan, namun dengan beberapa keadaan dapat berubah menjadi sunah, bisa menjadi wajib dan bahkan dapat menjadi haram (Darmawijaya & Sani, 2017).

Dalam surat An-Nisa’ (3), “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Berdasarkan ayat di atas, poligami diperbolehkan dengan syarat; pertama yakni jumlah istri dibatasi, hanya diperbolehkan empat orang istri saja tidak boleh lebih. Kedua, dapat berlaku adil terhadap keempat istrinya. Pengertian adil di sini merupakan hal utama untuk seseorang yang akan melaksanakan poligami. Syarat inilah yang sulit untuk ditegakkan apabila menjalankan poligami dalam kehidupan berumah tangga. Adil meliputi banyak hal, yakni: nafkah, makan dan minum, tempat tinggal, kasih sayang dan juga pembagian waktu yang sama bagiannya. Ketiga, mampu menjaga serta melindungi seluruh istri (Aziz & Ramlan, 2018).

Meskipun Islam sudah menjelaskan secara gamblang tentang poligami, praktek poligami dalam masyarakat masih menjadi perbincangan yang kontroversial. Sebagaimana sebuah survey yang dilakukan Goethe Institut, Friedrich Nauman Stiftung dan Fur Die melakukan survey tentang poligami dari 1496 orang, 0.8% sangat setuju dengan poligami, 12.7% setuju dengan poligami, 52.9% menolak poligami, 32.9% sangat menentang poligami dan 0.6% abstain. Dari hasil survey tersebut dapat dilihat bahwa setengah dari hasil survey menyatakan menolak dan dapat disebut dengan kurangnya penerimaan di kalangan masyarakat mengenai poligami (Goethe Institute, 2010)

Baca juga, Hukum Gaji yang Didapatkan dari Pekerjaan Lewat Jalur Ordal

Dari sisi sejarah, hampir seluruh raja-raja dari Kerajaan Islam Nusantara melakukan praktik poligami. Bahkan poligami sering dianggap sebagai simbol kejayaan dan status sosial tinggi, mencerminkan kemakmuran serta kekuatan spiritual. Contohnya adalah pendiri Kesultanan Demak, Raden Patah, yang menjadi raja Islam pertama di Pulau Jawa, raja-raja Mataram, dan kesultanan Banten.

Dalam ajaran Kristen Ortodoks disebutkan bahwa seorang Kristen yang sejati diharuskan untuk memiliki beberapa orang istri dan juga disebutkan dalam aliran Mormon bahwa poligami merupakan sebuah aturan yang berasal dari Tuhan. Para kaum Anabaptis dan sekte Mormon meyakini dan mendakwahkan ajaran tentang poligami bahkan beberapa Uskup masih mendukung terhadap praktik poligami yang berada di Afrika dengan berpijak atas dasar modal dan pertimbangan yang lainnya. (Prakash A Shah: 2003).

Imam Al-Maraghi menyatakan poligami diperbolehkan tetapi dalam pelaksanaannya dipersulit. Menurutnya berpoligami diperbolehkan dalam keadaan benar-benar dibutuhkan dan dilakukan bagi mereka yang benar-benar membutuhkannya, yakni dengan berpegangan kepada kaidah fiqih dia mengemukakan “dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih” (menolak yang berbahaya harus didahulukan daripada mengambil yang bermanfaat). Hal ini ditujukan untuk dapat memperhatikan bahwa dalam melakukan poligami haruslah berhati-hati, yakni: 1) Istri tidak dapat hamil/mandul; 2) Suami yang mempunyai gairah seks yang kuat sehingga istri tidak dapat melayaninya sesuai dengan kemampuan suami. 3) Adanya harta yang dapat membiayai banyak orang yakni keluarga besarnya; 4) Banyaknya perempuan dari pada kuantitas pria yang mana diakibatkan mati dalam pertempuran perang, sehingga banyak anak yang kehilangan ayah serta istri yang kehilangan suaminya yang memerlukan biaya akan hidup (Al-Maraghi, 1969).

Sayyid Qutub memandang poligami sebagai suatu perbuatan rukhshah. Karena itu, poligami hanya bisa dilakukan dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan adanya sikap adil kepada para isteri. Dalam UU No. 1 Th. 1974 pasal 3 ayat (2) dijelaskan bahwa seorang suami diperbolehkan beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan mendapat izin dari pengadilan. Adapun alasan-alasan yang dijadikan pedoman oleh pengadilan untuk memberi izin poligami ditegaskan pada pasal 4 ayat (2), yaitu: 1) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; 2) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan 3) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Praktek poligami meskipun syaratnya sangat berat, namun pada hakikatnya bahwa poligami merupakan jalan keluar atau pintu darurat dari masalah yang tengah di hadapi keluarga. Maka jika dilihat dari Wahdatul Uluum akan poligami, maka dapat diketahui bahwa poligami merupakan jalan keluar dari permasalahan yang di hadapi, dan keluar apabila dijalankan dengan baik. Sehingga dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang telah di atur oleh Allah, khususnya pada surat An-Nisa’ ayat 3 pasti memiliki tujuan yang baik dan benar. Maka poligami bukanlah menjadi problem tetapi solusi alternatif untuk memecahkan masalah.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE