Muhammad Sang Yatim

PWMJATENG.COM – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, dalam sebuah tausiyahnya menegaskan bahwa memahami masa kecil Nabi Muhammad sebagai anak yatim merupakan pintu masuk untuk mengerti misi kenabiannya. Ia menyampaikan bahwa saat Nabi Muhammad masih kecil, ia lebih tepat disebut sebagai seorang anak bernama Muhammad, bukan langsung sebagai nabi. Menurutnya, kehidupan Muhammad kecil yang penuh keterbatasan telah membentuk kepribadian yang kelak menjadi teladan bagi umat.
“Perjalanan hidup Muhammad hingga menjadi nabi panutan tentu karena kuasa Allah. Namun sebagai seorang manusia, beliau mengalami pergulatan sosiologis dan psikologis yang tidak ringan,” ujarnya. Abduh juga merujuk pada karya Leslie Hazleton, seorang psikolog sekaligus mantan wartawan New York Times. Hazleton menulis biografi Nabi Muhammad dari perspektif psikologis, termasuk soal kepemimpinannya dan pengalaman masa kecilnya sebagai yatim.
Dalam masyarakat Arab pra-Islam, status anak yatim sangat memprihatinkan. Mereka dipandang lemah karena tidak memiliki pelindung. Dalam sistem kesukuan, seorang ayah adalah penopang ekonomi sekaligus penjaga martabat. Tanpa itu, anak yatim sering kali tersisih, diejek, bahkan tidak jarang menjadi korban penindasan. Abduh menjelaskan, anak yatim pada masa itu bisa diibaratkan seperti orang tanpa kewarganegaraan di era modern: tanpa pelindung, tanpa jaminan, dan rentan dieksploitasi.
Al-Qur’an sendiri menyinggung perlakuan buruk terhadap anak yatim, termasuk kecaman terhadap orang-orang yang merampas hak mereka. Firman Allah dalam surat Adh-Dhuha menjadi pengingat langsung kepada Nabi Muhammad:
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” (QS. Adh-Dhuha: 6).
Ayat ini menegaskan bahwa perlindungan sejati bagi Nabi Muhammad datang dari Allah, bukan dari sistem sosial yang timpang.
Sejak lahir, Muhammad telah kehilangan ayahnya, Abdullah. Ibunya, Aminah, juga wafat ketika ia berusia enam tahun. Sebelum itu, ia sempat diasuh oleh Halimah Sa’diyah, seorang perempuan miskin dari suku Badui. Keputusan Halimah menerima Muhammad meski tanpa jaminan materi justru menghadirkan berkah. Kehidupan Muhammad di padang pasir bersamanya membentuk ketangguhan, ketajaman pengamatan, dan kedekatan dengan alam.
Pengalaman sebagai penggembala kambing juga mengasah insting kepemimpinan. Abduh menegaskan bahwa dalam bahasa Arab, seorang pemimpin disebut ra’in, yang berarti gembala. Tradisi para nabi sebagai penggembala merupakan latihan hidup yang melatih kesabaran, kewaspadaan, dan tanggung jawab.
Baca juga, Masyarakat Islam: Rumusan, Ciri, dan Relevansinya dalam Kehidupan Modern
Setelah Aminah wafat, Muhammad kecil diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Namun, usia Abdul Muthalib yang renta membuat pengasuhan itu tidak berlangsung lama. Dua tahun kemudian, Muhammad berada di bawah asuhan pamannya, Abu Thalib. Perpindahan pengasuhan berulang kali ini membuat Muhammad tumbuh dengan perasaan keterasingan, namun sekaligus membentuk kemandirian batinnya.
Pengalaman hidup Nabi Muhammad sebagai yatim jelas tercermin dalam ajaran Islam. Surah Al-Ma’un secara tegas mengaitkan kepedulian terhadap yatim dan miskin dengan keimanan seseorang:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ * فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim.” (QS. Al-Ma’un: 1–2).
Abduh menekankan bahwa mendustakan agama tidak hanya sebatas menolak kitab suci, melainkan juga menutup mata terhadap penderitaan sosial. “Orang yang salat setiap hari, bahkan berhaji berkali-kali, tetapi tidak peduli pada anak yatim dan orang miskin, sesungguhnya termasuk pendusta agama,” tegasnya.
Selain yatim dalam pengertian biologis, Abduh juga mengangkat istilah “yatim sosiologis”. Ia mencontohkan petani yang selalu dirugikan oleh sistem ekonomi: saat panen harga anjlok, pupuk mahal, dan hasil kerja mereka sering tidak dihargai. Mereka tidak memiliki perlindungan memadai dari negara maupun pasar. Kondisi ini, menurutnya, sama dengan keterlantaran anak yatim dalam masyarakat jahiliah.
Keterhubungan antara pengalaman Nabi Muhammad dan realitas sosial kontemporer menjadi refleksi penting. Islam tidak hanya menekankan ibadah ritual, tetapi juga menuntut kepekaan sosial. Bahkan, kata Abduh, indikator keberagamaan seseorang dapat diukur dari sikapnya terhadap kaum lemah, termasuk anak yatim dan fakir miskin.
Sejak kecil, Muhammad terbiasa dengan rasa kesendirian. Ia kerap merasa menjadi beban karena tidak memiliki ayah. Dalam perjalanannya, keterasingan itu justru melahirkan religiusitas mendalam. Abduh menyebutkan bahwa sejak dini, Muhammad mengarahkan harapannya hanya kepada Allah. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam surat Adh-Dhuha:
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى * وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى
“Dan Dia mendapatimu bingung, lalu Dia memberi petunjuk. Dan Dia mendapatimu kekurangan, lalu Dia mencukupimu.” (QS. Adh-Dhuha: 7–8).
Ayat-ayat ini bukan hanya peneguhan bagi Nabi, melainkan juga pedoman bagi umat Islam untuk tidak melupakan asal-usul dan selalu berpihak kepada mereka yang tertindas.
Menurut Abduh, peringatan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad agar tidak melupakan masa kecilnya sebagai yatim menjadi pesan universal. “Pemimpin mana pun semestinya ingat asal-usulnya. Jika dari rakyat kecil, maka perjuangkanlah kepentingan rakyat kecil. Jangan sampai setelah berkuasa, justru melupakan mereka,” ungkapnya.
Di tengah kehidupan modern, wajah kemiskinan masih tampak jelas, misalnya di perempatan jalan yang dipenuhi pengamen, badut, dan anak-anak jalanan. Fenomena ini menjadi cermin bahwa kemiskinan masih nyata di sekitar kita. Angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak serta-merta menghapus kenyataan sosial tersebut.
Narasi kehidupan Nabi Muhammad sebagai yatim tidak hanya menggambarkan sisi sejarah, tetapi juga memberikan dasar etika sosial dalam Islam. Dari pengalaman kesendirian hingga keberhasilan menjadi pemimpin, beliau mengajarkan bahwa kekuatan seorang manusia bukan terletak pada harta atau perlindungan keluarga, melainkan pada keteguhan hati dan pertolongan Allah.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha