“Haji Sabar”, Cara Baru Muhammadiyah Redam Kesan Dakwah yang Elitis

PWMJATENG.COM, Semarang – Di tengah kompleks Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah, Masjid At Taqwa berdiri megah dengan wajah modern. Proyektor kerap menjadi pusat perhatian jamaah dalam pengajian. Suasana itu seolah menggambarkan corak dakwah Muhammadiyah: intelektual, serius, dan cenderung formal. Namun, di balik kemegahan tersebut, muncul pertanyaan dari kalangan pimpinan, “Sudahkah kita benar-benar menyentuh hati mereka yang lelah?”
Pertanyaan itu mencerminkan kegelisahan sebagian tokoh Muhammadiyah. Fachrur Rozi, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang, mengaku prihatin dengan kondisi dakwah saat ini. Ia menilai pendekatan yang terlalu akademis justru membuat sebagian masyarakat merasa jauh dari pengajian.
“Selama ini, dakwah kita dianggap elitis. Masyarakat umum sebetulnya butuh ketenangan spiritual, bukan sekadar teori atau presentasi panjang,” kata Fachrur Rozi, baru-baru ini.
Menurutnya, citra dakwah yang terlalu formal dengan proyektor LCD dan presentasi PowerPoint kerap menciptakan kesan bahwa pengajian hanya untuk kalangan terpelajar. “Banyak warga merasa sungkan hadir karena pengajian kita terlalu ilmiah,” tambahnya.
Berangkat dari keprihatinan itu, dosen Fakultas Dakwah UIN Walisongo tersebut merintis konsep pengajian baru bernama Haji Sabar, singkatan dari Habis Ngaji Sarapan Bareng. Ia menyebutnya sebagai antitesis dari model dakwah yang kaku.
Dalam forum Haji Sabar, Fachrur Rozi tidak tampil sebagai akademisi, melainkan seperti kiai kampung yang membaur dengan jamaah. Ia menyelipkan selawat, pantun, cerita, hingga anekdot ringan. “Pengajian tidak perlu panjang, cukup lima belas menit. Setelah itu bisa dilanjutkan dengan ngobrol santai berjam-jam. Dari situ kesadaran akan tumbuh perlahan,” jelasnya.
Konsep ini, menurutnya, sejalan dengan gagasan dakwah kultural Muhammadiyah yang sudah lama didengungkan. Suasana cair dan penuh kebersamaan membuat pengajian lebih mudah diterima masyarakat luas.
Baca juga, Mensucikan Allah dan Makna Munasabah Ayat: Menyelami Kedalaman Surah Al-Isra
Fachrur menegaskan, dai Muhammadiyah perlu mengubah pola pikir. “Dai harus siap turun langsung tanpa menjaga jarak dengan masyarakat,” ujarnya. Ia mencontohkan Buya AR Fachrudin sebagai teladan. Buya, kata dia, tidak menolak tradisi yasinan di kampung, melainkan menjelaskan makna surat Yasin dengan cara yang menyentuh. “Akhirnya masyarakat bisa menerima perlahan,” kenangnya.
Dari refleksi itu, Fachrur membedakan dua model pengajian. Pertama, pengajian pimpinan yang membahas persoalan serius, seperti program organisasi atau keuangan. Kedua, pengajian umum untuk jamaah, yang seharusnya lebih ringan, hangat, dan sesuai kebutuhan masyarakat. “Pengajian umum harus jadi magnet yang mampu merangkul masyarakat luas,” katanya.
Dengan cara tersebut, Muhammadiyah diyakini tetap bisa mempertahankan identitas intelektualnya sekaligus menyapa kalangan akar rumput. Dakwah tidak lagi berjarak, melainkan hadir sebagai rumah spiritual yang menenangkan.
Meski menghadapi tantangan, Fachrur optimistis. Menurutnya, pembenahan harus dimulai dari hulu, yaitu pendidikan dai. “Sekolah tabligh diharapkan bisa melahirkan dai Muhammadiyah yang siap ngemong masyarakat,” ujarnya penuh harap.
Ia menekankan pentingnya kurikulum dakwah yang aplikatif. Bukan sekadar teori, tetapi pembekalan nyata yang membuat dai mampu membaur dengan masyarakat. “Dai perlu jadi teladan yang dekat, bukan sekadar penceramah dengan teori tinggi,” tambahnya.
Di akhir perbincangan, Fachrur sempat terdiam sejenak sebelum melepaskan senyum tipis. Optimisme terpancar dari wajahnya. “Dengan suasana pengajian yang nyaman dan kebersamaan yang kuat, Muhammadiyah akan lebih mudah merangkul masyarakat. Itulah cara kita memperkuat peran di tengah umat,” pungkasnya.
Kontributor : Agung
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha