BeritaPWM Jateng

Guru Besar Bukan Sekadar Gelar, Tafsir Ingatkan Amanah Besar untuk Umat dan Bangsa

PWMJATENG.COM, Semarang – Gelar akademik tertinggi di dunia pendidikan tinggi, yakni Guru Besar, sering kali dipandang sebagai puncak pencapaian intelektual seseorang. Namun, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Tafsir, mengingatkan bahwa predikat tersebut bukan hanya kebanggaan personal, melainkan juga amanah besar yang melekat pada setiap pemegangnya. Pesan itu ia sampaikan dalam pidato saat pengukuhan Guru Besar Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus) pada Selasa (16/9).

Tafsir menegaskan bahwa seorang Guru Besar tidak boleh hanya puas dengan capaian akademiknya. Menurutnya, gelar tersebut harus melahirkan kontribusi nyata bagi Muhammadiyah, umat Islam, dan bangsa Indonesia. Ia menekankan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh berhenti sebagai tumpukan jurnal atau koleksi di perpustakaan, tetapi harus diterjemahkan dalam bentuk kebermanfaatan.

Dalam pidatonya, Tafsir menyebutkan bahwa visi pendidikan Muhammadiyah sejalan dengan gagasan Kementerian Sains dan Teknologi tentang kampus berdampak. Kampus, kata dia, harus menjadi pusat inovasi yang memberi manfaat langsung pada masyarakat. “Apa yang dihasilkan para Guru Besar harus memberikan dampak bagi Muhammadiyah, umat Islam, dan bangsa Indonesia. Ilmu tidak boleh berhenti di perpustakaan atau jurnal, tetapi harus bermanfaat, sesuai dengan visi Kementerian Sains dan Teknologi, yakni kampus berdampak,” ujar Tafsir dalam pidatonya.

Pandangan Tafsir mencerminkan filosofi Muhammadiyah yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan sebagai alat dakwah dan pemberdayaan umat. Dalam sejarahnya, Muhammadiyah tidak hanya membangun masjid atau rumah sakit, tetapi juga ratusan lembaga pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga universitas. Semua itu menjadi wadah untuk melahirkan intelektual Muslim yang berintegritas.

Dalam konteks itu, seorang Guru Besar memiliki posisi strategis. Ia bukan hanya simbol prestasi akademik, tetapi juga pemegang tanggung jawab moral dan sosial. Dengan ilmu yang dimilikinya, seorang Guru Besar diharapkan menjadi teladan dalam pemikiran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tafsir menilai bahwa jika seorang Guru Besar berhenti pada aspek formalitas, maka gelar tersebut kehilangan makna hakikinya.

Baca juga, Tafsir: Islamisasi Jawa Bukan Lewat Penaklukan Melainkan Pendekatan Budaya

Pandangan tersebut sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya ilmu yang bermanfaat. Nabi Muhammad SAW pernah berdoa agar dijauhkan dari ilmu yang tidak berguna. Dalam sebuah hadis diriwayatkan:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa ilmu harus menjadi sarana kemaslahatan, bukan sekadar pengetahuan yang berhenti pada teori. Dalam perspektif Islam, seorang alim atau cendekiawan memiliki tanggung jawab moral untuk menyebarkan pengetahuan yang bisa membimbing umat menuju kebaikan.

Al-Qur’an juga menyinggung hal serupa dalam surah Al-Mujadilah ayat 11:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Ayat ini memperlihatkan betapa tinggi kedudukan orang berilmu. Namun, ketinggian derajat tersebut mengandung konsekuensi tanggung jawab yang besar.

Dalam tradisi Muhammadiyah, ilmu pengetahuan selalu diposisikan sebagai instrumen dakwah dan perubahan sosial. Para Guru Besar yang lahir dari perguruan tinggi Muhammadiyah diharapkan menjadi motor penggerak transformasi masyarakat. Hal itu tidak hanya diwujudkan dalam penelitian akademis, tetapi juga dalam aksi nyata di lapangan.

Tafsir menekankan, keberadaan Guru Besar seharusnya memberi warna bagi gerakan Muhammadiyah di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Dengan kapasitas akademiknya, seorang Guru Besar dapat memberi pandangan yang mencerahkan dalam menghadapi problem bangsa, mulai dari isu kemiskinan, ketidakadilan sosial, hingga perkembangan teknologi yang cepat.

“Guru Besar itu harus menjadi garda terdepan dalam menjawab tantangan zaman. Jangan sampai kampus Muhammadiyah hanya menjadi menara gading yang terpisah dari realitas sosial,” ungkap Tafsir dalam pidatonya.

Konsep kampus berdampak yang disinggung Tafsir sejalan dengan arah kebijakan global pendidikan tinggi. Perguruan tinggi dituntut tidak hanya menghasilkan lulusan yang cerdas secara akademik, tetapi juga mampu menghadirkan solusi nyata bagi persoalan masyarakat.

Di era disrupsi teknologi, peran kampus semakin krusial. Inovasi penelitian dan pengembangan teknologi diharapkan mampu memperkuat daya saing bangsa. Dalam konteks itu, Guru Besar menjadi lokomotif utama. Tafsir menekankan bahwa pengabdian keilmuan harus dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat luas.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE