Khazanah Islam

Memaknai Maulid: Mengayuh di Antara Dua Karang (Bagian Pertama)

Memaknai Maulid: Mengayuh di Antara Dua Karang (Bagian Pertama)

Oleh : Prof. Dr. H. Ahwan Fanani, M.Ag. (Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah)

PWMJATENG.COM – Sejarah Peringatan Maulid dimulai pada abad ke-7 Hijriyah atau Abad ke-13 Masehi. Perayaan maulid dengan berkumpul bersama dimulai oleh Muzhaffar Abu Said Al Kaukabari bin Zainuddin Alin bin Bakhtarin, penguasa Irbil (sekarang sukatsh Kurdistan di Iraq). Muzhafar adalah suami Rabiah Khatun, saudara perempuan Shalahuddin al-Ayyubi.

Muzhaffar mengumpulkan banyak ulama, khususnya para sufi dan melakukan pembacaan Alquran maupun riwayat tentang Nabi Muhammad. Ia merayakan maulid bedar-besaran dengan menyembelih 5000 kambing, 10.000 ayam dan 100 kuda. Ia menyedekahkan uang untuk Makkah dan Madinah, seperti untuk penyediaan air.

Memang tidak semua ulama setuju dengan perayaan tersebut. Jalaluddin al-Suyuthi dalam karyanya Al-Hawi li al-Fatawa menguraikan cukup panjang masalah maulid ini, termasuk komtroversianya. Al-Suyuthi yang di Indonesia terkenal dengan karyanya Tafsir Jalalain adalah seorang ulama Syafi’iyyah. Meskipun ia mengikuti Ibnu Taimiyah dalam masalah terbukanya pintu ijtihad, penolakan terhadap mantiq, dan kritik terhadap akidah Nasrani, tetapi dalam masalah maulid ia cenderung menerimanya dengan catatan.

Baca juga, Wakil Ketua PWM Jateng Wahyudi: Rasulullah Adalah Figur Sempurna untuk Dijadikan Teladan

Catatan itu adalah agar maulid tidak disertai dengan perbuatan-perbuatan terlarang, seperti percampuran laki-laki dan perempuan dan tenggelam dalam kesia-siaan. Meskipun demikian al-Suyuthi memandang perayaan maulid sebagai bid’ah hasanah, istilah yang sering dipakai di kalangan ulama Syafi’iyah.

Di sisi lain, dalam Fath al-Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani menginformasikan penolakan perayaan maulid oleh kalangan ulama Hanbali. Imam Suyuthi sendiri dalam al-Hawi juga mengemukakan penolakan perayaan maulid oleh seorang ulama Maliiki, Tajuddin Umar bin Ali al-Lakhmi.

Al-Lakhmi berpendapat perayaan maulid itu bid’ah madzmumah (tercela). Perayaan itu tidak memiliki landasan syar’i, tidak dilakukan ulama terdahulu. Karena itu, menurutnya, hukum maulid itu tidak mungkin wajib atau sunnah, bahkan bukan pula mubah, melainkan makruh.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE