Stagnasi Kreativitas dan Inovasi Instruktur IMM Jateng: Tantangan Regenerasi Kader

Stagnasi Kreativitas dan Inovasi Instruktur IMM Jateng: Tantangan Regenerasi Kader
Oleh : Muhammad Taufiq Ulinuha (Instruktur IMM Jateng, Wakil Sekretaris PWPM Jateng, Wakil Ketua Kwarwil HW Jateng, Aktifis JIMM & KHM)
PWMJATENG.COM – Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dikenal sebagai organisasi kader yang menekankan pada pembinaan intelektual, spiritual, dan sosial. Salah satu pilar penting dalam proses kaderisasi ialah peran instruktur. Mereka menjadi ujung tombak yang memastikan transfer nilai, gagasan, serta keterampilan kepada generasi baru IMM. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul persoalan serius: stagnasi kreativitas dan inovasi instruktur, khususnya di Jawa Tengah.
Fenomena ini bukan sekadar isu internal, melainkan problem yang berdampak pada kualitas kaderisasi. Dalam kerangka organisasi modern, kreativitas dan inovasi merupakan kunci untuk menjaga relevansi. Richard Florida dalam bukunya The Rise of the Creative Class (2002) menekankan bahwa kreativitas adalah modal utama dalam menghadapi perubahan zaman. Apabila instruktur IMM tidak mampu beradaptasi dengan pendekatan baru, maka kaderisasi akan berjalan monoton dan kehilangan daya tariknya bagi generasi muda.
Pola Kaderisasi yang Cenderung Repetitif
Kegiatan perkaderan IMM di Jawa Tengah masih didominasi pola lama yang sangat formal dan kaku. Modul kaderisasi cenderung hanya direproduksi tanpa pembaruan yang substansial. Instruktur sering kali terjebak dalam pola repetitif, menyampaikan materi yang sama dengan metode yang tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Padahal, generasi mahasiswa saat ini adalah generasi digital yang terbiasa dengan pembelajaran interaktif dan dinamis. Merujuk pada teori Experiential Learning dari David Kolb (1984), proses belajar yang efektif harus melibatkan pengalaman konkret, refleksi, konseptualisasi, hingga eksperimen aktif. Tanpa variasi metode, kader berpotensi merasa jenuh dan sulit menangkap nilai yang ingin ditanamkan.
Faktor Penyebab Stagnasi
Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan stagnasi kreativitas dan inovasi instruktur IMM Jawa Tengah. Pertama, rendahnya budaya riset di kalangan instruktur. Banyak instruktur yang tidak terbiasa memperkaya diri dengan bacaan baru, riset sosial, atau literatur keislaman kontemporer.
Kedua, terbatasnya ruang kolaborasi. Instruktur cenderung bekerja secara individual dalam menyusun materi dan metode, sehingga ide-ide segar sulit muncul. Padahal, dalam teori kreativitas menurut Teresa Amabile (1996), kolaborasi menjadi salah satu pemicu lahirnya inovasi.
Baca juga, Branding dan Positioning Muhammadiyah di Era Digital: Menjaga Identitas di Tengah Arus Disrupsi
Ketiga, lemahnya dukungan struktural. Lembaga instruktur di tingkat wilayah maupun cabang sering kali hanya fokus pada pengadaan pelatihan formal, tanpa strategi jangka panjang untuk mengembangkan kapasitas instruktur secara berkelanjutan.
Dampak terhadap Kaderisasi
Stagnasi ini tentu membawa dampak signifikan. Kaderisasi menjadi terasa monoton, hanya sekadar formalitas untuk melahirkan kader baru tanpa penguatan nilai yang mendalam. Mahasiswa baru yang mengikuti perkaderan dapat kehilangan semangat, sebab metode yang digunakan kurang relevan dengan kebutuhan zaman.
Selain itu, kualitas kader IMM Jawa Tengah bisa stagnan. Dalam perspektif sosiologi pendidikan, sebagaimana dijelaskan oleh Pierre Bourdieu, kualitas agen (dalam hal ini instruktur) sangat menentukan habitus dan capital kader yang dihasilkan. Jika instruktur tidak berkembang, maka kader yang lahir pun cenderung seragam dan kurang progresif.
Upaya Mengatasi Stagnasi
Menghadapi situasi ini, ada beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan. Pertama, membangun budaya belajar berkelanjutan di kalangan instruktur. IMM Jawa Tengah harus mendorong instruktur untuk membaca literatur kontemporer, mengikuti diskusi akademik, dan aktif dalam riset sosial.
Kedua, menciptakan ruang kolaborasi lintas cabang dan komisariat. Workshop kreatif, laboratorium kaderisasi, hingga forum berbagi praktik baik bisa menjadi wadah lahirnya ide-ide baru.
Ketiga, memanfaatkan teknologi digital. Metode kaderisasi bisa diperbarui dengan penggunaan media interaktif, podcast, atau simulasi berbasis teknologi. Generasi mahasiswa akan lebih terikat dengan metode yang dekat dengan keseharian mereka.
Keempat, dukungan struktural yang konsisten. Lembaga instruktur di tingkat wilayah perlu merancang program pengembangan instruktur secara sistematis, tidak hanya sebatas menggelar pelatihan dasar. Program mentoring, evaluasi rutin, dan insentif akademik bisa menjadi pilihan.
Ikhtisar
Instruktur IMM Jawa Tengah saat ini berada di persimpangan penting. Mereka bisa memilih tetap berada dalam zona nyaman dengan pola lama, atau mengambil langkah progresif untuk beradaptasi dengan tantangan zaman. Kreativitas dan inovasi bukanlah pilihan tambahan, melainkan keharusan dalam menjaga keberlangsungan kaderisasi.
IMM lahir dengan semangat pembaruan, sebagaimana semangat Muhammadiyah itu sendiri. Oleh karena itu, stagnasi kreativitas dan inovasi instruktur tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Regenerasi kader yang berkualitas hanya bisa lahir dari instruktur yang terus belajar, berinovasi, dan berani menembus batas kebiasaan lama. Jika hal ini mampu diwujudkan, IMM Jawa Tengah akan tetap relevan sebagai organisasi kader intelektual-spiritual yang mampu menjawab tantangan zaman.
Editor : Ahmad