
PWMJATENG.COM, Jakarta – Implementasi pendidikan perubahan iklim di sekolah kembali menjadi sorotan dalam kegiatan Peningkatan Kapasitas Berbagi Praktik Baik Sekolah/Madrasah Ramah Lingkungan yang digelar di Hotel Borobudur Jakarta, Kamis (11/9/2025). Acara ini diselenggarakan oleh Majelis Pendidikan Dasar Menengah dan Pendidikan Nonformal Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan dukungan UNICEF dan GPE.
Para narasumber menegaskan bahwa pendidikan iklim bukan sekadar teori di buku, tetapi telah masuk dalam praktik nyata di satuan pendidikan.
Moderator acara, Maulana Ishak, menekankan pentingnya pembahasan praktik di lapangan. “Kalau sesi I dan II bicara konsep dan kurikulum, sekarang kita masuk ke praktik implementasi. Ini yang paling ditunggu,” ujarnya.
Nur Rofika Ayu Shinta Amalia, Ketua Tim Kerja Pusat Kurikulum dan Pembelajaran BSKAP Kemendikdasmen RI, menjelaskan bahwa materi iklim telah masuk ke sejumlah mata pelajaran. “Integrasi dilakukan lewat intrakurikuler, kokurikuler, hingga ekstrakurikuler. Jadi siswa bisa belajar dari berbagai jalur, tidak hanya lewat teori di kelas,” katanya.
Pada jalur intrakurikuler, proses dimulai dengan pemetaan kompetensi sesuai jenjang. Setelah itu, ditentukan mata pelajaran relevan, dirumuskan tujuan pembelajaran, lalu diterapkan dalam kegiatan belajar yang ramah dan kontekstual.
Sementara untuk kokurikuler, terdapat tiga bentuk utama: penguatan lintas disiplin, pembiasaan karakter, serta bentuk lain yang relevan dengan isu lingkungan. Ia menyebut, pramuka menjadi kegiatan ekstrakurikuler dominan karena indikator lingkungannya sudah jelas.
Menurut Nur Rofika, pendidikan iklim tidak bisa hanya bertumpu pada guru. “Guru memang pengampu utama, tapi siswa harus dilibatkan dalam aksi nyata. Kepala sekolah mendukung kebijakan, pustakawan menambah koleksi, bahkan kantin bisa berperan dengan menyediakan makanan ramah lingkungan,” jelasnya.
Baca juga, Etika Bermuamalah di Era Digital
Ia juga menegaskan pentingnya peran keluarga dan komunitas. “Kalau di sekolah anak-anak diajarkan hemat energi, di rumah juga harus ada kebiasaan yang sama. Konsistensi ini kunci,” tegasnya.
Nur Rofika menutup paparannya dengan ajakan, “Mari jadikan pendidikan perubahan iklim sebagai gerakan bersama lintas unsur. Tidak ada pihak yang bisa bekerja sendiri.”
Kepala SMA Muhammadiyah 4 Bengkulu, Sutanpri, berbagi pengalaman sekolahnya dalam menerapkan energi terbarukan. “Kami memasang panel surya 2.100 Watt dengan donasi dari 400 orang. Totalnya Rp100 juta. Hasilnya, laboratorium komputer dan 64 CCTV bisa menyala tanpa membebani listrik utama,” ungkapnya.
Ia menekankan keterbatasan dana bukan alasan untuk berhenti bergerak. “Kalau ada partisipasi masyarakat, semuanya bisa terwujud. Kuncinya konsistensi dan keberanian untuk memulai,” tambahnya.
Selain energi, sekolahnya juga mengembangkan program ketahanan pangan melalui kolam lele dan sistem aquaponik. Air wudu dari masjid sekolah dimanfaatkan untuk mengalir ke kolam, sehingga tercipta siklus ramah lingkungan.
“Hasil panen ikan dan sayuran bukan hanya dimanfaatkan untuk sekolah, tapi juga jadi pemasukan tambahan. Ini membuktikan pendidikan iklim bisa berdampak ekonomi,” jelas Sutanpri.
Tidak berhenti di situ, SMA Muhammadiyah 4 Bengkulu juga mencari peluang kreatif. Mereka membuka usaha papan bunga dan menjalin kerja sama internasional dengan Jepang. Menurut Sutanpri, langkah itu memperkuat citra sekolah serta meningkatkan kepercayaan diri siswa dan guru.
Sutanpri menegaskan, sekolah Muhammadiyah harus menjadi pelopor, bukan sekadar pengikut. “Kalau Muhammadiyah hanya ikut-ikutan, kapan kita maju? Perubahan iklim harus kita jawab dengan karya nyata,” ujarnya penuh semangat.
Ia juga berpesan agar sekolah lain tidak ragu memulai langkah kecil. “Tidak perlu menunggu besar, yang penting mulai dulu. Dari panel kecil, dari kebun kecil, nanti akan berkembang,” katanya.
Kontributor : Hendra
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha