Hening yang Membunuh

Hening yang Membunuh
Oleh : Wurry Srie (Ibu rumah tangga yang suka menulis, Koordinator Divisi Keluarga MTK PDA Jepara dan masih aktif di PCA Donorojo)
PWMJATENG.COM – Di area pojok belakang sebuah RS, dia kini berada. Bersama teman-teman yang kurang lebih senasib, dia habiskan waktu untuk sementara. Terapi demi terapi harus dijalani demi kesehatan jiwa dan raganya. Tak ada yang menyangka akhirnya dia tumbang tak berdaya meski dalam usia muda, karena problem hidup yang menekan tak memandang usia.
Tatapan kosong jauh ke depan dengan sorot mata sayu dan bibir yang membuka menggambarkan ekspresi seseorang yang putus harapan. Dia tidak kaget ketika aku datang. Hanya menoleh sekejap acuh tak acuh. Sesungging senyum terasa mahal dilakukan karena butuh tenaga dan upaya keras untuk sekadar menggerakkan bibir. Aku menyadari keadaan ini terjadi akibat tekanan batin yang menderanya sekian lama.
Sorot matanya masih tetap kosong ketika aku sudah duduk di sebelahnya. Entah suka atau tidak dengan kehadiranku, aku kesulitan membaca air mukanya yang tetap dingin dan kaku. Untuk memulai bertanya ringan sengaja tak kulepas tangannya sejak bersalaman. Dia menatapku dan kucoba menanyakan kabar sambil tersenyum. Dia balas senyumku dengan senyuman tipis nyaris tak terlihat. Hanya beberapa patah kata yang keluar dari bibirnya yang mengering. Dia bertanya, siapa yang memberiku kabar bahwa dia “sakit”.
Azizah nama perempuan itu. Dalam usia empat puluhan dia sudah kenyang dengan kepahitan hidup. Ketika duduk di bangku SMP sudah yatim piatu. Bersama adik satu-satunya, dia menghabiskan waktu menjalani kehidupan sebisanya dengan sedikit bantuan kerabat secara bergantian hingga bertemu dengan jodohnya. Bersuamikan seorang pria dengan pekerjaan serabutan memang bukan cita-citanya, tetapi itu lebih disyukuri daripada pria pengangguran.
Separuh cita-citanya sudah tercapai, menikah. Seperti pasangan lain, keadaan keluarganya tampak baik-baik saja dan dikaruniai anak semata wayang yang kini sudah remaja. Jualan makanan ringan cukup membuatnya sibuk sehari-hari. Kadang jika sedang tak ada kerjaan si suami juga membantu jualan.
Azizah tipe perempuan pendiam yang tak banyak menuntut. Apa saja ia kerjakan sendiri sekalipun tak ada yang membantunya. Sedang bahagia atau susah, orang lain jarang yang tahu karena dia pandai menutupinya. Di balik senyum tipis yang ia paksakan setiap hari, tersimpan lautan duka yang tak pernah ia bagi. Hingga suatu hari terkejutlah orang-orang di sekitarnya yang selama ini selalu berprasangka ia baik-baik saja.
Baca juga, Legalitas Tanpa Legitimasi: Hampa, Rapuh, dan Palsu
Di suatu pagi ia terlihat seperti orang linglung, lupa ingatan, dan membisu tak mau menjawab pertanyaan. Wajahnya pucat karena sudah tiga malam tidak bisa tidur. Anehnya, anak dan suami tak ada rona kekhawatiran sama sekali atas keadaannya. Mereka menganggap hanya karena lelah dan butuh istirahat.
Kelelahan fisik hanyalah permukaan dari badai yang sebenarnya. Yang lebih menyiksa adalah kelelahan hati, karena setiap kali ia mencoba bercerita atau mengadu, suaminya hanya mengangguk singkat, atau bahkan tak menanggapi sama sekali. Tidak pernah ada pelukan yang menenangkan, tidak ada kata-kata yang membuatnya merasa dimengerti.
Anak yang seharusnya menjadi pelipur lara, justru sering menambah beban pikiran dengan tingkah nakal dan perilaku yang seolah tak mau mengerti keterbatasan ekonomi keluarga. Lingkungan pergaulan yang tidak kondusif menambah kenakalannya menjadi semakin parah.
Tak terbiasa mengumbar masalah, mendapati sikap suami yang kurang peduli dan kenakalan anak, dirasakan Azizah perjuangannya dalam hidup menjadi hampa dan sia-sia. Lama-kelamaan, rasa hampa itu berubah menjadi tekanan batin yang menggerogoti. Ia mulai kehilangan semangat, merasa dirinya tak berharga, dan kerap menangis diam-diam di tengah malam saat semua terlelap.
Depresi mulai merayap, membuatnya sulit tidur, sulit makan, dan kehilangan gairah untuk menjalani hari. Dia hanya butuh telinga yang mau mendengar, hati yang mau memahami, bahu tempat bersandar dan seseorang yang mau menampung kegundahan hatinya. Ia ingin suaminya mengerti bahwa rumah tangga bukan hanya tentang mencari nafkah, tapi juga tentang saling menguatkan di kala susah.
Kurangnya wawasan tentang apa itu ujian hidup membuat suami kurang tanggap dengan apa yang dirasakan istri. Setiap keluh kesah istri tak pernah disikapi dengan serius meski berulang kali tampak jelas di matanya. Ironisnya, selama masih ada yang dimakan, suami merasa tenang tanpa beban. Tak peduli bagaimana cara istri mendapatkannya.
Puncaknya Azizah tak mampu menahan lagi tekanan batin yang tercipta. Tubuhnya lemas tak kuat berdiri karena apa pun yang dimakan termuntah kembali. Syukurlah sang adik dengan setia penuh kasih mendampingi. Saat dibawa ke dokter, suka atau tidak harus berhubungan dengan dokter spesialis kejiwaan sebelum menjadi fatal.
Azizah adalah satu dari sekian perempuan yang tak mampu berbuat banyak ketika pasangan hidup ternyata kaku, acuh tak acuh, dan kurang peduli. Ini membuktikan bahwa pengenalan karakter calon pendamping hidup sangat penting agar kelak ada persiapan mental ketika terjadi sesuatu yang di luar dugaan. Menambah wawasan tentang kerumahtanggaan juga perlu sebelum memasuki jenjang pernikahan.
Kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa pasangan hidup adalah sahabat jiwa. Mendengarkan keluh kesah bukanlah kelemahan, melainkan bentuk cinta yang paling sederhana namun paling berharga. Sering kali terjadi, depresi seorang istri bukanlah karena beratnya beban, melainkan karena merasa beban itu harus ia pikul sendirian. Ada saatnya tombol mode hening itu dinyalakan demi privasi keluarga. Namun, perlu diingat jangan sampai yang hening ini kebablasan sehingga mampu membunuh dengan pelan.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha