
PWMJATENG.COM – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, menegaskan pentingnya Risalah Islam Berkemajuan sebagai salah satu hasil monumental dari Muktamar Muhammadiyah di Surakarta. Ia menyampaikan bahwa setiap Muktamar Muhammadiyah selalu melahirkan risalah strategis yang menjadi pedoman gerakan persyarikatan dalam menghadapi dinamika bangsa dan umat.
Menurutnya, sebelum Risalah Islam Berkemajuan, Muktamar Makassar telah menghasilkan Risalah Darul Ahdi wa Syahadah. Risalah tersebut menegaskan bahwa Negara Pancasila adalah Darul Ahdi wa Syahadah, yaitu konsensus nasional yang harus dijaga bersama oleh seluruh elemen bangsa. Indonesia dipandang sebagai wahana kesepakatan seluruh anak bangsa, dan warga Muhammadiyah memiliki kewajiban moral untuk ikut serta memimpin dan memberi warna dalam perjalanan republik ini.
Abduh menjelaskan, berbagai Muktamar sebelumnya juga melahirkan rumusan penting, seperti Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah serta risalah-risalah lainnya. Semua itu merupakan hasil kesepakatan kolektif yang terus memperkaya khazanah ideologis dan praksis Muhammadiyah.
Gerakan Dakwah sebagai Mandat Ilahi
Dalam ceramahnya, Abduh menekankan bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah, gerakan tajdid (pembaharuan), gerakan ilmu, sekaligus gerakan amal. Empat kategori ini, menurutnya, menjadi pilar yang tak terpisahkan dari jati diri Muhammadiyah.
Ia mengingatkan bahwa manusia mendapatkan mandat langsung dari Allah untuk memikul amanat kehidupan. Abduh mengutip firman Allah dalam surah Al-Ahzab ayat 72:
إِنَّا عَرَضْنَا ٱلۡأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلۡجِبَالِ فَأبَيْنَ أَن يَحۡمِلۡنَهَا وَأشْفَقۡنَ مِنۡهَا وَحَمَلَهَا ٱلۡإِنسَٰنُۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومٗا جَهُولٗا
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak sanggup melaksanakannya, lalu amanat itu dipikul oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.”
Ayat ini, lanjut Abduh, menggambarkan betapa beratnya amanat dakwah. Gunung, langit, dan bumi enggan memikulnya, sementara manusia menerimanya meski dengan segala keterbatasan. “Manusia kadang bersikap sembrono, namun justru karena itulah dakwah menjadi keharusan untuk mengarahkan manusia menuju cahaya kebenaran,” ujarnya.
Dakwah sebagai Gerakan Universal
Abduh menekankan bahwa dakwah bukan hanya untuk kalangan tertentu, tetapi harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Bagi mereka yang belum memahami ajaran Islam, dakwah diarahkan pada kebaikan universal (dakwah ilal khair). Sementara bagi mereka yang sudah memahami, dakwah diarahkan untuk mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar.
Baca juga, Hukum Lalai hingga Mengakibatkan Meninggal Dunia dalam Perspektif Islam
Ia menjelaskan, “Dakwah harus berbasis budaya, memperhatikan keragaman, dan menjaga harmoni dengan umat lain. Muhammadiyah harus bisa hadir di tengah kemajemukan dengan semangat kerja sama dan toleransi.”
Lebih jauh, Abduh menyebut bahwa dakwah tidak hanya melalui ceramah, melainkan juga melalui perilaku sehari-hari. Cara berpakaian, kerapian rumah, hingga kebersihan masjid merupakan bagian dari dakwah nyata. “Rumah orang Muhammadiyah harus rapi, meskipun kecil tetapi nyaman. Masjid Muhammadiyah pun harus bersih, sehingga orang yang singgah merasa khusyuk dalam beribadah,” katanya.
Tantangan Dakwah Kontemporer
Dalam tausiyahnya, Abduh menyinggung berbagai tantangan dakwah di era modern. Ia menyebut kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, peperangan, dan permusuhan sebagai musuh utama dakwah. Menurutnya, siapapun yang berjuang mengatasi kebodohan dan kemiskinan sejatinya adalah mitra dalam dakwah, meski mungkin berbeda organisasi atau afiliasi.
Abduh menegaskan bahwa amar ma’ruf tidak selalu terbatas pada syariat tekstual, tetapi juga mencakup kesepakatan sosial. Misalnya, menaati lampu lalu lintas, menghormati orang tua, dan mendahulukan orang lain di ruang publik. Semua itu termasuk nilai ma’ruf yang disepakati bersama.
“Jangan mencuri, jangan berbohong, dan bertindak jujur adalah khair yang universal. Sedangkan ma’ruf bisa bersifat kontekstual, sesuai dengan adat dan budaya masyarakat. Maka dakwah Muhammadiyah harus mampu menghubungkan teks agama dengan konteks sosial,” jelasnya.
Dakwah yang Berlandaskan Kepantasan
Abduh juga menekankan pentingnya irfan atau kepantasan dalam menjalankan syariat. Ia memberi contoh tentang batas aurat laki-laki yang secara fikih hanya antara pusar dan lutut. Namun, jika seorang muslim hanya mengenakan handuk di masjid meski sesuai fikih, hal itu tidak dianggap pantas dalam pandangan sosial dan budaya.
“Manusia adalah makhluk yang bernalar. Maka, kita harus menghubungkan dalil dengan akal sehat, budaya, dan kepantasan. Itulah yang menjadikan dakwah lebih diterima oleh masyarakat,” tegasnya.
Dakwah sebagai Nafas Kehidupan
Mengakhiri tausiyah, Abduh mengingatkan bahwa seluruh aktivitas warga Muhammadiyah, mulai dari cara berpakaian hingga interaksi sosial, harus bernuansa dakwah. Dakwah bukan sekadar tugas kelembagaan, tetapi menjadi napas dalam setiap tarikan hidup seorang muslim.
Ia menambahkan, “Rasulullah membawa manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya. Maka, Muhammadiyah harus meneladani langkah itu dengan menjadikan dakwah sebagai orientasi utama dalam setiap gerakan.”
Melalui Risalah Islam Berkemajuan, Muhammadiyah diharapkan terus bertransformasi menjadi gerakan yang memberi solusi atas tantangan kemanusiaan dan kebangsaan. Dengan bekal ideologis yang kuat, persyarikatan ini dipanggil untuk meneguhkan peran sebagai gerakan dakwah modern yang membumi, berbudaya, dan berkemajuan.
Kontributor : Khairun Nisa
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha