Khazanah Islam

Hasan Asyari: Meneladani Rasulullah sebagai Bentuk Cinta

PWMJATENG.COM – Dalam sebuah ceramah, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Ahmad Hasan Asyari Ulamai, menekankan betapa pentingnya umat Islam meneladani Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Menurutnya, perjalanan seorang Muslim dalam menuntut ilmu dan beribadah bukan sekadar rutinitas, tetapi jalan yang penuh keberkahan.

Ia mengingatkan pesan Rasulullah yang menegaskan bahwa orang yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu akan dimudahkan jalannya menuju surga. Hal ini, kata beliau, menjadi penguat semangat agar umat tidak mudah mengeluh ketika harus menghadiri majelis ilmu, meskipun jauh dari tempat tinggalnya.

Keutamaan Berjamaah dalam Shalat

Ahmad Hasan menyinggung sebuah hadis riwayat Abu Musa Al-Asy’ari tentang keutamaan shalat berjamaah. Rasulullah bersabda:

‏إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلاَةِ أَبْعَدُهُمْ فَأَبْعَدُهُمْ مَمْشًى، وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي يُصَلِّي ثُمَّ يَنَامُ

“Sesungguhnya yang paling besar pahalanya dalam shalat adalah yang paling jauh perjalanannya menuju masjid. Dan orang yang menunggu shalat hingga ia melaksanakannya bersama imam, lebih besar pahalanya daripada yang shalat kemudian tidur.”

Cerita dari hadis itu menunjukkan bahwa perjuangan seorang Muslim untuk menghadiri shalat berjamaah sangat dihargai Allah. Bahkan, ada sahabat yang buta meminta keringanan kepada Nabi agar tidak ikut shalat jamaah. Pada awalnya Nabi membolehkan, namun kemudian beliau memanggil kembali dan tetap mewajibkan sahabat tersebut hadir berjamaah, meski harus dipapah oleh orang lain. Hal ini menunjukkan betapa agungnya keutamaan shalat berjamaah.

Teladan Cinta kepada Nabi

Di bulan Rabiul Awal, Ahmad Hasan mengingatkan kembali tentang teladan Rasulullah. Ekspresi cinta kepada Nabi bisa bermacam-macam, namun yang paling penting adalah bagaimana cinta itu diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Ia menegaskan, “Bukan menirukan segala hal yang dilakukan Nabi, tetapi meneladani akhlaknya.”

Ia mencontohkan, sebagian orang mengekspresikan cinta dengan sekadar meniru pakaian, model rambut, atau gaya hidup Nabi. Padahal, yang seharusnya dicontoh adalah akhlak mulia beliau dalam bersikap, berlaku adil, jujur, dan penuh kasih sayang.

Baca juga, Peristiwa Penting di Bulan Rabiul Awal dalam Sejarah Islam

Ahmad Hasan menambahkan, dalam Islam ada dua tingkatan dalam mencintai Nabi: dzikir dan ittiba’.

Dzikir: Mengingat dan Menyebut Nabi

Dzikir, menurutnya, memiliki tiga tingkatan. Pertama adalah sekadar mengingat. Seorang Muslim yang mencintai Nabi akan selalu ingat kepada beliau, seperti seseorang yang jatuh cinta dan selalu teringat kekasihnya. “Kalau kita sering menyebut nama Nabi, itu tanda cinta,” ujarnya.

Tingkatan kedua adalah menyebut. Semakin sering seseorang bershalawat, maka semakin kuat pula rasa cintanya. Rasulullah sendiri bersabda:

‏مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا

“Barangsiapa bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.”

Tingkatan ketiga adalah menyanjung. Cinta kepada Nabi tidak berhenti pada penyebutan nama, melainkan berlanjut pada sanjungan dan pujian. Namun, Ahmad Hasan mengingatkan, cinta semacam ini belum sempurna bila tidak diikuti dengan ittiba’, yakni meneladani akhlak Rasulullah.

Ittiba’: Mengikuti Jejak, Bukan Meniru

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Katakanlah, jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran: 31).

Ayat ini, jelas Ahmad Hasan, menjadi bukti bahwa ukuran cinta kepada Nabi adalah sejauh mana seorang Muslim meneladani ajaran dan akhlaknya. “Kalau meniru segalanya, kehidupan akan kehilangan warna. Nabi bukan pegawai negeri, apakah lantas semua orang menolak jadi pegawai negeri? Nabi seorang pedagang, apakah semua orang harus berdagang? Tidak. Yang diteladani adalah akhlaknya, bukan pekerjaannya,” tegasnya.

Ia menguraikan, sahabat Nabi memiliki latar belakang beragam. Ada yang menjadi petani, ada yang pedagang, ada pula yang pekerja kasar. Semua dibiarkan berkembang sesuai kompetensinya. Bahkan Bilal bin Rabah, seorang budak berkulit hitam, dipilih Nabi sebagai muadzin karena memiliki suara lantang. Dari sini terlihat bahwa Nabi menempatkan seseorang sesuai kemampuan, bukan berdasarkan status sosial.

Relevansi bagi Umat Islam

Pesan yang disampaikan Ahmad Hasan menegaskan kembali bahwa mencintai Nabi bukan hanya ritual, tetapi harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Seorang Muslim dituntut untuk jujur, amanah, menepati janji, serta bersikap adil kepada sesama. Menurutnya, umat sering kali terjebak dalam romantisme meniru hal-hal lahiriah Nabi, tetapi lalai dalam meneladani inti ajaran beliau, yaitu akhlak mulia.

Ia menutup ceramah dengan ajakan agar umat Islam menjadikan bulan Rabiul Awal sebagai momentum memperbaharui kecintaan kepada Rasulullah. “Mari kita cintai Nabi dengan meneladani akhlaknya, bukan sekadar menirukan penampilannya. Karena akhlak mulia itulah yang menjadi warisan terbesar Nabi bagi umatnya,” pungkasnya.

Kontributor : Septiana Bunga R
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE