
PWMJATENG.COM, Surakarta – Stigma sosial masih menjadi tembok besar yang membatasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam memperoleh pendidikan setara. Meski banyak sekolah mengklaim diri sebagai sekolah inklusif, praktiknya dinilai masih jauh dari semangat keberagaman yang adil dan ramah.
Isu ini menjadi sorotan Minsih, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) yang akan dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Kamis (28/8) di Edutorium KH Ahmad Dahlan. Kepakarannya di bidang pendidikan inklusif berangkat dari pengalaman pribadi lebih dari 14 tahun lalu, ketika ia kesulitan mencari sekolah ramah bagi ABK.
“Bagi ABK, pendidikan inklusif adalah pintu gerbang menuju pengakuan martabat. Tujuannya bukan untuk menyeragamkan, melainkan memastikan keunikan mereka menjadi kekuatan dalam proses belajar,” jelas Minsih dalam jumpa pers di Dapur Solo UMS, Selasa (26/8).
Minsih lahir di Lahat, Sumatra Selatan, 25 Agustus 1979. Ia menempuh pendidikan dasar di Pendopo Lintang Lahat, lalu melanjutkan SMP hingga SMA di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo. Gelar sarjana diperoleh di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebelum melanjutkan studi S2 dan S3 bidang Pendidikan Dasar di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Sejak masa magister, fokus kajiannya diarahkan pada pendidikan inklusif dan berkembang menjadi kepakaran hingga tingkat disertasi. Riset-risetnya mengungkap berbagai tantangan penerapan inklusivitas di sekolah dasar, mulai dari keterbatasan kurikulum, rendahnya pemahaman guru, hingga stigma sosial dari orang tua.
Dalam pandangan Minsih, pendidikan inklusif adalah bagian dari transformasi paradigma. Dunia pendidikan, katanya, telah bergerak dari sistem segregatif yang memisahkan ABK, menuju integratif, dan kini mengarah pada model inklusif yang menempatkan keberagaman sebagai kekuatan.
Baca juga, Menyambut Rabiul Awal dengan Ibadah dan Suka Cita
Namun, ia menilai banyak sekolah hanya berhenti pada label inklusif tanpa benar-benar menjalankan nilai-nilainya. “Masih ada orang tua yang menolak anaknya berada di kelas yang sama dengan ABK karena takut tertular. Padahal, disabilitas bukan penyakit. Stigma ini yang harus diubah,” tegasnya.
Bagi Minsih, pendidikan inklusif bukan sekadar pendekatan pedagogis, melainkan bagian dari implementasi nilai Islam Berkemajuan. Ia menekankan bahwa prinsip ta’awun (tolong-menolong), rahmah (kasih sayang), ‘adl (keadilan), dan musyawarah merupakan fondasi kuat untuk membangun sistem pendidikan yang ramah terhadap semua kalangan, baik ABK, kelompok minoritas, pendatang, maupun mereka yang berbeda bahasa dan latar belakang sosial-ekonomi.

“Islam telah lama mengajarkan inklusivitas. Konsep education for all dalam perspektif Islam berakar dari nilai rahmah, adil, dan musyawarah. Pendidikan inklusif adalah jalan dakwah konkret Islam Berkemajuan,” katanya.
Pemikirannya juga terinspirasi dari gagasan almarhum Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah 2015–2022, yang menekankan pentingnya inklusivitas sebagai dasar Islam Berkemajuan.
Minsih berkomitmen mengembangkan model pendidikan inklusif yang lebih progresif. Rencananya, ia akan memulai dari penyusunan kurikulum, penguatan kapasitas guru, hingga penyediaan ruang belajar yang benar-benar ramah keberagaman.
“Inklusif yang berkemajuan tidak cukup hanya dengan label. Harus ada sistem penyelenggaraan, kurikulum, dan interaksi yang membangun empati. Inilah yang membedakan antara sekadar sekolah inklusif dan pendidikan inklusif sejati,” tandasnya.
Selain Minsih, UMS juga akan mengukuhkan empat guru besar lainnya, yaitu:
- Muhammad Mujiburohman – Guru Besar bidang Teknologi Separasi.
- Muhammad Sholahuddin – Guru Besar bidang Akuntansi dan Analisis Bisnis.
- Yuli Kusumawati – Guru Besar bidang Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku.
- Herry Purnama – Guru Besar bidang Teknologi Bersih dan Pengolahan Limbah.
Kontributor : Fika
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha